Rabu, 26 September 2007

eskatologi

ESKATOLOGI
RD. Fabie Sebastian Heatubun

Pengantar
Saya diminta oleh panitia penyelenggara pertemuan ini untuk berbicara tentang hal-hal yang menyangkut realitas setelah kematian. Suatu tema pembahasan yang dapat dianggap “non sense” dan “meaningless” bila alat ukurnya itu pengalaman atau wilayah fenomenal. Realitas akhirat itu diluar batas pengalaman manusia, ada pada wilayah “noumenal”. Disebut “meaningless” karena bila menjadi keyakinan seseorang, toh susah untuk disangkal dan susah juga untuk diterima. Realitas akhirat itu lebih pada perkara Credo, perkara iman. Jadi bukan perkara ada atau tidak, berarti atau tidak secara ilmiah, tetapi bahwa hal itu menjadi real dalam kehidupan beragama karena menjadi doktrin yang harus diyakini. Tidak juga kita disebut irasional, karena iman adalah suprarasional. Akhirat menjadi “the great perhaps” yang mesti didekati oleh iman saja.
Saya menganggap wajar bila kita berminat untuk mencoba mencari alasan mengapa mesti mempercayainya. Sebagai pemenuhan hasrat kepenasaranan yang meskipun akan mencapai jalan buntu dan bertemu lagi dengan kata ‘iman’.
Upaya untuk memahami, atau lebih tepat mencari pencerahan tentang segala seluk beluk yang menyangkut hidup setelah hidup ini, tentunya banyak cara. Kita akan mengambil cara kembali ke akar. Kita kembali ke sumber utama yang berperkara langsung tentang akhirat itu. Pertama, Kitab Suci sebagai locus theologicus, sebagai dasar iman, kiblat utama untuk mengolah pemikiran teologis tentang eskatologi. Kedua, pernyataan Patristik sebagai generasi yang paling dekat dengan ajaran para Rasul dan telah terbukti memiliki data tertulis sebagai hasil refleksinya, yang sering kita sebut “pusaka tradisi”. Katolik masih tetap akan mengacu pada kebenaran-kebenaran yang tidak hanya tertulis dalam Kitab Suci, tetapi juga apa yang dikatakan oleh Bapa Gereja. Ada tiga tokoh yang kita sitir ucapannya; Krisostomus, Ciprianus dan Gregorius Agung dianggap cukup representatif untuk menjadi acuan. Ketiga, dokumen-dokumen konsili seperti Toledo, Lateran, Lyons, Florence, Trente dan Vatican II, perlu kita lihat karena dari sanalah perumusan iman Katolik diformulasikan. Pernyataan konsilier tentu menjadi kebenaran teologis secara positif karena bukan sekedar hasil petualangan intelektual secara tentatif atau spekulatif dari para teolog, tetapi hasil kesepakatan ekumenis, episkopalis dan apostolis, dengan terang Roh Kudus tentunya. Keempat, kami anggap sangat perlu untuk membuka Katekismus Katolik sebagai data paling akhir yang memberi penegasan ajaran mengenai realitas eskatologi. Katekismus ini punya bobot teologis cukup tinggi dibanding dengan Katekismus-katekismus lainnya yang pernah ada, karena motivasi dibalik penerbitannya itu sendiri. Katekismus diterbitkan seolah-oleh hendak membenahi kembali, memantapkan kembali, serta memberi kepastian-kepastian iman ketika dirasa bahwa umat Katolik masa kini mulai oleng identitasnya. Kekhasan iman Katolik seperti ada yang merongrong, kalau bukan disebut ada yang berihtiar untuk menghancurkannya.
Setelah kami presentasikan data-data itu, yang perlu kita perhatikan adalah perkembangan pemahaman tentang konsep eskatologis itu. Secara historis dari dahulu hingga kini tidak ada perubahan yang sangat berarti dari fase satu ke fase yang lain. Semper idem, tetap sama! Rongrongan dari berbagai fihak yang melecehkannya hanya sebagai “wishful thinking”, ilusi, proyeksi, konsolasi ketertindasan, dsb., ditanggapi oleh Gereja secara sabar namun penuh dengan “ke-keukeuh-an dan ketegasan tanpa reaksi yang apologetik.

Arti Kata
Secara terminologis eskatologi berasal dari bahasa Yunani eschatos (akhir) dan logos (ilmu) yang artinya ilmu atau pengetahuan tentang hal-hal akhir, hal-hal pamungkas, atau yang menyangkut realitas akhirat sebagai akhir kehidupan seperti kematian, kebangkitan, pengadilan terakhir serta kiamat sebagai akhir dunia. Eskatologis sering juga diartikan sebagai ajaran (doktrin) tentang realitas surga, purgatori (api penyucian) dan neraka. Lebih persis lagi, eskatologi diartikan sebagai ajaran yang menyangkut kedatangan kembali Kristus (parousia). Istilah Eskatologi digunakan pertama oleh Teolog Lutheran Abraham Calonicus (1612-1686). Pada hakekatnya Eskatologi itu menyangkut kejadian-kejadian di luar sejarah manusia yang bersinggungan dengan harapan kristiani.
Eschatos atau jaman akhir secara positif berarti munculnya dunia baru; Kerajaan Allah; langit dan bumi baru, Jerusalem Baru (apokaliptik, dibalik sejarah). Eskatologi menunjuk pada saat akhir yang serentak masuk pada fase baru, baik secara individual-personal ataupun secara komunal-kolektif. Artinya menyangkut nasib hidup seseorang ataupun seluruh manusia secara universal atau kosmis.
Kristianitas boleh disebut sebagai agama eskatologi. Agama yang menitikberatkan pada harapan, yang selalu memandang dan bergerak ke depan. Dimana ‘iman’ dan ‘kasih’ mendapat makna dan arti serta kekuatannya dari harapan pada realitas yang akan tejadi kelak di akhirat. Kepenuhan rencana keselamatan secara mesianik akan berujung pada kenyataan eskatologis. Penghayatan hidup kristiani baru punya makna bila mengacu pada harapan akan masa depan. Yang perlu diingat bahwa eskatologi itu menjadi bagian dari credo, rumusan pernyataan iman kita; “percaya akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal”.

Latar Belakang Alkitabiah
1. Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama pemahaman eskatologi itu secara implisit dihubungkan dengan sejarah keselamatan yang diatur oleh Allah. Bahwa Israel (sebagai bangsa terpilih) ‘ada’ pada hakekatnya di bawah hukum perjanjian dan pemenuhannya di kemudianhari sebagai struktur dasar imannya. Seperti kisah Abraham yang dijanjikan akan memiliki tanah perjanjian yang dialiri susu dan madu [Kej.12:4]. Atau bahwa penyelamat akan datang dari tunas Daud [2Sam: 7]. Atau dalam [Yes. 40-55] dijanjikan kelak kemudian hari secara kosmik akan ada ciptaan baru; langit dan bumi baru.
Teks yang paling banyak diacu dalam teologi Katolik mengenai hidup sesudah mati adalah [2 Makabe 12] tersurat tentang kepercayaan (secara eskatologis) akan kebangkitan orang mati. Tentang manfaat perbuatan amal baik seperti kurban bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dengan harapan agar mereka dibebaskan dari hukum dosa. Perjanjian Lama ini memberi kepastian akan adanya pengaruh dari doa-doa kita yang masih hidup bagi mereka yang telah mati. Mungkin juga pengaruh mereka yang telah mati kepada kita yang masih hidup.
Dikisahkan bahwa Yudas Makabe bersama dengan anak buahnya hendak menguburkan jenazah para prajurit yang gugur di medan perang. Rupanya di bawah baju para jenazah itu ada jimat-jimat dan berhala yang dilarang bagi orang Yahudi. Mereka kalah dan mati diandaikan lantaran jimat-jimat itu. Jimat-jimat itu membuat mereka tak berdaya melawan musuh. Yudas Makabe dan anak buahnya memuji Tuhan. Tuhan yang adil telah menghukum para prajurit yang gugur itu. Namun Yudas Makabe dan anak buahnya serentak memohon kepada Tuhan agar menghapus dosa-dosa prajurit yang telah meninggal itu. Bahkan Yudas Makabe kemudian mengambil inisiatif untuk mengumpulkan uang dari antara mereka semua. Terkumpul dua ribu dirham perak untuk dikirim ke Yerusalem guna mempersembahkan korban penghapus dosa, menyusul suatu pernyataan, “Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas Makabe memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percumah dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagi pula Yudas Makabe ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”.
Ayat-ayat ini menjadi “text proof” alkitabiah PL untuk menegaskan ajaran Katolik tentang adanya purgatori (api penyucian), tentang dampak atau efikasi doa-doa bagi mereka yang telah meninggal, tentang kurban silih atau kurban tebusan itu ada gunanya dan tidak sia-sia. Hal ini berlainan dengan pandangan saudara-saudara kita Protestan yang melihat Kitab Makabe ini deuterokanonika, tidak masuk dalam daftar kitab yang autentik, sehingga dianggap lemah untuk dijadikan “text proof”. Pada gilirannya mereka tidak mempercayai akan adanya purgatori serta dampak doa-doa orang hidup bagi yang sudah meninggal.

2. Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, sebagai contoh “text proof”, dapat dilihat [Mt.5:31-32]; “… ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak.” Pernyataan dunia yang akan datang mengandaikan akhirat. Secara persis menunjuk pada purgatori. Begitu pula [Mt.5:26]; “… sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.” Suatu pernyataan yang mengandaikan situasi yang mungkin lepas dari derita sejauh telah memenuhi tuntutan yang harus dibayar. ‘Penjara’ secara metaphor memberi arti hukuman sementara. Begitu juga [1Kor3:13]; “… karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan tampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diiringi oleh api itu.” Sebutan api penyucian menunjuk pada pemurnian, pembersihan seperti emas yang dimurnikan dan mesti dibakar demi menghasilkan sesuatu yang sejati.

Latar Belakang Patristik
Dalam Patristik, misalnya St.Ciprianus (c.200-258) mengatakan bahwa ada yang dapat langsung masuk surga tapi juga yang harus menunggu pengampunan. Ada yang langsung menerima ganjaran surga secara langsung dan ada juga yang dimasukan ke dalam penjara (purgatori) dan tidak akan keluar dari sana sampai “hutangnya” dibayar. Ada yang dapat lepas dari semua dosa di dunia ini yakni dengan mati sebagai martir, tapi ada juga yang mesti disucikan, dimurnikan dosa-dosanya di akhirat dengan penderitaan yang lumayan lama. Suatu pernyataan yang mengartikan akan adanya pergatori di samping surga dan neraka.
Yohanes Krisostomus (347-407) mencatat, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (bdk Ayub 1:5), bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka”.
Gregorius Agung (590-604) mengatakan, “Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan masih ada api penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran abadi mengatakan bahwa, kalau seseorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, ‘di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak’ (Mat 12 : 32). Dari ungkapan ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia ini, yang lain di dunia lain”.

Latar Belakang Magisterium
Dalam Magisterium secara dogmatis ditegaskan akan kepastian akan adanya kebangkitan badan dari semua orang yang telah meninggal.

(1). Misalnya dalam Konsili Taledo th.675. Suatu konsili yang menegaskan kebangkitan badan. Badan atau tubuh yang kita miliki dan kita hayati ini yang akan dibangkitkan. Jadi bukan bersifat tubuh etherial atau secara reinkarnatif dalam bentuk tubuh yang lain. Argumentasinya tentu menunjuk pada kebangkitan Yesus Kristus sendiri. Begitu pula mengacu pada Maria dan Yesus yang naik ke surga dengan tubuh apa adanya. Kedua, selain menegaskan mengenai kebangkitan badan, konsili juga dengan menyitir [2Kor 5:10]; “sebab kita semua harus menghadap tahta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidup ini, baik atau pun jahat.” Teks yang menegaskan kepada kita semua harus menghadap pengadilan terakhir sesuai dengan perbuatan-perbuatan kita. Ketiga, Konsili menegaskan baptisan bagi penghapusan dosa yang harus diimani, serta percaya pada kebangkitan orang mati. [1Kor15:12-14] mencatat, “Jadi, bilamana kami beritakan bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu mengaakan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah kepercayaan kamu”. Iman Kristiani memperoleh dasar kekuatannya ada pada kepercayaan akan kebangkitan.

(2)Dalam Konsili Lateran th.1215 di bawah otoritas Paus Inocentius III ditegaskan kembali ajaran katolik tentang kebangkitan badan, pengadilan manusia sesuai dengan perbuatan masing-masing serta tentang ganjaran kebahagiaan abadi atau sebaliknya hukuman abadi. Ada teks secara eksplisit yang dikatakan: ”semuanya akan bangkit lagi dengan tubuh mereka masing-masing..”

(3) Konsili Lyons 1274 masih tetap menegaskan kepercayaan pada kebangkitan badan. Bagi mereka yang telah dibaptis masih jatuh ke dalam dosa tidak perlu dibaptis ulang tetapi cukup dengan memohon ampun dan menyesalinya dalam sakramen pengampunan secara sempurna. Sedang bagi mereka yang dibaptis kemudian mati dan masih dalam keadaan dosa serta tidak sempat menerima sakramen pengakuan tetapi meninggal dalam penuh cinta kasih dan penuh penyesalan, jiwa mereka akan dibersihkan setelah mati dengan hukuman yang bersifat penyucian dan purgatorial. Dalam hal ini Konsili menegaskan bahwa perlunya kaum beriman yang masih hidup untuk membantu mereka yang berada dalam penyucian tersebut dengan kurban misa, doa-doa, derma dan tindakan kesalehan lainnya. Berlainan dengan mereka yang telah menerima baptisan suci tapi tidak tercemar oleh kedosaan lalu meninggal, mereka akan langsung masuk surga. Begitu juga sebaliknya bagi mereka yang mati dengan dosa berat atau dengan dosa asal (karena tidak dipupus oleh baptisan) akan langsung masuk ke neraka untuk dihukum. Dalam hal ini Konsili masih menegaskan kondisi pada pengadilan terakhir semua orang akan tampil dengan tubuh mereka masing-masing.

(4) Konstitusi Apostolik “Benedictus Deus” dari Paus Benedictus XII th.1336. Paus secara pribadi memberi pendapat bahwa orang-orang yang terbekati dan suci akan menikmati “beatific vision” (kebahagiaan surgawi) itu sebelum kebangkitan umum dan pengadilan terakhir secara universal. Bagi orang-orang suci yang mati sebelum sengsara Kristus (penebusan) tidak perlu masuk ke dalam api penyucian. Bagi para martir, para rasul yang suci, para pengaku iman, para perawan dan kaum beriman yang telah menerima baptisan Kristus yang tidak memerlukan penyucian akan masuk langsung ke surga. Begitu juga bagi anak-anak yang sudah dilahirkan kembali dalam baptisan Kristus sebelum mampu menggunakan kehendak bebasnya, bila meninggal, tidak memerlukan api penyucian. Mereka ini akan langsung menikmati esensi ilahi secara intuitif dan bahkan secara ‘face to face’. Mereka akan menikmati surga sebelum ada pengadilan terakhir.

(5) Konsili Florence th 1439 menegaskan apa yang terjadi dalam purgatori. Menurut Gereja Latin, yang dilakukan adalah pelunasan (satisfaction-expiation), sedang bagi Gereja Yunani menekankan unsur pembersihan atau pemurinian. Konsili ini melihat daya dampak dari Sakramen Pengakuan. Bagi mereka yang telah dibaptis lalu jatuh dalam dosa, lalu menerima Sakramen Pengampunan, jiwa mereka akan disucikan dalam hukuman purgatorial. Agar kemudian mereka lepas dari hukuman purgatorial itu maka perlu ada tindakan ‘pengantaraan’ (suffragia) seperti kurban Misa, doa-doa, derma dan tindakan kesalehan lainnya dari mereka yang masih hidup. Masih ditegaskan bagi mereka yang telah dibaptis dan tidak melakukan tindakan dosa mereka akan langsung masuk ke dalam surga. Sebaliknya bagi mereka yang mati dengan dosa besar secara aktual atau dengan dosa asal, mereka akan langsung ke neraka (infernum), dihukum sesuai dengan perbuatan dan jenis hukumannya. Mengandaikan di nerekapun ada gradasi hukuman.

(6) Konsili Trente th 1563, suatu konsili yang cukup gigih melawan ajaran-ajaran kaum protestan atau Martin Luther secara khusus. Luther yang tidak percaya pada adanya purgatori dan manafaat serta gunanya suffraga termasuk Misa untuk orang yang telah meninggal. Konsili mempertegas sikap konsili-konsili sebelumnya. Bahwa ada purgatori. Bahwa kaum beriman yang ada di purgatori itu dapat kita bantu dengan suffraga yang pertama-tama dan utama melalui kurban altar (Misa). Konsili juga memerintahkan kepada para uskup untuk mengajarkan dan mengkotbahkan keberenaran dogmatis ini kepada kaum beriman karena sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh Bapa Gereja dan Konsili-konsili sebelumnya.

(7) Konsili Vatican II 1964, khususnya dalam Lumen Gentium dan Gaudium et Spes. Lumen Gentium memberi aksen kuat tentang hakekat Kristus sebagai Alfa dan Omega; awal dan akhir. Unsur Omega mendapat perhatian khusus. Oleh karenanya ajaran mengenai eskatologi cukup kaya yang menyangkut nasib orang perorang dan Gereja. Bab 7 LG memberi judul “Sifat Eskatologis Gereja Musafir dan Persatuannya dengan Gereja di Sorga”. Dokumen memberi makna eskatologis lebih bersifat eklesial dan komunal.
Dalam LG no. 48 dapat disarikan sebagai berikut:
Bahwa Gereja akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di sorga serta semuanya akan diperbaharui dalam Kristus.
Sambil mengacu pada [1Kor 10:11], bahwa akhir jaman sudah tiba. “Pembaharuan dunia telah ditetapkan, tak dapat dibatalkan, dan secara nyata mulai terlaksana di dunia ini”.
Keadaan Gereja sekarang sudah suci meski tidak sempurna, kelak akan terjadi langit baru dan bumi baru.
Di akhirat kita akan memandang Dia sebagaimana ada-Nya, “selama mendiami tubuh ini, kita masih jauh dari Tuhan.
Dokumen menyitir beberapa teks Kitab Suci antara lain [2Kor 5: 10] bahwa kita akan menghadap “tahta pengadilan Kristus, supaya masing-masing menerima ganjaran bagi apa yang dijalankannya dalam hidupnya ini, entah itu baik atau jahat”
[Yoh 5: 29 / 25: 46]; dan pada akhir jaman “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk kehidupan kekal, sedangkan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum”.
[Rom 8: 18 dan 2Tim 2: 11-12]; maka dari itu, mengingat bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak”.
[Tit 2:13]; dalam keteguhan iman kita mendambakan “pengharapan yang membahagiakan serta penyataan kemuliaan Allah dan Penyelamat kita yang mahaagung, Yesus Kristus”.
[Flp 3: 21]; “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga menyerupai tubuh-Nya yang mulia”.

Lumen Gentium no 49 dengan judul Persekutuan antara Gereja di Sorga dan Gereja di dunia. Dalam nomor ini pernyataan dari Konsili Florence masih diafirmasi, “ada di antara para murid-Nya yang masih mengembara di dunia, dan ada yang telah meninggal danmengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang “dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana ada-Nya”. Lalu menyusul pernyataan hubungan yang hidup dengan yang telah meninggal, “jadi persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani”. Hubungan dengan mereka yang telah mendahului kita diyakini kuat, bahkan mereka dapat menjadi pengantara kita di hadirat Bapa. Kelemahan kita amat banyak dibantu oleh mereka.
Lumen Gentium no 50 menegaskan penghargaan pada tradisi Gereja yang memberi penghormatan, parayaan kenangan bagi orang-orang yang telah meninggal. Sambil menjustifikasi manfaat dan nilainya dari [2Mak 12: 46]; “ini suatu pikiran yang mursid dan saleh: mendoakan mereka yang men inggal supaya dilepaskan dari dosa dosa mereka”. Gereja juga mempersembahkan korban-korban silih bagi mereka. Gereja percaya pada rasul-rasul, para martir Kristus yang telah berkompasi dengan derita Kristus, yang meneladan keperawanan dan kemiskinan Kristus itu sudah berada di surga, pertama-tama Maria dan para Malikat, dpat membantu dan menjadi perantara kita.
Lumen Gentium no 51, dalam nomor ini dokumen menganajurkan agar kita menghormati tradisi (pusaka para leluhur kita) yang ditegaskan dalam konsili Nicea II, Florence dan Trente. Yakni iman akan persekutuan hidup denganpara saudara yang sudah meninggal masih mengalami pentahiran.
Dalam Gaudium et Spes th 1965 khususnya no 39, Bapa-bapa Konsili berbicara tentang “bumi baru dan langit baru secara eskatologis. Dokumen ini menegaskan bahwa kita tidak tahu menahu mengnai akhir jaman, kapan dunia dan manusia mengalami kesudahannya. Tidak tahu bagaimana alam semesta akan dirubah. Namun kita meyakini bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi baru. Di dunia ini Kerejaan Allah itu sudah hadir dalam misteri, tetapi akan mencapai kepenuhannya bila Tuhan datang.

(8). Recentiores Episcoporum Synodi th. 1979. Selain dokumen Vatican II, ada hasil sinode para uskup yang dilaksanakan oleh Kongregasi Suci Urusan Ajaran Iman. Dokumen ini dianggap penting karena berurusan langsung dengan masalah-masalah sekitar realitas eskatologis seperti kebangkitan orang mati, tentang jiwa, nasib manusia di surga, purgatori dan neraka.
Sinode dianggap perlu diadakan mengingat mendesaknya penegasan akan kebenaran-kebenaran iman yang mulai kendor dan membingungkan. Khususnya Credo yang menyangkut hidup sesudah mati. Dalam hal ini sinode menegaskan beberapa poin penting;
Bahwa Gereja percaya akan kebangkitan orang mati.
Kebangkitan ini menyangkut seluruh pribadi manusia.
Gereja menerima suatu unsur spiritual yang tetap hidup sesudah kematian. Unsur spiritual itu disebut roh.
Gereja menganggap tetap berguna doa-doa dan ritus penguburan serta tindakan-tindakan religius yang diperuntukan bagi mereka yang telah meninggal.
Gereja mencari pernyataan mulia dari Tuhan Yesus Kristus yang akan dialami setelah kamatian.
Kenaikan Bunda Maria dengan tubuhnya sendiri ke surga menjadi antisipasi pada pemuliaan tubuh kaum beriman kelak sesudah mati.
Gereja tetap percaya bahwa yang baik akan masuk surga, yang jahat (berdosa) akan dihukum di neraka dan kemungkinan penyucian dalam purgatori.

(9). Katekismus Gereja Katolik th. 1993. Di sini kita kutip saja apa adanya.
No. 1030: “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamtan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga”.
No. 1031: “Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, purgatorium (api penyucian). Ia telah merumuskan ajaran-ajaran iman yang berhubungan dengan api penyucian terutama dalam Konsili Firenze dan Trente. Tradisi Gereja berbicaara tentang api penyucian dengan berpedoman pada teks-teks tertentu dari Kitab Suci”.
No. 1032: “Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk yang sudah meninggal, tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan, “Karena itu Yudas Makabe mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya [2Mak 12: 45]. Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi dan karya penitensi demi orang-orang mati”.

Penutup
Teks di atas ini adalah bahan mentah untuk diolah atau dimatangkan. Sejumlah pertanyaan yang substansial atau pun praktis pastoral, abstrak atau pun konkrit, rumit atau pun sederhana akan memperkaya diskusi kita tentang eskatologi. Pertanyaan-pertanyaan sekitar Sakramen Permandian, Ekaristi dan Pengakuan mestinya muncul sehubungan dengan pembahasan tentang eskatologi ini. Begitu pula tentang hakekat surga, neraka dan kedosaan; dosa asal, dosa berat atau dosa ringan sebagai implikasi iman akan realitas eskatologis ini. Mudah-mudahan sidang sendiri yang yang memantapkan dan meyakinkan sejumlah kebimbangan yang sedang melanda Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.


[Hari Minggu Biasa ke IV, 1 Februari 2004]

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).