Rabu, 26 September 2007

hari minggu

MISTERI PASKAH DAN HARI MINGGU
SERTA PESAN PASTORALNYA
R.D. Fabie S. Heatubun, SLL

Pengantar
Tahun Liturgi adalah bahasa waktu yang menjadi medium untuk menghadirkan dan mengaktualkan misteri keselamatan atau "the sacred events" yakni penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus dalam frekwensi harian, mingguan atau tahunan. Sekaligus berperan sebagai medium yang digunakan oleh jemaat beriman untuk mengungkapkan dan mengalami misteri keselamatan tersebut. Keselamatan dapat dialami dalam waktu, dalam sejarah dan peristiwa-peristiwa temporal. Dalam hal ini keselamatan bukan sekedar dikenang dan dihadirkan tetapi memungkinkan untuk dialami kembali.
Tahun Liturgi itu mewadahi dan menjabarkan kristianitas itu sendiri, baik identitas, doktrin-doktrin (pengajaran) maupun pengudusan. Secara spiritualpun, tahun liturgi menjadi ritme yang menyehatkan, karena memberi kepastian dan keajegan dalam perayaan-perayaannya. Keserba jelasan dan keserbapastian itu memberi ketenteraman, ketenangan bahkan kebahagiaan, karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Secara spatial dan temporal manusia butuh orientasi, arah, posisi atau kiblat. Manusia itu butuh patokan, kapan awal dan kapan akhir, kapan mulai dan kapan selesai. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan pada orientasi ruang dan waktu itu bersifat arkhaik. Tempus et templum (waktu dan tempat kudus) disediakan dan didesain untuk memenuhi kebutuhan arkhaik manusia tersebut. Selain untuk memenuhi kerinduan manusia untuk kembali ke yang asali, ke yang ab origine (yang asli dan sejatinya) dan in illo tempore, ke yang sebagaimana awal dulunya terjadi. Dalam hal ini Tahun Liturgi mengaturnya.
Hari Minggu sebagai jeda mingguan secara spiritual menjadi berguna bagi kita yang ada dalam kultur yang ditandai oleh keserbatidak pastian, disorientasi waktu, kering dan hampa. Kultur yang fragmentaris membuat hidup kita menjadi kusut masai, yang pada gilirannya kita butuh untuk mengurai dan membenahinya kembali. Hari Minggu sebagai hari Tuhan sudah semestinya menjadi semacam oase yang dapat menyegarkan dan memberi arti dan makna hidup yang baru dan arah yang jelas. Bahkan bisa menjadi saat yang tepat untuk merayakan hidup itu sendiri. Bahwa ada gejala orang-orang sekarang tidak melihat lagi dan kurang mengindahkan hari Minggu sebagai dies dominica, hari Tuhan. Ada semacam kemerosotan secara pastoral dan spiritual, kiranya perlu upaya revitalisasi dengan katekese.

Misteri Paskah Sebagai Pusat dan Jantung Hati Tahun Liturgi
Misteri Paskah itu suatu realitas yang sangat kompleks dan krusial, namun serentak sesuatu yang sangat simpel dan bermakna tunggal saja, yakni bahwa Kristus yang bangkit dari antara orang mati itu adalah kebenaran dan kenyataan. Suatu kenyataan yang tak terpahamkan, karena misteri kebangkitan itu ada pada wilayah iman. Misteri Paskah, secara langsung atau tidak, mengandung muatan makna yang mingimplikasikan pemahaman mengenai; pertama, esensi Kristianisme sebagai Gereja (agama, yang mencakup institusi, doktrin dan ritualnya); kedua, esensi Liturgi sebagai ekspresi (pengungkapan) dan eksperiensi (peng-alam-an) iman, harapan dan kasih akan Misteri Paskah tersebut, serta realisasi keselamatan Kristus yang selalu hadir dalam Gereja dalam wujud tindakan liturgis. Ketiga, esensi Tahun Liturgi sebagai penjabaran Misteri Paskah itu sendiri.
