Rabu, 26 September 2007

belajar menunduk

Belajar Membungkuk
R.D. Fabie Sebastian H

Ada kebiasaan lama yang telah hilang dalam perayaan Ekaristi, sewaktu mengucapkan kata-kata “Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia (Credo versi Nicea Konstantinopel) atau “yang dikandung dari Roh Kudus dilahirkan oleh perawan Maria” (Credo versi Syahadat singkat), imam bererta umat membungkuk. Ritus menganjurkan agar ketika kita mengucapkan kalimat itu sambil membungkuk khusuk. Bahkan dalam Hari Raya Kabar Sukacita (tgl 25 Maret) dan Hari Raya Natal, sangat dianjurkan bukan hanya membungkuk, tetapi berlutut (perhatikan IGMR 2000 no. 137). Credo sebagai suatu pernyataan kebenaran iman Kristen memberi perhatian khusus dan istimewa serta membedakan secara kwalitatif dari kalimat-kalimat lainnya dengan sikap badan. Bahwa bagian itu adalah amat penting. Bagian yang membedakan iman kita dengan keyakinan lain. Secara tersurat dan tersirat, kita percaya bahwa Yesus Kristus itu adalah Allah yang menjadi manusia. Dalam hal inilah perayaan Natal mestinya menjadi perayaan misteri inkarnasi; pesta besar Sabda menjadi daging.
Membungkuk penuh khidmat, menundukan kepala penuh hormat, berlutut penuh sujud adalah ungkapan kepasrahan pada misteri iman, sikap takluk tanpa tedeng aling aling. Ketika akal budi dan daya nalar mentog mencapai puncaknya. Penyembahan dan pemujaan tampak dalam sikap tubuh seperti ini.
Mengapa mesti ada kandang-kandangan Natal dalam gereja? Tentunya bukan sekedar dekorasi supaya kelihatan ramai, atau sekedar memajang boneka-bonekaan lucu sekedar menarik perhatian anak-anak supaya mau pergi ke gerja. Kandang-kandangan itu memberi kesempatan momen devosional kepada kita ketika kita berlutut di depannya. Berlutut khusuk sambil mengungkapkan “aku percaya bahwa di kandang ini, yang seperti ini, Tuhanku menjelma menjadi manusia”. Sebagaimana para gembala yang menjadi representasi orang-orang sederhana dan tak terpelajar, hingga para sarjana Timur (Orang Majus) sebagai representasi orang-orang cendikia. Mereka semua berlutut. Berlutut tanda hormat dan takluk pada misteri yang tak terpahamkan; Allah menjadi manusia?
Kandang dan Betlehem adalah kebodohan, kekerdilan kalau bukan disebut kesederhanaan dan kesahajaan. Tempat dan peristiwa dimana orang-orang yang berasal dari sana selalu membungkuk, merunduk, takluk tak berdaya untuk menatap manusia, menatap kekuasaan, nama besar, kelimpahan dan hal-hal yang spektakular serta menakjubkan. Namun serentak kandang dan Betlehem itu adalah energi yang memikat dunia. Kandang itu memberi visi, memberi jawaban dan harapan dari sejuta pertanyaan para pemikir. Di kandang itu makna dan arti hidup yang telah direnungkan secara mendalam selama berabad-abad terungkap dengan gamblang. Di kandang itu pula penantian panjang yang membuat kerinduan dan panasaran akan janji Tuhan itu terpenuhi. Meskipun rahasia itu akan tetap tersembunyi bagi para cerdik pandai dan hanya akan disingkapkan pada mereka yang kecil dan sederhana. Hanya wadah yang kosong yang dapat diisi sesuatu. Kaum cerdik pandaipun bisa menangkap misteri itu sejauh dapat membungkuk penuh sujud. Mendekati yang misteri hanya mungkin dengan berbaring di atas rumputan sambil menatap sebuah bintang saja di antara milyaran bintang lainnya di langit, atau mengamati sebutir pasir di pinggir samudera lepas. “Look closely at a grain of sand, the seed of thousand beings can be seen...”, kata Mahmud Shabistari sang penyair.
Pada kandang yang kotor dan bau, Allah ada di sana. Allah menjelma dalam keadaan seperti itu. Bukan pada sesuatu yang spektakular atau yang fantastis. Hanya dengan menunduk penuh khidmat hingga berlutut pemuh hormat kita bisa menangkap yang misteri. Petualangan iman kristiani hanya akan berujung pada sikap sujud. “ingatlah hai manusia, engkau adalah debu dan akan menjadi debu”, suatu pernyataan ritual pada waktu memasuki masa pantang dan puasa yang menyadarkan hakekat diri kita. “Quia respexit humilitatem... karena memperhatikan daku hambanya yang hina ini”, dalam kidung Maria. Simplisitas itu tempat bersemayamnya Allah yang Mahakuasa. Simplisitas itu jalan ke keabadian. Kelemahan seorang bayi, kepapaan, ketidaklayakan, mata sapi dan mata keledailah yang mampu membuka tirai misteri inkarnasi. Seperti kata nabi Yesaya (Yes 1:3), “lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak...keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umatKu tidak memahaminya”.
Kerendahan hati atau humilitas yang memungkinkan kita memiliki rasa kagum dan takjub pada isi bumi ini. Humilitas itu membimbing kita pada kontemplasi, kata Santo Benediktus. Kontemplasi yang memungkinkan memandang Allah dalam peristiwa-peristiwa sederhana. Dia selalu berperan dalam sejarah hidup kita tanpa harus melalui kejadian-kejadian yang spektakuler, apalagi mukjizat-mukjizat. “Belajarlah daripada Ku, sebab aku ini lemah lembut dan rendah hati..”, kata Yesus. Orang yang menuntut tanda-tanda heran, keajiban, bukti-bukti berupa mukjizat adalah orang yang tidak mampu menunduk penuh khusuk ketika mengucapkan Credo apalagi berlutut di hadapan kandang natal. Tak mampu menunduk atau berlutut di depan kandang natal adalah kedegilan yang menutup mata iman untuk menatap misteri inkarnasi.
Peristiwa natal adalah saat yang selalu mengingatkan kita terus menerus bahwa Allah hadir, menjelma dalam hal-hal yang sederhana. Allah bukan sesuatu yang nun jauh disana. Dia dalam ketakterbatasannya menampilkan diri dalam keterbatasannya. Dalam transendensinya Ia tampil sebagai yang imanen. Itulah sebabnya Ia disebut Immanuel, Allah beserta kita. Natal mengajarkan kita untuk mengolah kedalaman iman dan keilahian hidup dalam peristiwa sehari-hari. Natal, secara spiritual mengajarkan bahwa hal-hal yang ada di sekitar kita, sesederhana apapun, memupuk rohani dan memelihara jiwa dan menuntun kita pada dimensi yang lebih ilahi.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).