Rabu, 26 September 2007

blink-blank

BLINK DAN BLANK
Fabianus S Heatubun

Blink dan Blank adalah judul-judul buku yang sedang populer. Blink dikarang oleh Malcom Gladwell dan Blank ditulis oleh Noah Tall. Buku-buku ini sedang digandrungi banyak orang dan disebut-sebut sebagai buku best seller pada masa ini. Menjadi sebuah buku best seller itu tentu saja ada berbagai alasan yang nyaris kompleks. Bisa karena pengarangnya yang handal, bisa karena judulnya yang menawan atau temanya yang memikat. Bisa jadi juga karena sub judul masing-masing buku itu yang bikin penasaran banyak orang. Blink memberi sub judul “The Power of Thinking without Thinking”, sedang Blank membubuhkan kalimat “The Power of Not Actually Thinking al All”. Atau karena buku itu dapat menjawab obsesi terpendam banyak orang. Jelas, Buku-buku ini telah menggoda para pemegang keputusan yang selalu dihadapkan pada setiap keputusan yang penuh resiko tinggi; untung-rugi, gagal-berhasil, tepat-meleset, hidup-mati. Begitu pula para intelektual, saintis dan ilmuan yang pekerjaan sehari-harinya berhubungan dengan pikirannya. Siasialah selama ini memuja kecanggihan berfikirnya bila menyangkut keputusan atau pernyatan yang sulit dan rumit itu justru tidak perlu menggunakan pikiran sama sekali. Logika sublim, analisis akurat dan pertimbangan yang hati-hati sudah tidak perlu lagi. Bagi orang-orang biasa buku ini disambut dengan meriah, menjadi semacam proklamasi anti intelektualisme dan rasionalisme. Mereka merasa dibenarkan. Matinya keangkuhan “Promothean” dan lonceng kematian “Faustian”.
Dua buku macam ini sungguh fenomena. Memberi petunjuk. Apa yang sedang terjadi dibalik permukaan peradaban ini? Sudah banyak orang malas berpikir karena kelelahan. Tanpa hasil, penuh dengan rangkaian kesia-siaan. Tidak mau berfikir karena sudah tidak percaya lagi pada daya pikir. Lalu, pelahan-lahan sepertinya, peradaban ini sedang meninggalkan “pikiran”, memusiumkannya. Mungkin suatu hari akan dicatat dalam sejarah, sebagai suatu kekeliruan, “kejayaan pikiran homo intellectus”, sambil mentertawakannya. Orang sekarang berpaling pada hati dan intuisi, rasa dan firasat. Dengan kata lain menyemarakan pemujaan pada ‘logika hati’ dan ‘logika sensasi’, meminjam istilah Gilles Deleuze. 90% pikiran kita tersesat bukan karena logika yang salah, tetapi karena pengindraan (persepsi) kita sudah dan selalu keliru berat. Ingat, logika tidak mengkontrol persepsi dan tidak pernah mampu mengkontrolnya.
Edward de Bono dengan bukunya New Thinking for The New Millenium masih percaya pada daya pikir manusia namun tetap memberi syarat: mesti dibongkar. Peradaban ini membutuhkan cara berpikir yang baru. Sambil menyitir pernyataan Albert Einstein, “Everything has changed except our way of thinking”, yang salah bukan pikirannya tetapi cara berpikirnya, cara mendekati realitas, cara mengkomunikasikan pikiran, dan tujuan dari berpikir itu sendiri. Bono menganjurkan untuk merombak ‘perangkat lunak’ pikiran yang bertumpu pada “what is”; yang terjerat pada ‘judgement’, terbuai pada analisis kritis dan pemahamannya serta memuja habis-habisan kebenaran. Gantikan dengan cara berpikir “what can be” yang bersifat merancang, kreatif, konstruktif dan bertujuan mengusung nilai dan makna. Sistem berpikir “what can be” menjauhkan pola pikir either/or, atau win/loose, true/false lebih menghendaki terciptanya nilai dan makna daripada mencari kebenaran. Bukan membela dan menyelamatkan kebenaran serta kepastiannya tetapi menyelamatkan nilai dan kemungkinannya. Pola pikir “what is” yang logis bekerja dengan fakta sedang pola “what can be” yang bersifat ‘merancang’ itu bekerja dengan persepsi. Bahasa manusia sudah tercemar oleh persepsi-persepsi yang salah, pada gilirannya logika berfikirpun menjadi keruh. Mendekati realitas dan memahami pikir dan rasa orang lainpun akhirnya tak juntrung. Pola “what is” harus diganti dengan pola “what can be”, untuk menyelamatkan sebutan manusia sebagai “animal rationale”. Atau sekedar untuk membedakan manusia dengan binatang.
“Thinking is more interesting than knowing, but less interesting than looking”, kata Goethe. Betul. Memandang penuh kagum isi semesta ini dan jangan berniat untuk memahaminya adalah cara mempersepsi yang paling suci dan bersih. Tanpa bahasa analisis yang telah keruh. Mendekati penuh kasih orang lain tanpa praduga dan curiga adalah cara berkomunikasi dan masuk dalam “terra incognita” pikir dan rasanya yang tak pernah terpahamkan. Nama lain untuk yang misteri. Membuat sebuah keputusan beresiko apapun secara spontan, secara instinktif namun dengan dasar cinta sudah merupakan pikiran yang melampaui pikiran dan pengetahuan. Kecerdasan berpikir ada pada hati dan niat baik. Karena kata Blaise Pascal, “Le coeur a ses raisons que la raison ne connait point” , hati sudah punya pikiran-pikirannya sendiri yang ‘pikiran’ (logika) tidak mampu memahaminya.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).