Rabu, 26 September 2007

mitos simbolik


MITOS DALAM RITUS YANG SIMBOLIS


01. Pengantar

Setiap orang mempunyai kampung halaman. Tempat dari mana ia berasal. Tempat tinggal yang nyaman membetahkan. Tempat dimana banyak hal yang membekas dalam kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Kampung halaman selalu menjadi tempat kerinduan untuk pulang bagi para pengembara. Seperti yang dikatakan pepatah melayu, "Setinggi-tinggi terbang bangau, toh akan kembali ke kubangannya juga".
Tempat pengembaraan bisa lebih memikat karena indah dan menawan sebagai tempat tinggal, namun itu akan menjadi sekedar bertamu di rumah tetangga belaka. Dia tetap rindu dan buru-buru ingin pulang, paling tidak barang sesaat. Itulah sebabnya mudik lebaran sebagai fenomena sosial bisa dijadikan contoh kerinduan untuk pulang itu. Suatu exodus besar-besaran dari kota-kota besar menuju kampung halaman mereka masing-masing. Meninggalkan tempat perantauan meski barang sesaat. Setiap tahunnya, meski penuh dengan resiko, para pengembara itu mempertaruhkan segalanya semata-mata hanya agar bisa pulang, agar bisa pulang ke kampung halamannya, ke asal muasalnya. Anak cucu mereka bisa saja dilahirkan di tempat pengembaraan, tetapi darimana berasal mereka selalu diburu rasa ingin tahu. Oleh karenanya setiap orang kapan saja akan ditanya, "aslinya mana?" atau "dari mana asalnya?" Sebuah pertanyaan primordial. Jenis pertanyaan yang paling sensitif karena menggugat wilayah arti dan makna hidup.
Pada waktu itu pengalaman disorientasi akan dirasa lebih mengerikan dan menyakitkan secara eksistensial bukan hanya kalau tidak punya masa depan dan arah hidup tetapi pertama-tama kalau ia tidak punya masa lalu. Kalau ia tidak tahu dari mana berasal. Ia menjadi terasing dalam hidup pengembaraanya. Fenomena ini tidak lain hanyalah resonansi realitas terdalam dan arkhaik manusia sebagai mahluk kosmos ini. Resonansi kerinduaan untuk selalu kembali ke yang hakekat, ke fitrah hidup ketika realitas dimana hidup tidak genah lagi untuk dihidupi. Manusia butuh saat-saat untuk mengafirmasi rasa kemanunggalan secara komunal ketika masyarakat penuh dengan persaingan, gesekan-gesekan dan benturan-benturan dan nilai hidup yang selalu diukur dengan menang atau kalah. Saat seperti itu manusia butuh tempat dan waktu untuk meng-counter-nya dengan upacara ritual sebagai creative anti structure (V. Turner) bahwa hidup bukanlah "seperti ini", bahwa pasti pada mulanya segala sesuatu itu baik adanya.
Manusia rupanya butuh kisah hidup. Butuh alkisah untuk berkisah serta memahami kisah hidupnya sendiri. Dalam penjiarahan panjang hidupnya; bermula dari lahir hingga sang maut datang menjemput; dalam mencari kebenaran, arti dan makna hidup; pengalaman situasi batas; serta dalam memahami rangkaian fakta hidup yang dilapisi tabir tebal misteri ini. Pendeknya manusia butuh jawaban apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Dalam bahasa M. Eliade, manusia rindu kembali ke ab origine atau ke in illo tempore.
Disinilah mitos punya peranan; upacara ritual punya manfaat, guna dan artinya; serta simbol berbicara. Mitos yang digelar dalam upacara-upacara ritual secara simbolis menjadi pintu masuk ke dalam ruang makna -kalau tidak disebut menciptakan makna itu sendiri- tempat terjadinya peristiwa pertemuan dengan yang misteri. Dimana kerinduan mendasar manusia terpenuhi dan obsesi terdalamnya mendapat jawaban.
Sebagaimana mitos adalah rangkaian kisah hidup yang utuh dan padat; adalah rangkaian merjan-merjan peristiwa yang menjadi satu narasi. Lebih persisnya lagi, peristiwa-peristiwa itu menjadi suatu yang dikisahkan. Saat dimana sejarah menjadi puisi. Betapa, upacara ritual menjadi medium pengisahannya. Ritual, dengan memakai bahasa Paul Ricoeur, menjadi tempat "pengeplotan" (mise en intrique) kisah hidup. Kisah hidup pribadi dan seluruh peristiwa hidupnya yang telah, yang tengah dan yang akan dihidupi, dikonfigurasi menjadi suatu pagelaran. Mitos diaktualisir lewat upacara ritual sehingga menciptakan peristiwa pertemuan dengan yang transenden, dengan kisah hidupnya sendiri. Upacara ritual menjadi saat untuk memandang, mendengar, meraba dan mengecap lakon hidup. Dengan kata lain, saat merasakan dan mengalami yang misteri. Lakon hidup manusia yang memang misteri. Itulah sebabnya upacara ritual harus menciptakan "pengalaman Tabor". Tempat terjadinya trasfigurasi yang banal berubah sakral, yang manusiawi menjadi ilahi serta impian menjadi kenyataan. Lebih daripada itu, masa lalu dan masa depan menjadi hadir saat ini. Nabi Musa sebagai personifikasi kisah lama, Elia sebagai personifikasi kisah masa yang akan datang yang dinantikan, kini menjadi kisah aktual ketika Musa dan Elia bercakap-cakap dengan Yesus. Saat seperti ini Petrus dan murid-murid lainnya mengalami peristiwa pertemuan yang mencengangkan namun sekaligus membetahkan. "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini!", katanya.

02. Mitos: Kisah Dalam Upacara Ritual

Memperkarakan upacara ritual tidaklah mungkin dilepaskan dengan perkara mitologi dan sekaligus simbologinya. Hal ini sudah menjadi perdebatan yang panjang, namun tak pernah tuntas dalam kancah antropologi, sosiologi, semiologi dan pertama-tama teologi itu sendiri. Mitologi telah ditrafsirkan dengan bermacam-macam makna. Seperti Frazer menganggap mitologi sebagai upaya orang-orang primitif untuk mencari jawaban atas asal muasal dan sebab musabab kejadian-kejadian alam. Sejajar dengan Max Muler ketika dia mengartikan mitos sebagai hasil fantasi puitis dari jaman baheula. Sebagai kisah yang puitis, mitos datang dari kedalaman pengalaman pertemuan dengan yang misteri. Kerinduan untuk mengkomunikasikan yang sublim yang membutuhkan bahasa yang lain, yakni bahasa puisi. Mitos dalam hal ini menjadi bahasa yang akrab dengan agama, yakni ekspresi puitis atas pengalaman mistis. Makanya sebuah mitos itu harus dipahami dengan perspektif sebuah puisi yang metaforis. Sepertinya mitos itu adalah suatu genre sastra yang hendak merumuskan realitas lain ketika bahasa diskursus dirasa tidak mampu memformulasikannya.
Roland Barthes menjelaskan secara lain bahwa mitos itu hanyalah sejenis pengucapan, soal mengatakan sesuatu. Mitos tidak lain daripada sistem komunikasi yang didalamnya termuat suatu pesan, sesuatu yang ingin disampaikan. Jadi mitos itu bukanlah suatu objek, atau suatu konsep atau ide, tetapi pertama-tama merupakan suatu cara atau bentuk pemaknaan belaka. Mitos tidak lain adalah "metalanguage". Bahasa yang hendak mengungkapkan sesuatu realitas lain yang ada dibaliknya secara lain, baik secara oral-verbal maupun secara visual. Sehelai foto, sekeping pecahan keramik kuno atau juga sebuah relief di sekeliling candi Borobudur misalnya, adalah mitos sejauh benda itu bermakna sesuatu. Segala sesuatu adalah mitos, kata Barthes, sejauh sesuatu itu dipakai untuk mengungkapkan atau mengkomunikasikan sesuatu.
Disini kami yakin bahwa mengenai genealogi mitos-ritus bila dikembalikan kepada aetiologi-nya memberi terang atas makna sesungguhnya sebuah mitos dan ritus sekaligus. Studi dari Jane Harrison kiranya cukup representatif. Harrison berpendapat bahwa mito itu, bagi orang Yunani adalah suatu perayaan sabdawi (verbal celebration). Orang Yunani bukan hanya mengasosiasikan term mitos dengan term perayaan, namun sekaligus memakai term mitos tersebut untuk memaknai perayaan sabdawi. Karena term mythos pertama-tama berarti sesuatu yang diucapakan. Sesuatu yang dikatakan oleh mulut. Term mythos pada dasarnya adalah lawan kata dari ergon yang artinya sesuatu yang "diperbuat", "dilakukan" atau persisnya "dikerjakan". Kelak kemudian hari mitos diartikan sebagai kisah yang diucapkan. Kisah tentang perbuatan (ergon). Jadi tidak ada hubungannya dengan kisah yang digelar. Ketika term mitos dihubungkan dengan perkara keagamaan maka mitos dikontraskan maknanya dengan ritual. Tetapi tetap sama maknanya dengan arti semula (dalam lingkup sastra) yakni kisah yang diucapkan dalam tindakan ritual. Disinilah term logomenon dapat dikontraskan dengan dromenon. Logomenon "per se" berarti mitos yang dikisahkan, diceritakan pada saat upacara ritual dilaksanakan. Sesuatu yang sangat normal sekali bahwa dalam upacara ritual selalu ada yang diucapkan dan dilakonkan. Namun bukan berarti bahwa ritual itu sekedar pagelaran mitos. Harrison menegaskan bahwa dromenon itu bukan saja berarti sesuatu yang diperbuat secara komunal namun pertama-tama sesuatu yang dilakonkan kembali (re-done) atau pra-lakon (pre-done). Dengan kata lain sesuatu yang direpresentasikan sebagai suatu upaya pengulangan pengenangan kembali atau bahkan suatu pra-lakon yang bersifat antisipatif pada realitas yang belum terjadi. Inti maknanya adalah menghadirkan yang lalu dan yang akan terjadi pada saat kini disini.
Dapatlah dikatakan disini bahwa secara aktual ketika sebuah upacara ritual digelar pada dasarnya adalah mitos itu sendiri. Upacara lahir sebagai mitos baru. Mitos yang aktual yang berwujud peristiwa ritual. Ia menjadi suatu happening yang nyata dalam mana yang sebelumnya masih abstrak. Itulah sebabnya Van der Leeuw menyatakan dengan tegas bahwa mitos itu bukanlah kontemplasi yang reflektif belaka namun lebih merupakan suatu aktualitas.
Kentara sekali bahwa masalah genealogi ritus-mitos itu cukup rumit. Mana lebih dahulu ada, mitos atau ritual? Apakah upacara ritual itu sekedar menggelar mitos? Atau, mitos justru diciptakan oleh dan untuk upacara ritual? Mengingat upacara ritual lebih eksistensial daripada mitologi dalam hidup manusia dan pada gilirannya dalam upaya memahami isi dan hakekat ritual itulah tercipta mitologi? Kalau ritual datang dari mitologi, lalu mitologi datang dari mana? Suatu pertanyaan yang mirip dengan "mana lebih dulu ayam atau telur"? Maka jawaban yang gampang adalah bahwa mitos dan ritual lahir dan hidup secara berbarengan. Mitos tidak bisa hidup tanpa ritual dan vice versa.
Franz Boas, seorang antropolog, berkisah bahwa sebuah upacara ritual itu merupakan stimulus yang melahirkan mitos. Ritual mendahului mitos. Mitos ada semata-mata untuk keperluan ritual itu sendiri. S. Kirk berpendapat lain. Ritus dan mitos jelas berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi mestinya mitos datang lebih dahulu atau malah paling tidak masing-masing merupakan fenomena yang berdiri sendiri. Mitos tidak diciptakan oleh ritual. Kirk mengatakan bahwa mitos mempengaruhi ritual dan ritual mempengaruhi mitos. Pada mulanya, barangkali, masing-masing berdiri sendiri. Sedangkan Clyde Kluckon, dengan kacamata yang agak freudian, yakin bahwa mitos dan ritual itu lebih berperkara pada permasalahan psikologis manusia. Ritual merupakan suatu aktifitas berulang-ulang yang bersifat obsesif. Pada mulanya mungkin hanyalah fantasi personal, namun lama-kelamaan menjadi komunal karena mengalami sosialisai. Pada waktu itulah fantasi individu menjadi mitos dalam sebuah masyarakat. Pada gilirannya keyakinan pribadi yang bersifat mitis itu menjadi prilaku yang bersifat ritual yang disepakati oleh kelompok masyarakatnya.Dengan pengandaian keyakinan itu (mitos) merupakan obsesi fundamental dari masyarakat tertentu itu baik yang bersifat ekonomis maupun yang biologis seksual dan kolektif. Mengandaikan adanya kenangan dan obsesi kolektif tersembunyi yang direpresentasikan.

03. Ritual: Pengalaman Peleburan antara Pikiran dan Tindakan

Upacara ritual, secara tipologis, selalu dianggap sebagai suatu kegiatan yang bersifat praktis belaka. Artinya untuk membedakan dengan aspek teoritis dan konseptual dalam kehidupan beragama. Keyakinan atau iman, simbol-simbol dan mitos-mitos, misalnya, digolongkan sebagai bagian konseptual dan teoritis. Dengan kata lain pembedaan itu dimaksudkan untuk memilah bidang apa yang dilakukan sebagai tindakan dan bidang apa yang dipikirkan sebagai konsep. Sehingga dari tipologi ini dipahami bahwa wilayah kepercayaan dan iman, simbol-simbol dan mitos-mitos lebur menjadi satu dan membentuk sebuah cetak biru yang bersifat konseptual yang sekedar memberi arah, menyarankan inspirasi, serta membimbing aktifitas dan perbuatan manusia. Wilayah tersebut sama sekali tidak disebut sebagai suatu aktifitas.
Ritual, sebagai perbuatan, lebih dianggap sebagai act out; lebih mengungkapkan atau menggelar yang konseptual dan teoretis itu. Sehingga sebuah upacara ritual itu semata-mata tindakan tanpa pikiran dan perasaan. Yang akhirnya upacara ritual hanya bersifat rutin, kebiasaan, obsesif dan dianggap peniruan belaka. Yang pada gilirannya sungguh-sungguh menjadi suatu kegiatan yang legalistis formal dalam arti yang sesungguhnya. Ritual dipakai sekedar ekspresi fisik atas ide-ide atau konsep yang telah ada terlebih dahulu. Jadi upacara ritual itu bersifat sekunder. Mitos dan iman mendahului ritus. Ritus seakan menjadi bukan yang paling hakiki.
Edward Shils mengatakan bahwa ritual dan mitos (iman) saling berhubungan tetapi toh masing-masing berdiri sendiri. Hanya, iman atau kepercayaan bisa ada tanpa ritual, sebaliknya ritual baru ada bila ada iman. Seperti prilaku kehidupan (living) ada pada wilayah ritual sedangkan berpikir (thinking) ada pada wilayah mitis, pikiranlah yang menentukan prilaku. Tanpa harus mempertajam masalah mana lebih menentukan eksistensi yang satu dengan yang lainnya, ingin ditegaskan disini bahwa pikiran dan tindakan itu sama-sama penting dan berguna karena saling melengkapi dan memberi makna. Oleh karenanya, analog dengan surat St. Yakobus 2,14-26, yang menegaskan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati dan seperti tubuh tanpa roh adalah mati, maka jelas bahwa iman dan perbuatan itu tidak terpisahkan. Yang satu menyarankan yang lainnya. Demikian juga ritual tanpa iman adalah gerak robot belaka, sebaliknya iman tanpa ritual dalah mati.
Dalam upacara ritual iman dan perbuatan mencapai kekentalannya. Iman dan perbutan mencapai titik integrasi secara optimal. Disinilah dikotomi antara pikiran dan perbuatan menjadi pupus hilang. Makna hidup mendapat pemenuhannya, esensi dasar manusia memperoleh bentuknya. Pikiran dan perbuatan saling berpelukan. Tipologi yang dibesar-besarkan jadi tak berarti lagi. Ritual yang secara ontologis bersifat sinkronis, berkesinambungan dan tradisional itu kini mampu memberi medan arti bagi manusia yang mencarinya. Itulah sebabnya Mircea Eliade menggaris bawahi bahwa manusia secara arkhaik memiliki kerinduan mendasar untuk bertemu dengan yang misteri dalam ruang kudus, waktu kudus dan nilai-nilai kudus, sebagai elemen-elemen dasar sebuah upacara ritual, yang ketiganya lebur dan menyimpul secara simultan. Upacara ritual mempertemukan mitos -yang diimani- dengan perbuatan yang dihidupi. Pada saat inilah upacara ritual menjadi sebuah miniatur kehidupan, serentak menjadi model secara simbolik dari realitas dan menjadi model untuk realitas. Upacara ritual menjadi lakon hidup kita masing-masing. Ethos, sebagai tata moral dan guiding beliefs bagi seseorang atau sebuah masyarakat, menjadi semacam peleburan atau sintesa atas simbol-simbol dalam berbagai manifestasinya seperti seni, budaya, bahasa dan mitos-mitosnya. Itulah upacara ritual. Simbol-simbol memberi efek pada ethos yang memadat dalam bentuk ritual dan ritual menjadi pola kultur. Ritual menciptakan makna, melahirkan bentuk wadag yang lebih objektif atas realitas sosial dan psikologis yang amorf. Begitu juga sebaliknya realitas sosial dan psikologis membentuk ritual itu sendiri. Meskipun, dengan nota bene, upacara ritual itu hanya bersifat seremonial dan tak lain cuma berupa resitasi sebuah mitos. Ritual menjadi tempat peleburan imaginasi manusia atas dunianya dan dunia yang dihidupinya dalam sebuah upacara ritual yang simbolik. Ritual menciptakan pengalaman transformatif ke dalam esensi hidup seseorang.
Manusia yang schizofrenik salah satu cirinya adalah orang yang tidak terintegrasi antara pikiran dan tindakannya; tercerainya fungsi intelektual dan emosionalnya; ide yang diungkapkan dan emosi yang mengikutinya tidak padan. Katakan saja mereka adalah orang yang mengalami pengalaman diachronik; keadaan pecah jiwanya dengan tingkat kefatalannya adalah hilangnya kontak dengan realitas diluar dirinya. Dalam hal ini, upacara ritual menjadi ruang dan waktu untuk pengintegrasian antara "wilayah dalam" dengan "wilayah luaran". Paling tidak ritual dapat menjadi jembatan yang mempertemukan celah menganga antara pikiran dan perbuatan; antara tubuh dan jiwa; antara yang menusiawi dan yang ilahi; antara yang material dan yang spiritual; antara yang tampak dan yang abstrak; antara ethos dan world view. Sebuah masyarakat tanpa ritual, cepat atau lambat, sepertinya akan menjadi masyarakat yang schizofrenik. Masyarakat yang pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatannya tidak gathuk.


Daftar Bacaan:

1. Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, Oxford University Press, Oxford, 1992.
2. Joseph Campbell, The Power of Myth, Anchor Books, New York, 1991.
3. Jane Harrison, Themis: A Study of the Social Originss of Greek Religion, Merlin Press London, 1989
4. Roland Barthes, Mythologies, Vintage, London, 1993.
5. Rollo May, The Cry for Myth, W.W. Norton & Co, New York, 1991.
6. Victor Turner, From Ritual to Theatre; The Human Seriousness of Play, PAJ Publications, New York, 1992.
7. William A. Luijpen, Myth and Metaphysics, Martinus Nijhoff, The Hague, 1976.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).