Rabu, 26 September 2007

devosi 2

DEVOSI: Sakramen Mahakudus

Terminologi:
Dalam arti umum (profan), devosi berasal dari bahasa Latin de­votio (kata benda) atau devovere (kata kerja) yang artinya 'mencurahkan perhatian se­penuhnya pada' atau 'memasrahkan diri pada'. Senada dangan istilah 'dedikasi' yang mem­punyai muatan makna 'menyatakan pe­nyerahan diri pada sesuatu' dalam bentuk pemujaan atau pengagungan serta dalam wujud pengabdian pada sesuatu.
Dalam arti khusus (sakral), term de­vosi menunjuk pada ibadah dan pemujaan serta kepasrahan dalam menggantungkan diri pada realitas yang suci, menjadikannya tempat untuk memohon, mengadu atau memakainha sebagai perantara kepada Allah; baik kepada santo-santa, sifat-sifat ilahi dari Yesus Kristus ( seperti Hati Kudus, Salib Suci, Lima Luka Yesus, Kristus Raja), Trinitas, Roh Kudus, salah satu misteri hidup Kristus, Bunda Maria atau kepada Sakramen Mahakudus, dsb.
Dalam arti profan maupun sakral, kata devosi mengandung elemen-elemen seperti afeksi manusia, penghormatan, rasa segan, respek dan kagum, perhatian yang luarbiasa, kesetiaan dan cinta yang meluap. Sasarannya, dalam arti ini sebagai mediumnya, bisa me­rupakan suatu objek (materi dan benda mati), seseorang (pribadi) atau juga realitas yang abstrak (amorph, spirit). Devosi ini tidak hanya merupakan perasaan yang tersembunyi dalam hati, tetapi pertama-tama tampak dalam per­buatan dan tindakan pemujaan dan pe­nyembahan. Devosi menjadi ekspresi dari apa yang menjadi kecintaannya.
Dalam Bahasa Indonesia kata devotio itu diterjemahkan tetap dengan kata 'devosi'. Pedahal sudah ada padanannya seperti kata 'bakti'. Dalam Bahasa Sanskerta, kepasrahan diri (self-surrender) yang disebut prapatti ditunjukkan dalam tindakan nyata, sebagai ekspresinya, yang disebut bhakti. Maka bila sikap dasar dalam devosi adalah cinta yang afektif, dan devosi itu juga mengandung unsur tindakan yang nyata, lebih baik devosi itu diterjemahkan menjadi cinta-bakti. Perasaan itu tidak pernah membuat jasa, ia mem­butuhkan tindakan yang nyata. Devosi me­muat makna cinta yang diwujudkan dalam tindakan tertentu. Karena ada cinta maka mengandaikan ada bakti, adanya bakti berarti karena ada cinta.
Lebih tajam lagi devosi itu harusnya merupakan wujud transformasi diri (self-transformation) dimana bukan lagi aku yang hidup, melainkan yang menjadi objek devosi­kulah yang hidup. Maka hidupku menjadi hidup devosional yang berporos pada siapa atau apa yang menjadi wujud devosiku. Aku menjadi "cangkang" bagi "isi". Bukan hanya "bakti" yang menjadi wujud nyata keter­gantungan, penyerahan, dedikasi dan kese­tiaanku pada objek atau persona tertentu. Tetapi juga seluruh hidupku, roh dan spiritku dijiwai oleh yang menjadi devosiku. Istilah "devout" biasa dipakai untuk menyebut orang yang hidupnya penuh dengan dedikasi pada pribadi ilahi tertentu.
Kata bhakti dalam Hinduisme ini dipakai untuk membedakan dengan term puja sebagai bentuk penyembahan yang bersifat resmi dan terstruktur. Seperti dalam bahasa Arab ibadah, yang menunjuk pada tindakan devosional, mempunyai akar kata abd yang berarti abdi atau hamba. Jadi sebuah ibadah selalu mengandaikan sikap dasar seorang hamba yang bersujud pada Allah. Term ibadah ini untuk membedakan dengan term salat yang menunjuk pada aktifitas penyembahan secara formal.
Kita melihat adanya kerancuan ter­minologis untuk menggambarkan sikap de­vosional itu. Kata-kata seperti pemujaan atau sembahyang, kebaktian dan ibadat sering disamakan atau diacak pemakaiannya. Pada gilirannya istilah devosi menjadi terasa asing bila diterjemahkan dengan cinta-bakti atau ibadah misalnya. Tetapi bila dikembalikan pada arti kata sejak awalnya mempunyai makna dan arti perasaan cinta yang diuang­kapkan dengan tindakan tertentu, cinta bakti cukup tepat. Tepat bukan karena kata aslinya tetapi juga kata yang idealnya dipahami. Se­hingga bila term ini dipakai dalam konteks iman, menjadi iman yang menuntut tindakan. "Iman tanpa tindakan adalah mati", begitu kata St. Paulus.
Maka devosi itu tidak berpusat pada diri sendiri yang berkisar pada sentimentalitas keagamaan belaka. Devosi juga tidak menjadi tempat mencari hiburan rohani atau jalan pintas memperoleh rahmat Allah yang infantil. Tetapi justru sumber energi dan spirit untuk me­nunjukkan cinta pada Allah yang direalisasikan pada sesama. Atau, ketika dilihat sebagai medium untuk mentransformasi diri, devosi menjadi cara hidup menurut model hidup yang menjadi objek devosi.

