Rabu, 26 September 2007

thorn bird

The Thorn Bird


Konon ada seekor burung yang kicauannya sangat merdu
hanya satu kali saja dalam seluruh hidupnya.
Namun kicauananya itu paling merdu, paling indah diantara burung-burung lainnya yang ada di jagat raya ini.

Suatu hari ia meninggalkan sarangnya
ia mencari pepohonan yang berduri
ia mencari dan mencari sampai menemukannya.
Dan pada saat ia menemukannya
ia menyanyi dengan ria diantara duri-duri yang merangrang tajam itu.
Ia memilih satu duri yang paling tanjam dan panjang dan ia menancapkan tubuhnya.
Lalu mati.

Ia mengatasi kenyeriannya itu dengan menyanyi
sebuah nyanyian yang teramat indah, tak terkatakan.
Dan hingga kini dunia masih mendengarkan kemerduannnya.
Hm, Tuhan hanya tersenyum di surga sana
sebab toh akhirnya untuk segala yang terbaik
mesti dibayar dengan derita dan kepedihan.
Tragis memang.
Sekurang-kurangnya itu kata legenda.

Saya petik kutipan ini, saya coba terjemahkan alakadarnya, dari sebuah novelnya Coleen McCollough, The Thorn Bird. Yang menceritakan tentang kekerasan, rahasia, perbuatan-perbuatan keliru tapi tak bisa dikatakan sebagai dosa (innocence wronged)
keberanian, kelemahan, kebencian, cinta terlarang dan sex.
Menarik sekali. Kalau kita dekat ingin sekali saya menceritakannya. Seperti dulu kita suka bercerita tentang apa saja.
Pokoknya buku ini mau mengisahkan kisah cinta. Kisah tua dan sudah tertimbun debu sejarah. Tapi seperti benda antik, biar kumel dan jelek tetap saja bernilai dan menarik.

Yah, kisah hidup kita juga.
Saya coba simpulkan begini seusai membaca buku ini;
Mencinta sering berarti pintu terbuka, surat undangan untuk air mata kepedihan. Mengerikan tapi sekaligus menawan. Madu namun sekaligus bisa.
Mencinta seperti tabir labirin; dapat masuk tapi tak mudah keluar. Hanya bisa berputar-putar.
Semua jalan hanya menjebak. Seakan ya namun tidak, seakan tidak namun ya. Maya dan misteri. Lalu kita penat berfikir. Pada saat seperti itu kita hanya bisa menangis dan menghiba. Menyesal, apa yang mesti disesal? Mesti menunggu sampai kapan? Duhai jarak yang membentang, duhai waktu yang membelenggu.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).