Gereja menempatkan Misteri Paskah sebagai yang paling sentral dari seluruh aktifitas hidup umatnya. Ad intra Misteri Paskah (MP) menjadi titik konvergensi dan divergensi Kristianisme sebagai agama. Dalam arti agama dipahami sebagai jalan keselamatan dan kebenaran telah dipilih, dianut dan dihayati secara sadar atau tidak oleh orang Kristen. Kristus telah menyelamatkan manusia "melalui sengsaranya yang suci, kebangkitannya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan".[1] "Berkat wafat-Nya kematian telah ditebus; dan dalam kebangkitan-Nya kehidupan sekalian orang ditegakkan kembali.[2] Ad extra, Gereja menjadi sakramen keselamatan bagi dunia. MP menjadi wujud misteri Cintakasih Allah kepada semua manusia.[3]
Gereja selalu merayakan MP itu bukan hanya dengan memproklamasikan kembali kabar keselamatan yang tertera dalam Kitab Suci secara verbal, tetapi pertama-tama dengan menghadirkannya kembali peristiwa-peristiwa keselamatan (the saving events) hingga menjadi aktual kini dan disini. Pada waktu merayakan MP itulah jemaat beriman, dengan partisipasi aktifnya, masuk kedalam peristiwa penyelamatan dan penebusan itu. Secara simbolis, mereka mati, dikuburkan, dibangkitkan bersama Dia.[4] Partisipasi aktif kedalam "perayaan-peringatan" (commemorative celebration) MP ini memberi jaminan keselamatan. Disebut "perayaan-peringatan" mengartikan bahwa keselamatan itu menjadi riil hanya dengan melakukan peringatan dalam bentuk perayaan atau dengan bentuk perayaan yang esensinya sebuah peringatan. Disini makna sebuah perayaan liturgi yang bermakna anamnesis. Kenangan yang menghadirkan. Dihadirkannya misteri itu atau peristiwa keselamatan itu dengan upacara ritual.
"Perayaan-peringatan" MP itu pada dasarnya berwujud pujian atas kebaikan Allah yang tak terbatas kepada manusia. Pada saat pemuliaan Allah itu juga serentak terjadi pengilahian manusia. Perayaan-peringatan MP itu menjadi momen glorifikasi sekaligus divinisasi.[5] Suatu dimensi katabatik-anabatik yang saling mengandaikan. Allah beraksi dan manusia bereaksi atau tindakan ritual manusia yang berisi pujian syukur itu diganjar dengan keselamatan. Hanya melalui upaya merealisasikan misteri ini dalam perayaan Liturgi, keselamatan itu menjadi aktual dan konkrit. Ada pernyataan eksplisit tentang hal ini, "Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh "pengudusan" manusia dan "pemuliaan" Allah dalam kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya"[6]. "Perayaan-peringatan" MP dalam liturgi itu bukanlah melulu ritual yang simbolis namun sungguh-sungguh kenyataan Misteri Paskah yang sejati. Yang berlanjut terus dan dihadirkan dalam keabadian.
MP adalah realisasi dari rencana keselamatan Allah bagi kita semua. Dalam rencana keselamatan ini Kristus sebagai pusat dan puncak penebusan bukan hanya dirayakan tetapi pertama-tama digelar sebagai suatu tindakan atau diragakan kembali secara terus menerus sepanjang sejarah sebagai wujud nyata campur tangan serta perhatian Allah kepada manusia yang memuncak pada persatuannya dengan Kristus.
Di dalam Liturgi Kristus menyatakan dan melaksanakan MP. Selama hidup-Nya di dunia Yesus menyatakan dalam ajaranNya dan mengantisipasi dengan tindakan-Nya. Karya keselamatan itu, seperti dikatan diatas, bukan hanya diwartakan dalam wujud pewartaan sabda, tetapi pertama-tama diwujudkan dalam kurban dan sakramen-sakramen. Karya keselamatan itu ditunjukan dengan kehadiran-Nya. Ia hadir dalam umat Allah yang berkumpul; saat Sabda diproklamasikan; dalam diri imam serta dalam wujud Roti dan Anggur yang telah dikonsekrasi[7].
