TARAKBRATA RESI BISMA
"Nama bayi ini Dewabrata." Kata Dewi Gangga menjelang kembalinya ke Swargaloka. "Kelak ia akan menjadi satria sakti, mahawira, arif bijaksana, pemikir dan pujangga agung. Ia akan menjadi panglima perang yang dikagumi lawan maupun kawan..." Dewi Gangga meyakinkan Prabu Sentanu suaminya.
Tak ada yang meleset dari ramalan ibunya. Dewabrata kelak kemudian hari sungguh-sungguh menjadi ksatria sakti mandraguna. Kata-kata sang bunda yang "saciduh metu, saucap nyata" tak lain adalah expresi dari kehalusan rasa dan ketajaman pikirnya. Pernyataan yang sebenaranya tidak bisa dilihat sebagai ramalan namun lebih sebagai "kaweruh sadurunge winarah", suatu intuisi seorang wanita.
Kemahawiraan dan kesaktian Dewabrata, sang Putra Mahkota Astina Pura itu, tidak ada pertentangannya sedikitpun dengan ketaatan, hormat dan cinta kepada sang ayahanda, Prabu Sentanu. Kesatriaan tidaklah mesti dibuktikan di medan perang tetapi juga dalam membuat komitmen pribadi. Terbukti ketika Sentanu jatuh cinta dan mabuk kepayang pada Setyawati, sang calon ibu tiri Dewabrata, si gadis cantik jelita ini bersedia menjadi permaisuri kerajaan Astina asalkan anak dari keturunannya yang kelak menjadi raja. Bukan Dewabrata! Suatu permohonan yang dilematis bagi sang Prabu Sentanu. Dewabrata menyerahkannya sambil tersenyum.
Dewabrata adalah Putra Mahkota, pemilik syah tahta Kerajaan Astina. Dia memegang hak kerajaan. Sang prabu bingung dan gelap. Cintanya pada Setyawati sebesar cintanya pada sang putra. Takut akan kehilangan Setyawati setakut kehilangan Dewabrata si pewaris syah tahta Astina. Pada waktu itu Dewabrata memahami perasaan ayahnya tercinta, kemurungan, kebingungan dan deritanya. Kekesatriaan satria muda ini tergugah. Dia harus berbuat sesuatu.
Dewabrata datang bersujud dan bersumpah dihadapan ayahnya, Sentanu, ujarnya: "Hamba berjanji dan peganglah teguh-teguh perkataan hamba ini, bahwa putra yang dilahirkan Setyawati yang ayahanda cintai itu, hamba relakan untuk menjadi raja. Dengan senang hati hamba akan turun dari tahta demi kepentingan Kerajaan astina yang akan melanjutkan keturunan kita. Hamba berjanji tidak akan kawin. Seluruh hidup hamba akan hamba peruntukkan demi pengabdian dan kesucian..."
Tatkala tarakbrata itu dikatakan, konon bunga-bunga kemboja di taman istana berguguran menyebarkan keharumannya. Sepertinya menyambut suatu peristiwa yang suci yang sedang terjadi. Atau lebih tepatnya memberi isyarat akan suatu peristiwa yang akan terjadi.
Keagungan dan keberanian sumpah setia Dewabrata menyiratkan ketaatan yang suci pada yang berkuasa, ketidaklekatan pada kekuasaan meskipun ia menghakinya; ketidaksilauan akan kekayaan dan kelimpahruahan, meski ia memilikinya; kekesatriaan dalam totalitas "pecat raganya" berupa hidup wadat sepanjang hidupnya, meski ia mencintai dan teramat dicintai oleh Dewi Amba sang bidadari jelita. Ia lebih memilih untuk menjadi seorang Bramacaya.
Tarakbrata terhadap tahta, harta dan wanita adalah ikrar yang mentahbiskan dirinya sebagai seorang Bisma. Seorang resi suci yang telah mencapai tingkat transendensi diri. Pilihan adalah memihak pada nilai yang lebih luhur. Keadilan dan cinta lebih dari sekedar memberikan haknya. Didalam pengabdian, ketidaklekatan dan penyangkalan diri memuat esensi pengorbanan itu sendiri. Tarakbrata adalah jalan bukan tujuan, adalah jalan yang terjal, keras dan berbatu yang mesti ditempuh untuk mencapai titian. Bukan disangkal melainkan ditransendensir. Kekesatriaan dan kebajikannya itu ada pada upaya untuk meraihnya. Resi Bisma mencapainya persis pada saat anak panah Srikandi titisan Dewi Amba kekasihnya menancap di jantung hatinya. Ia rebah berdarah di tengah lapangan Kurusetra. Saat ia melepas nyawanya, bunga-bunga kemboja di taman istana kembali berguguran menebarkan keharumannya turut menyucikan nilai sebuah kesetiaan.
