Rabu, 26 September 2007

penderitaan?

PENDERITAAN

Penderitaan itu kenyataan yang tak terelakan bagi setiap orang. Siapapun dia, yang baik atau yang jahat, yang suci ataupun yang berdosa, yang pintar ataupun yang bodoh, yang muda ataupun yang tua dan juga yang kaya ataupun yang miskin. Semua orang pernah, sedang dan tetap akan mengalami penderitaan. Apa pun bentuk, bobot dan macamnya. Kesusahan, kemalangan, kesedihan, kedukaan, dan kehancuran serta kegagalan baik secara kecil-kecilan maupun secara besar-besaran, baik secara sementara ataupun secara berkepanjangan. Penderitaan itu kenyataan yang harus ditanggung oleh setiap manusia. Mengapa? Karena penderitaan adalah hidup, dan hidup adalah penderitaan. Saya menderita, maka saya ada. Saya ada maka menderita. Hmm....begitu muram dan pesimisnya. Penderitaan mungkin bukan sekedar ditanggung tanpa juntrung, tetapi dipahami dan diberi makna keluhurannya, arti terdalamnya dan manfaatnya bagi kehidupan.
Mendiang Paus Yohanes Paulus II ketika memberi pidato pada kaum muda di Lima tahun 1985 mengatakan bahwa “penderitaan itu pada dasarnya adalah nasib (destiny) setiap manusia”. Penderitaan, apa lagi bagi seorang yang tanpa cela, adalah saat purifikasi, pembersihan, jalan lempang menuju keabadian ilahi. “Suffering is a concealed particular power that draws a person interiorly to Christ”, kata Paus. Penderitaan itu menjadi semacam anugerah, daya tersembunyi, yang memampukan kita secara batin dekat dengan Kristus. Bukankah dekat dengan Allah dan mengimitasi Kristus adalah cita-cita hakekat dari kekeristenan? Nama “kristen” yang diemban yang perlu diejawantahkan? Dalam penderitaan, kata Paus, terkandung makna penebusan dan pewartaan. Persis seperti diyakini oleh Edith Stein, Karmelit yang dibunuh di Auschwitz, yang mengatakan bahwa penderitaan (salib) dalam kehidupan kita sehari-hari adalah saat pengudusan diri dan saat menyelamatkan jiwa kita masing-masing. Kita ingat bahwa hanya dengan penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus, sang maut dan iblis ditaklukan.
Tuhan Allah menderita, kita juga. Apakah berarti Allah itu tidak maha kuasa? Bukankah dunia ini diciptakan baik adanya? Kemana Allah ketika saya menderita, mengapa membiarkannya? Apa salah saya? Itu pertanyaan-pertanyaan klise yang selalu kita ajukan. Kita menggugat Allah, atau berdoa dengan cucuran airmata meski tidak pernah mendapat jawaban. Tuhan sadis. Tuhan masokhis. Tuhan tidak mengajarkan bagaimana kita dapat mengelak dari penderitaan, atau menunjukan cara bagaimana mengatasinya. Orang kristen menjadi sadomasokhis. Dorothee Soelle, seorang feminis, teolog, penyair dan mistikus modern, memang pernah curiga seperti itu. Dia mengkritik bila penderitaan diklaim sebagai jalan keselamatan, apalagi bila sekedar memberi jawaban itu sebagai “solusi iman”. Kecurigaan Soelle memang pantas, bila pemaknaan penderitan berhenti sampai di situ. Penderitaan itu baru bermakna bila melahirkan tindakan, menyarankan ketabahan yang aktif, bukan kepasrahan buta yang pasif. Penderitaan itu menjadi pemicu kesadaran untuk berbuat dan bertindak. Derita bisa menjadi pembangkit kreatifitas. Pada tingkat tertentu penderitaan diakui dapat lebih memanusiawikan seseorang yang mengalaminya, sejauh dia memaknainya. Tapi yang utama dan pertama-tama adalah bila dengan penderitaan itu dia menjadi semakin ilahi. Jadilah ilahi seperti Allah ilahi adanya. Yesus Kristus dalam hal ini telah memberi teladan-Nya.
Dari sisi lain, penderitaan akan bermakna lebih luhur lagi bila kita sudah mampu merasakan penderitaan orang lain dalam diri kita sendiri. Deritamu menjadi deritaku. Secara kwalitatif lebih tinggi dari makna penderitaan yang sekedar kita alami. Seseorang yang mampu mencapai ke tingkat ini sebenarnya ia mempunyai potensi untuk berpartisipasi pada esensi penderitaan itu sendiri. Potensi sympathea, adalah jalan ke pencerahan, ke-ngeuh-an pada hakekat terdalam dari hidup ini; yakni bahwa yang ilahi itu menderita dan penderitaan itu ilahi adanya.
Penderitaan menjadi tanda, merek atau ciri khas pada kehidupan. Adanya penderitaan berarti adanya hidup. Seperti tangis bayi yang baru lahir menjadi pratanda adanya kehidupan. Penderitaan itu merupakan bagian dari hidup kita, melekat dan menyatu dalam hidup kita. Karenanya melawan penderitaan bagaikan melawan diri kita sendiri. Seperti menyangkal hakekat hidup kita sendiri. Mestinya penderitaan itu disukuri. Dalam arti ini pengalaman penderitaan adalah pengalaman religius dan merupakan realitas spiritual. Ketika Allah kita disalib, itu bukan sekedar solidaritas Allah pada derita manusia, atau cinta-Nya yang besar pada nasib manusia, tetapi hendak menunjukkan hakekat terdalam diri-Nya. Penderitaan. Dalam penderitaan kita menemukan diri kita sendiri, sesama kita, menyadari hakekat hidup kita dalam kosmos ini dan jalan yang terpendek untuk berjumpa dengan Allah. Allah tidak datang dari petualangan filosofis metafisis atau dari sejumlah hipotesa teologis. Pencarian Allah dimulai dari pengalaman penderitaan. Allah ditemukan ketika kita hidup dalam penderitaan dan hidup dari penderitaan. Allah yang ditemukan adalah Allah yang penuh belaskasih, yang menderita. Di sinilah kita bisa mencerna makna bahwa manusia adalah citra Allah, dan, mengapa Allah kita menderita.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).