Aktifitas pastoral Gereja pada akhirnya memusat pada liturgi, karena liturgi merupakan sarana yang paling memungkinkan orang mengalami Misteri Paskah. Selain bukti ketaatankita pada perintah sakral Kristus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Dalam MP Allah menjadi manusia, taat bahkan sampai mati disalib bagi kita dan naik ke surga, mengungkapkan keilahian hidup-Nya kepada Dunia. Sehingga siapa yang mati atas dosa akan menjadi serupa dengan Kristus, sebagaimana dinyatakan oleh Paulus, "hidup bukan lagi bagi dirinya sendiri tetapi bagi dia yang telah mati dan bangkit".[8] Kenyataan ini terpenuhi dalam sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan juga Baptis yang menjabarakan MP itu sepanjang Tahun Liturgi.[9] Ketika kita merayakan MP, kita memohon kepada Allah agar mereka yang lahir kembali bersama Kristus (karena baptisan) agar hidup mereka berpegang pada sakramen yang telah mereka terima dengan iman. Dalam Konstitusi Liturgi mengatakan bahwa, "Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan."[10]
Struktur Liturgi Ekaristi yang terdiri dari dua bagian besar itu; Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, adalah aktualisasi MP. Sabda yang menjadi manusia, sebagai misteri inkarnasi, diwartakan dan dihadirkan kembali. Hal ini tampak dalam Liturgi Sabda. Dan tindakan penyelamatan (menderita-wafat-bangkit) yang dipadatkan dalam Perjamauan Malam Terakhir oleh Yesus bersama murid-muridNya, dihadirkan kembali dalam Liturgi Ekaristi secara sakramental. Ekaristi menjadi sakramen yang membari rahmat keselamatan kepada manusia. Dalam hal ini MP juga bermakna tindakan penebusan dosa manusia. Artinya tindakan penyucian atau pengilahian manusia. Manusia diangkat dan dipersatukan dengan Allah. Suatu wujud nyata bahwa Allah bertindak memuliakan martabat manusia.
Kristus, pada waktu disalib, menjadi puncak persatuan antara ke-Allah-an dan ke-manusia-an (theandrik). Pada waktu itulah secara real penyucian dan pemuliaan manusia dan juga serentak pemuliaan Allah. Cinta Allah pada manusia dan cinta manusia pada Allah bertemu dan bersatu padu. MP menjadi titik temu dimensi anabatik dan katabatik. Seturut dengan struktur tersebut, maka liturgi sebagai reaktualisasi atau representasi MP menjadi jelas. Dalam hal inilah tampak bahwa struktur dasar liturgi menunjukkan tindakan penyucian manusia dan pemuliaan Allah. Allah harus dimuliakan karena manusia telah dimuliakan oleh-Nya agar manusia diilahikan. Representasi peristiwa paskah ini menjadi hadir dan efektif melalui glorifikasi.
Paskah sebagai pusat dari sejarah keselamatan, analog dengan Paskah Yahudi. Kristus juga mengambil nilai-nilai yang ada pada pemahaman Yahudi, yakni Paskah sebagai 'lewat'-nya atau melewatinya manusia dari dunia ini menuju surga dengan penyuciannya lewat kultus dan upacara ritual. Kristus, melalui kurban diri-Nya sendiri, menyucikan manusia sebagai tindakan kultis-Nya. Pada waktu itulah sejarah keselamatan menjadi berpusat pada diri Kristus. Misteri Paskah (terutama mati-bangkit-kenaikan-Nya ke surga), menjadi Paskah sejati, unik dan abadi untuk seluruh dunia.
Paskah adalah pusat dan jantung hati liturgi. Disatu pihak, MP itu saling melengkapi dan saling membutuhkan antara Tahun Liturgi dan Liturgi itu sendiri. MP sebagai peristiwa terjadi dalam dan melalui waktu, unik dan abadi (epaphax) harus diaktualisir dalam waktu, persisnya dalam seluruh Tahun Liturgi. Wujud tindakan aktualisasi itu adalah "perayaan-peringatan" melalui liturgi. Dipihak lain, Sejarah Keselamatan itu menyatakan dirinya dalam MP, dan realisasinya dalam Paskah. Namun Paskah itu bukan hanya dilihat sebagai fakta sejarah yang telah terjadi. Dalam Liturgi, Paskah menjadi saat ritual. Menjadi upacara yang dihadirkan setiap saat seturut lingkaran harian, mingguan dan tahunan.
Paskah dalam Perjanjian Baru merupakan "momen ritual" yang sama dengan "momen sejarah". Paskah adalah suatu peristiwa, bukan sekedar suatu simbolisme dari Paskah Perjanjian Lama, meski struktur dasar ritual Paskahnya sama. Kristus telah mensintesakan dan memberi nilai baru atas Paskah Perjanjian Lama, menjadi MP. Maka dalam upacara ritual Paskah Kristus menunjukkan kehadiran-Nya secara nyata. Ritus (Liturgi) menjadi peristiwa keselamatan yang telah dilakukan Kristus sejak awal dunia.
Dokumen Liturgi[11] menunjukkan kehadiran MP Kristus secara aktual itu melalui simbol-simbol ritual. Disini ditekankan unsur misteri Paskahnya yang hadir, bukan perkara Kristusnya. Praesentia realis menunjuk pada peristiwa dan tindakan penyelamatan Kristus secara personal. Liturgi menjadi medium aktualisasi keselamatan yang telah dilaksanakan oleh Kristus. Jadi dalam liturgi bukan fakta real, karena liturgi merupakan aktualisasi Paskah berdasar pada misteri, lebih persis lagi berdasar pada (melalui) tanda-tanda real, yakni pada efikasi rahmatnya. Paskah sebagai fakta, dapat kita pahami dalam wujud "mati-bangkit-kenaikan Kristus" sebagai realitasnya; sebagai esensinya memberikan keselamatan atau keselamatan itu sendiri. Maka Liturgi (Ekaristi) menjadi Paskah par excellence yang pada gilirannya menjadi pusat dan puncak MP.
Liturgi adalah peristiwa yang menghadirkan 'peristiwa' Paskah. Peristiwa yang misteri menjadi kasat mata. Tahun Litugi menjadi momen-momen pendadaran MP. Dan Liturgi secara konkrit menjadi pengejawantahan misteri iman Kristen yang paling agung sebagai sumber hidup spiritual Kristen. Misteri Paskah itu pada hakekatnya adalah misteri ibadat atau liturgi sebagai wujud dari ibadat Gereja. Misteri Paskah itu harus selalu diwujudnyatakan sesuai dengan perintah Kristus sendiri; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Misteri liturgi adalah juga misteri Gereja bukan hanya menunjukkan hakekat dan tujuan misi Gereja, yakni liturgi, namun pertama-tama karena liturgi menjadi saat peleburan (pengalaman fusi) tubuh mistik Kristus (jermaat beriman) dengan Kristus sendiri. Dalam Liturgi MP itu hadir dan real secara objektif namun bersifat sakramental. Misteri keselamatan, misteri Imamat Kristus, Misteri Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dan misteri Liturgi menjadi konkrit dan menjadi tindakan nyata. Disinilah Perjanjian Baru merupakan wujud Misteri Paskah Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia dan menjadi kasat mata dalam wujud in forma servi[12].

Menghayati Tahun Liturgi
Liturgi, terutama Liturgi Ekaristi, selain mengekspresikan penyucian waktu dalam tiga lapis lingkaran; harian, mingguan dan tahunan, juga menyucikan jemaat beriman yang merayakannya. Liturgi mengungkapkan bagaimana misteri keselamatan dalam Kristus terjabarkan dan meresap kedalam seluruh lingkaran tahun kosmis. Tahun Liturgi, yang dengan istilah lain dapat disebut "tahun perayaan-peringatan", merupakan saat dimana kita dapat memperoleh keselamatan sepanjang tahun. Menghayati Tahun Liturgi (TL) pada hakekatnya adalah partisipasi aktif kedalam Misteri Kristus yang pusatnya adalah MP sendiri. "Perayaan peringatan" misteri Kristus itu bertautan erat sekali dengan TL.
Tahun Litugi adalah saat-saat terjadinya perpaduan peristiwa pengenangan yang menghadirkan (anamnesis) dalam bentuk imitasi ritual (mimesis), sebagaiman dikatakan juga oleh Yesus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Perpaduan kedua peristiwa tersebut yang pada gilirannya menciptakan keselamatan, karena dilaksanakan dalam konteks sakramental, dan menjadi saat jemaat berkompasi menyatu dengan derita, wafat dan bangkitnya Tuhan. "Perayaan-peringatan" dan TL tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri. Misteri Paskah terjadi dalam waktu (dalam sejarah), aktualisasi dan representasinyapun hanya mungkin dalam waktu, dalam lingkaran kalender TL. TL hanya mungkin diwujudkannya dalam bentuk peristiwa perayaan yang mengaktualkan peristiwa penyelamtan yang dilakukan oleh Kristus.