"Nama bayi ini Dewabrata." Kata Dewi Gangga menjelang kembalinya ke Swargaloka. "Kelak ia akan menjadi satria sakti, mahawira, arif bijaksana, pemikir dan pujangga agung. Ia akan menjadi panglima perang yang dikagumi lawan maupun kawan..." Dewi Gangga meyakinkan Prabu Sentanu suaminya.
Tak ada yang meleset dari ramalan ibunya. Dewabrata kelak kemudian hari sungguh-sungguh menjadi ksatria sakti mandraguna. Kata-kata sang bunda yang "saciduh metu, saucap nyata" tak lain adalah expresi dari kehalusan rasa dan ketajaman pikirnya. Pernyataan yang sebenaranya tidak bisa dilihat sebagai ramalan namun lebih sebagai "kaweruh sadurunge winarah", suatu intuisi seorang wanita.
Kemahawiraan dan kesaktian Dewabrata, sang Putra Mahkota Astina Pura itu, tidak ada pertentangannya sedikitpun dengan ketaatan, hormat dan cinta kepada sang ayahanda, Prabu Sentanu. Kesatriaan tidaklah mesti dibuktikan di medan perang tetapi juga dalam membuat komitmen pribadi. Terbukti ketika Sentanu jatuh cinta dan mabuk kepayang pada Setyawati, sang calon ibu tiri Dewabrata, si gadis cantik jelita ini bersedia menjadi permaisuri kerajaan Astina asalkan anak dari keturunannya yang kelak menjadi raja. Bukan Dewabrata! Suatu permohonan yang dilematis bagi sang Prabu Sentanu. Dewabrata menyerahkannya sambil tersenyum.
Dewabrata adalah Putra Mahkota, pemilik syah tahta Kerajaan Astina. Dia memegang hak kerajaan. Sang prabu bingung dan gelap. Cintanya pada Setyawati sebesar cintanya pada sang putra. Takut akan kehilangan Setyawati setakut kehilangan Dewabrata si pewaris syah tahta Astina. Pada waktu itu Dewabrata memahami perasaan ayahnya tercinta, kemurungan, kebingungan dan deritanya. Kekesatriaan satria muda ini tergugah. Dia harus berbuat sesuatu.
Dewabrata datang bersujud dan bersumpah dihadapan ayahnya, Sentanu, ujarnya: "Hamba berjanji dan peganglah teguh-teguh perkataan hamba ini, bahwa putra yang dilahirkan Setyawati yang ayahanda cintai itu, hamba relakan untuk menjadi raja. Dengan senang hati hamba akan turun dari tahta demi kepentingan Kerajaan astina yang akan melanjutkan keturunan kita. Hamba berjanji tidak akan kawin. Seluruh hidup hamba akan hamba peruntukkan demi pengabdian dan kesucian..."
Tatkala tarakbrata itu dikatakan, konon bunga-bunga kemboja di taman istana berguguran menyebarkan keharumannya. Sepertinya menyambut suatu peristiwa yang suci yang sedang terjadi. Atau lebih tepatnya memberi isyarat akan suatu peristiwa yang akan terjadi.
Keagungan dan keberanian sumpah setia Dewabrata menyiratkan ketaatan yang suci pada yang berkuasa, ketidaklekatan pada kekuasaan meskipun ia menghakinya; ketidaksilauan akan kekayaan dan kelimpahruahan, meski ia memilikinya; kekesatriaan dalam totalitas "pecat raganya" berupa hidup wadat sepanjang hidupnya, meski ia mencintai dan teramat dicintai oleh Dewi Amba sang bidadari jelita. Ia lebih memilih untuk menjadi seorang Bramacaya.
Tarakbrata terhadap tahta, harta dan wanita adalah ikrar yang mentahbiskan dirinya sebagai seorang Bisma. Seorang resi suci yang telah mencapai tingkat transendensi diri. Pilihan adalah memihak pada nilai yang lebih luhur. Keadilan dan cinta lebih dari sekedar memberikan haknya. Didalam pengabdian, ketidaklekatan dan penyangkalan diri memuat esensi pengorbanan itu sendiri. Tarakbrata adalah jalan bukan tujuan, adalah jalan yang terjal, keras dan berbatu yang mesti ditempuh untuk mencapai titian. Bukan disangkal melainkan ditransendensir. Kekesatriaan dan kebajikannya itu ada pada upaya untuk meraihnya. Resi Bisma mencapainya persis pada saat anak panah Srikandi titisan Dewi Amba kekasihnya menancap di jantung hatinya. Ia rebah berdarah di tengah lapangan Kurusetra. Saat ia melepas nyawanya, bunga-bunga kemboja di taman istana kembali berguguran menebarkan keharumannya turut menyucikan nilai sebuah kesetiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar