Rabu, 26 September 2007

ascendit ad coelos

Ascendit ad Coelos

Naik atau diangkat?
Adalah seorang ibu, sebut saja namanya Ibu Pia yang hidup dalam dua jaman kekatolikan. Jaman pra dan post Konsili Vatikan II. Dia pernah mengalami Misa Kudus dalam bahasa Latin. Karenanya ia hapal Credo dalam bahasa tersebut. Bukan hanya hapal, tetapi juga meyakini dengan sungguh sebagai dasar imannya yang sudah terpateri. Oleh karenanya ketika ada bagian dari Credo itu dirumuskan secara lain, Ibu Pia terusik dan terganggu keyakinannya. Ia menjadi bingung meski tidak tergoyahkan. Kalimat ke-7 yang berbunyi, Ascendit ad coelos; sedet ad dexteram Dei Patris omnipotentis (Yang naik ke surga; duduk disisi kanan Allah Bapa Yang Mahakuasa). Ibu Pia tahu benar kalau terjemahan kata ascendit itu artinya Ia naik. Bukan “dinaikan”, bukan pula “diangkat”. Meskipun dalam teks Injil Lukas (24: 51) dan Kisah Para Rasul (1:11), dipakai kata “terangkat”. Tapi Ibu Pia memahami kata “terangkat” itu bukan karena ada sesuatu kekuatan dari luar diri Yesus. Itu melulu kehendak dan kekuatan Yesus sendiri untuk naik atau mengangkat diri-Nya sendiri ke surga. Disitu letak permasalahannya. Harus begitu, menurut keyakinan Ibu Pia, untuk membedakan keagungan dan kelebihan Yesus Kristus dengan Nabi Henokh, Elia dan Bunda Maria yang terangkat bukan karena kekuatannya sendiri. Seperti juga Muhamad pada isra mi’raj-nya terangkat karena bantuan dari malaikat. Ibu Pia akan tetap meyakini Yesus naik ke surga daripada diangkat.

Turun atau diturunkan?
Kalimat ke-7 dalam Credo harus dibaca sejajar dengan kalimat ke-5; Descendit ad inferna (Ia turun ke tempat penantian). Sebelum Yesus naik, Dia sudah turun terlebih dahulu. Yesus sendiri mengatakan, “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16: 28). Yesus turun dan naik tentunya kehendak Bapa dan kehendak diri-Nya sendiri. Yesus harus turun ke dunia bahkan ke tingkat yang paling rendah dari dunia yakni alam maut (inferna). Dan harus naik ke tingkat yang paling tinggi, yakni surga. Atas - bawah, sebelum - sesudah (Alfa dan Omega) mengandaikan iman kepercayaan kita akan kekuasaan Yesus yang mengatasi ruang dan waktu. Selain dia harus turun untuk mengangkat kita.
Secara liturgis, Gereja merayakan hari kenaikan Tuhan 40 hari setelah Paskah (untuk menandai makna dari angka 40), atau 10 hari menjelang Pentekosta. Dalam penanggalan liturgi, peristiwa itu hendak mengungkapkan bahwa misteri keselamatan itu mempunyai empat aspek: turun ke tempat penantian, kebangkitan, kenaikan dan turunnya Roh Kudus. Konsep turun-naik, surga dan neraka, atas-bawah memang memuat pemahaman kosmologi lama yang mau tak mau kita harus memberi makna dan ari yang baru. Konon dulu ada kebiasaan pada hari raya Kenaikan diadakan upacara menaikan sambil menyimpan patung Yesus keatas atap gereja dan begitu pula setelah Pentekosta, lilin paskah dipadamkan lalu acara penyimpanan lilin tersebut diatas atap gedung gereja untuk menyimbolkan Yesus sudah naik ke surga. Dan kini kedatangan-Nya kembali suatu saat untuk mengadili yang hidup dan yang mati dinantikan.

Kenaikan mempertegas penampakan
Peristiwa kenaikan itu ada dalam kerangka peristiwa Paskah; kubur kosong diteguhkan dengan kebangkitan, beberapa kali penampakan seolah harus dipertegas dan disimpulkan dengan peristiwa kenaikan. Bahwa Yesus Kristus itu hidup dan Dia ada di atas sana. Yesus dari surga, kini naik ke surga dan menetap disana, di sisi kanan Allah.


Yang penting jangan bengong
Memperdebatkan Yesus naik atau dinaikan atau terangkat atau diangkat rasanya tidak sangat berguna kalau intinya hendak mengatakan dan meneguhkan bahwa Yesus sekarang duduk disisi kanan Allah Bapa Yang Mahakuasa. Yang paling penting adalah memahami dan menghayati kata-kata dari dua orang yang berpakaian putih: “Hai orang-orang Galilea,mengapakah kamu berdiri melihat kelangit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga” (Kis 1: 10-11). Peristiwa kenaikan memang penting. Tapi jangan lalu bengong. Jangan berhenti dengan kekaguman. Kenaikan bukan untuk menciptakan mukjizat yang lain disamping kebangkitan. Pergi mewartakan kenyataan dan peristiwa iman tersebut menjadi yang paling penting.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).