Kristus adalah Kairos, Dia itu adalah keabadian (Alfa dan Omega). Kebadian itu hanya mungkin dipersepsi (diindrai) melalui peristiwa "peringatan-perayaan" yang ada dalam waktu. Kairos itu dapat diraba, dilihat, bahkan dapat dicecap dalam perayaan atau upacara ritual. Dalam hal ini Tahun liturgi menjadi suatu persona, pribadi Kristus sendiri. Pengalaman pertemuan dan persatuan dengan Kristus dalam liturgi menjadi real.
Dalam TL Sabda Allah yang diwartakan, dikotbahkan dan diritualkan serta upacara simbolik lainnya (verbal dan gestural) adalah peristiwa inkarnasi Misteri Paskah, yang dapat disebut sebagai Misteri yang menjadi misteri. Atau dapat dikatakan juga bahwa "perayaan misteri" menjadi "misteri perayaan". TL menjadi medium untuk menjabarkan misteri tersebut. Maka MP sebagai fokus dan nukleus perayaan menjadi paling esensial sekali dalam TL. Itulah sebabnya MP harus diberi prioritas diatas devosi-devosi, pesta dan peringatan-peringatan lainnya[13].
Tahun liturgi bermanfaat bagi jemaat secara spiritual agar iman, harapan dan kasih mereka akan MP dapat lebih dialami dan diungkapkan sebagaimana dijabarkan sepanjang tahun. Liturgi menjadi saat eksperiensi dan ekspresi keutamaan teologal tersebut. "Peringatan-perayaan" lainnya[14] hendaknya mengungkapkan pembaharuan kembali Misteri Paskah Kristus atau peringatan dan perayaan lainnya itu hanyalah merupakan penggemaannya. Perayaan sepanjang TL itu bukan sekedar peringatan bahwa Yesus telah menyelamatkan manusia dengan kematian, kebangkitan-Nya, tetapi pertama-tama lingkaran TL itu memiliki kekuatan atau daya sakramental yang luar biasa untuk menguatkan hidup orang Kristen[15].

Hari Minggu Sebagai Nucleus Tahun Liturgi
Misteri Paskah menempati posisi yang sentral dalam "perayaan-peringatan" liturgi. Dokumen menyebutnya sebagai "hari-hari raya Tuhan"[16] yang didalamnya dirayakan misteri-misteri keselamatan yang lebih menjadi prioritas daripada pesta-pesta para kudus. Maksudnya agar misteri keselamatan itu dirayakan secara 'ajeg'. Disinilah peran dan makna hari Minggu menjadi sangat penting. Dalam Gereja Katolik Roma, Hari Minggu menjadi taktergeserkan kecuali oleh pesta-pesta Tuhan seperti; Pesta Keluarga Kudus, Baptisan Tuhan, Tritunggal Mahakudus, Kristus Raja, serta hari-hari raya lainnya. Perayaan lainnya yang boleh dilakukan pada Hari Minggu hanyalah Kelahiran Yohanes Pembatis, Rasul Petrus dan Paulus, Hari raya SP Maria diangkat ke Surga serta Pesta-pesta pelindung setempat. Maka pada masa Adven, masa Puasa dan masa Paskah Hari Minggu diprioritaskan secara mutlak. "Hari Minggu itu pangkal segala pesta"[17]. Perayaan MP pada hari Minggu erat sekali hubungannya dengan liturgi Pekan Suci. Konstitusi Liturgi menegaskan bahwa "[Hari Minggu] umat wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus"[18]. Meskipun MP secara umum dirayakan pada setiap hari Minggu dan secara khusus dirayakan pada Pekan Suci dan Paskah, tetapi "kwalitas" MP itu tidak berarti Paskah dan hari minggu itu dimensi sakramentalnya lebih rendah yang satu dengan yang lainnya.
Untuk menyatukan MP itu tradisi Gereja telah menentukan jenjang waktu selama 50 hari sebagai "Hari Minggu Agung". Lima puluh hari itu bermuatan makna sebagai "satu hari". Pedoman kalender menegaskan, "Waktu limapuluh hari, dari Minggu Paskah sampai hari Minggu Pentakosta, dirayakan dengan penuh sukacita sebagai satu perayaan besar, sebagai "Hari Minggu Agung"[19]. Suatu tradisi "perayaan-peringatan" yang sudah ada sejak abad ke-2 yang dipahami sebagai kelanjutan dari MP. Dalam penanggalan liturgi masa 50 hari tersebut terdiri atas 7 hari Minggu. Oktaf Paskah berakhir pada hari Sabtu setelah Paskah. Selama hari-hari tersebut kwalitasnya disamakan dengan hari Minggu.[20]
Keagungan MP dikembangkan oleh Gereja dengan menekankan unsur intensitas dari seluruh MP itu dengan memadatkannya selama 50 hari mulai dari Paskah hingga Pentakosta. Namun serentak juga bermakna unik dan tunggal sebagai suatu perayaan sakramental, bersama dengan para baptisan baru dan para pentobat, menjadi "satu hari"; yang disebut hari Alleluia. Hari Alleluia itu kemudian akan dimahkotai oleh perayaan Pentakosta.
Dalam Perjanjian Baru hari Minggu yang disebut juga sebagai "hari pertama"[21] dalam pekan, "hari kedelapan"[22] atau "hari Tuhan"[23], sudah mendapat tempat sangat istimewa. Bukan sekedar untuk membedakan dan menjadi reaksi negatif atas tradisi semitis yang menempatkan hari Sabat sebagai hari yang harus dijunjung tinggi, tetapi karena hari Minggu itu sebagai hari kebangkitan Tuhan dan hari penampakan[24], juga sebagai hari turunnya Roh Kudus[25]. Bahkan hari Minggu (setiap hari Minggu) juga merupakan hari yang ditetapkan Paulus untuk mengumpulkan dana, bantuan, derma atau tindakan karitatif yang konkrit.[26]
Disebut "hari pertama" tentu saja memiliki dimensi teologis yang mendasar. Bagi Gereja awal "hari pertama" bermakna "penciptaan baru"[27]. Peristiwa kebangkitan yang terjadi pada hari Minggu itu mensyahkan kosmos baru. Makanya hari Minggu ini harus dihormati dan dikuduskan. Konkritnya, sejalan dengan tradisi hari Sabat Yahudi, pada hari Minggu itu tidak diperkenankan untuk bekerja (opera servilia). Pelanggaran akan aturan ini, secara sosiologis, dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dihukum cambuk atau denda dengan uang.[28] Pada abad Pertengahan, kelalaian atau sengaja tidak memenuhi kewajiban Misa Hari Minggu dianggap sebagai dosa besar. Suatu fenomena sejarah yang menempatkan keisitimewaan dan keluhuran hari Minggu.

Beberapa Saran Pastoral
Liturgi pada hakekatnya bersifat pastoral dan kateketis baik sebelum, sewaktu atau sesudah pelaksanaan perayaannya. Frekwensi "perayaan peringatan" misteri Paskah mengandaikan intesitas, seperti kata pepatah repetitio mater scientiam est (pengulangan itu ibu pengetahuan). Dalam perayaan liturgi, iman, harapan dan kasih jemaat beriman bukan hanya dididik, diperdalam, diperluas atau didewasakan, tetapi juga menjadi saat pengungkapan dan peng-alaman-nya. Sabda Allah yang diwartakan dan dibahas dalam homili serta perayaan secara simbolik gestural yang menciptakan pengalaman religius dan pengalaman pertemuan dengan yang misteri akan memantapkan iman harapan dan cinta jemaat. Bahkan dalam perayaan liturgi inilah seseorang bisa menjadi beriman. Karena liturgi menjadi momen pewahyuan.
Pastoral artinya seni membimbing dan membawa umat kepada Kristus dan membawa Kristus kepada umat. Suatu seni mempertemukan. Dalam hal ini Liturgi secara pastoral dapat diartikan sebagai upaya membawa jemaat agar dapat mengekspresikan dan mengalami pertemuan dengan Allah secara baik, benar, dan berdayaguna, yang pada gilirananya mereka dapat memulyakan dan memperoleh pengudusan.
Hari Minggu sebagai hari Paskah mingguan, dapat disebut sebagai hari umat Kristiani, hari raya yang mendasar. Secara kwalitatif lebih bermakna spiritual dan lebih tinggi daripada hari-hari yang lain.[29] Maka Misteri Paskah, yang dijabarkan dalam masa persiapan dan pengembangannya, adalah pusat pengungkapan dan penghayatan iman (juga harapan dan kasih) Gereja kepada Allah, oleh karenanya kemeriahan (solemnitas) perayaan liturgi mendapat prioritas utama dibandingkan dengan masa lainnya. Dan karena Misteri Paskah itu sentral bagi kehidupan umat beriman, maka hari Minggu menjadi saat yang paling dianjurkan untuk merayakan dan berpartisipasi aktif kedalam Misteri Kristus itu. Pada setiap hari Minggu umat memperingati sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Kristus dan bersyukur atas penyelamatanNya. Wajarlah bila persiapan dan pelaksanaan liturgi yang baik, indah dan benar menjadi sangat penting agar umat dapat menimba manfaat dari peristiwa keselamatan tersebut. Liturgi yang baik, benar dan indah itu membangun iman jemaat, namun juga iman jemaat menentukan liturgi yang baik. Spontanitas, improvisasi dan kreatifitas murahan yang merusak keluhuran liturgi Hari Minggu harus dihindarkan.
Masa Natal misalnya, yang secara tradisi dirayakan dan dipersiapkan lebih meriah oleh umat daripada masa Paskah, mestinya umat menyadari keunggulan MP. Inkarnasi dan kelahiran Allah memang penting, namun kebangkitan paling menentukan keselamatan manusia. Perayaan Natal itu merupakan misteri atau hanya peringatan ulang belaka? Begitu juga secara liturgis ada kejanggalan makna. Bila liturgi (eg. Ekaristi) pada dasarnya "anamnesis" atas menderita, wafat dan kebangkitan Kristus, bagaimana jadinya Perayaan liturgi Natal? Sementara Kristus baru lahir![30]
Paskah mingguan, secara pedagogis, sebagai suatu perayaan misteri Kristus itu amat berguna untuk menumbuh kembangkan spiritual Kristen baik secara pribadi maupun secara komunitas beriman. Yang pada dasarnya hidup kristen merupakan suatu jiarah iman dan jiarah hidup untuk menjadi serupa dengan Kristus. Seperti dikatakan oleh Dom Odo Casel, OSB, "Like a path that goes around and up a mountain, slowly making the ascent to the height, we are climb the same road at a higher level, and go on until we reach the end, Christ himself".[31] Suatu upaya kita sepanjang tahun liturgi melalui tindakan ritual yang teratur untuk mengenal, mencintai dan mengalami misteri Kristus. Pere Guaranger seorang Benediktin[32] yang mendalami makna Tahun Liturgi menegaskan bahwa perayaan liturgi yang dilakukan sepanjang Tahun Liturgi adalah "pembentukan Kristus dalam diri kita". Hari Minggu menjadi saat dan tempat seseorang menjadi benar-benar Kristen per definitionem. Lebih jauh lagi Odo Casel, OSB[33] meyakini bahwa partisipasi aktif kedalam misteri Paskah yang dirayakan dalam Liturgi memberikan jaminan keselamatan. Artinya hanya bagi mereka yang merayakan dan masuk terlibat aktif yang akan memperolehnya. Tidak dijanjikan bagi mereka yang tidak merayakannya. Disini menjadi jelas bila struktur dasar perayaan liturgi dimengerti sebagai momen glorifikasi dari manusia dan divinisasi dari Allah, maka liturgi mingguan menjadi saat dan tempat ketika kita membutuhkan berkat, kekuatan dan pengudusan dan rekonsiliasi dengan Allah. Memuliakan Allah dan mengucap syukur tentu bisa kapan saja, namun ketika hari Minggu menjadi hari yang istimewa karena kesakralannya, maka menjadi momen yang tepat dan istimewa karena ab origine dan in illo tempore misteri-misteri Kristus itu terjadi pada hari Minggu. Mengikuti pernyataan Konstitusi Liturgi bahwa , "berdasrakan Tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu".[34] Glorifikasi mingguan yang dihunjukan melalui upacara ritual setiap hari Minggu itu menjadi suatu imperasi dan semestinya dihayati sebagai hari penuh syukur.

Bahan Acuan:
1. Adam, Adolf, The Liturgical Year, The Pueblo Book, New York, 1981
2. Casel, Odo, The Mystery of Christian Worship, The Newman Press, London, 1962
3. Chupungco, Anscar, J., Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, Pueblo Book, Collegeville, 2000
4. Dies Domini, Seri Dokumen Gerejani, no. 45, Jakarta, 1999
5. Documents on the Liturgy, 1963 - 1979; Conciliar, Papal, and Curial Text, The Litugical Press, Collegeville, 1982.
6. Maxima redemptionis nostra mysteria, 16 Nov., 1955; AAS no 47 (1955)
7. Missale Romanum (Tata Perayaan Ekaristi), Kanisius, Jogjakarta, 1979.
8. Neunheuser, B., (et al), Anamnesis: La Liturgia momento nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992.
9. Normae Universales de Anno Liturgico et de Calendario, 21 Maret 1969, Bina Liturgia 2E, Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
10. Pedoman Pastoral Liturgi, PWI-Liturgi, Kanisius, Jogjakarta, 1973.
11. Sacrosanctum Concilium, Seri Dokumen Gereja no. 9, Dokpen KWI, Jakarta, 1990.
12. Vagaggini, Cypriano, Theological Dimensions of the Liturgy, The Litrugical Press, Collegeville, 1976.
[1]Cf. Sacrosanctum concilium. No. 5
[2]Cf. Missale Romanum, Prefasi Paskah II.
[3]Cf. Gaudeum et Spes, no. 45.
[4]Lih. Rm 6, 4; Ef 2,6 dan Kol 3, 1
[5]Lih. SC. No 6
[6]Lih. SC no. 10
[7]Lih. SC no.7
[8]Lih. 2Kor 5, 15
[9]Lih. Inter oecominici. No.6
[10]Lih. Sc. 102
[11]Lih. SC no. 6
[12]Lih. Cipriano Vagaggini, Theological Dimension of the Liturgy, Collegeville, The Liturgical Press, 1976, p. 325 passim.
[13]Cf. Mysterii Paschalis, dalam Document of the Liturgi, no.440
[14]Dalam Gereja katolik misalnya perayaan peringatan Bunda Maria dan Santo-santa.
[15]Lih B.Neuenhauser, (et.al), Anamnesis; La liturgia nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992
[16]Lih. SC. No. 108
[17]Lih. SC no. 106.
[18]Ibid
[19]Lih.NUALC. No.4 (Normae Universales de Anno Liturgicae et de Calendario, 21 Maret 1969. Dalam Bina Liturgia 2E Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
[20]Ibid. No.24
[21]Lih. Kis 20, 19.
[22]Lih Yoh 20, 26
[23]Lih Why 1, 10
[24]Lih. Mt 28, 9; Lk 24, 13ff dan 36; yoh 20,19ff.
[25]Lih Kis 2, 1ff dan Yoh 20, 21-23.
[26]Lih 1Kor 16, 1-2.
[27]Lih 2 Kor 5, 17.
[28]Cf. Adolf Adam, The Liturgical Year, Pueblo Publishing , New York, 1981, pp.44-45.
[29]Cf. Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Dies Domini, Seri Dok Gerejani no. 45. hl. 9.
[30] Mana lebih penting saat kelahiran seorang Giovanni Battista Montini atau saat terpilihnya dia sebagai Paus yang kemudian dia menjadi Paus Paulus VI? Kata Vagaggini. Sekedar untuk membandingkan signifikasi Natal dan Paskah.
[31]Lih. Odo Casel, The Mystery of Christian Worship, edited by Burchard Neunheuser, OSB, The Newman Press, London, 1962.
[32]Lih. Anscar J. Chupungco, Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, A Pueblo Book, Collegeville, 2000, p. 318
[33]Ibid
[34]SC. No 106

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).