M
embedakan Liturgi
Dengan Devosi
Liturgi dan devosi memiliki struktur dasar yang sama yakni doa. Suatu bentuk doa yang didalamnya terkandung unsur-unsur adorasi (penyembahan atau pemujaan), pujian syukur, ungkapan terimakasih, permohonan atau juga silih atas dosa-dosa. Begitu pula sikap yang dituntut dari doa yang liturgis dan devosional itu adalah kasih akan Allah. Selain daripada itu, doa itu selalu merupakan ke­kuatan untuk hidup. Disni kita ingat pepatah Ora et labora. Berdoa dan karya, seperti refleksi dan aksi menjadi dua aktifitas yang saling memaknai. Lalu apa yang membedakan devosi dengan Liturgi? Jawaban sementara yakni unsur individual-komunal atau privat-publik dan kerakyatan-institusional.
Semua doa sudah seharusnya personal. Artinya manakala kita berdoa -berbicara dengan Allah- pikiran dan perasaan kita itu sudah semestinya terlibat. Apa yang dikatakan itu sepadan dengan yang dipikirkan dan dira­sakan. Namun ada doa-doa yang diungkapkan itu sifatnya individual (private).[1] Doa yang individual itu tidak mengenal aturan. Bebas. Dimana saja, kapan saja dan bagaimanapun sikapnya, tidak ada yang mengikat. Termasuk lamanya, diucapkan secara keras atau dalam hati, spontan atau membaca.
Doa devosional bersifat individual, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara komunal, secara bersama-sama dengan orang lain. Karena individual, doa devosional itu bersifat afektif dan senti­mental. Unsur perasaan mendapat tempat istimewa. Artinya meskipun doa itu dila­ksanakan bersama-sama, kepentingan individu, pengalaman pertemuan dengan Allah, pe­ngalaman fusi (keterleburan), kepuasan rohani, perasaan tersentuh dan terharu mendapat perhatian kusus. Malah mungkin hal-hal ter­sebut yang sangat dicari dan diciptakan.
Sebaliknya doa liturgis itu sifatnya komunal atau kolektif. Doa liturgis meng­ungkapkan doa seluruh Gereja. Gereja -Tubuh misitik Kristus- yang berdoa. Jadi ketika kita berdoa, kita berdoa bersama Dia, dalam Dia dan melalui Dia, dalam persatuan dengan Roh Kudus menuju Allah Bapa. Liturgi suci itu adalah ibadat yang bersifat umum (publik), maka mengenal kaidah-kaidah yang mengikat. Artinya tidak bebas. Unsur kepentingan indi­vidu menjadi sekunder dan unsur kebersamaan mendapat tempat istimewa. Jadi manakala berdoa, umat Allah tidak mengekspresikan hal-hal yang sifatnya pribadi namun sebagai ang­gota dari Gereja. Oleh karenanya doa liturgis disebut sebagai doa ofisial atau doa resmi. Dan sesuai dengan asal katanya 'liturgi' yang berarti kerja bakti umum. Doa liturgis adalah ibadat imamat sakramental Gereja, yang membedakan dengan doa-doa devosional yang yang individ­ual.
Secara garis besar doa itu dibagi men­jadi dua macam. Pertama, disebut dengan cultus publicus yang disebut juga dengan nama 'Doa Gereja' yang bersifat formal dan yuridis dan terikat secara institusional. Yang kedua, disebut cultus privatus yang disebut juga dangan nama 'Doa Pribadi' yang bersifat indi­vidual dan informal, yang merupakan ekspresi iman kerakyatan.
Cultus privatus menunjuk pada cara berdoa yang bersifat pribadi dengan cara dan sikap pengungkapannyapun secara pribadi. Si pendoa berdoa di hadapan Allah tanpa orang lain dan demi kepentingan pribadi.
Cultus privatus biasa dilakukan diluar upacara liturgi resmi. Maka disebut juga dengan nama-nama seperti doa 'non-liturgis', doa 'ekstra-liturgis' atau doa 'para-liturgis'. Ada tiga tipe doa 'para-liturgis' itu; pertama, doa yang sifatnya lokal dan hanya dilakukan dalam skop keuskupan tertentu, dengan bukunya tersendiri. Sehingga disebut juga dengan nama 'liturgi diocesan'. SC 13[2] mengkategorikan model doa tersebut dengan istilah sacra exer­citia; yang kedua, disebut dengan nama pia exercitia menunjuk pada aktifitas bedoa yang juga dilakukan di mana saja namun tidak termasuk kategori liturgi. Misalnya Doa Ro­sario, Jalan Salib, Persekutuan Doa Karis­matik, dsb.dsb.; yang ketiga, yakni doa-doa tertentu yang dilakukan secara pribadi atau oleh suatu keluarga tertentu. Misalnya devosi pada "Doa untuk menghormati 5480 pukulan pada Tubuh Yesus", "Doa tiga Salam Maria", "Doa Malaikat Allah", dsb, dsb., yang kadang dipadukan juga dengan doa-doa harian seperti doa pagi, siang, dan malam.
Doa liturgi dan 'non-liturgi' (devo­sional) secara teologis dibedakan dengan dimensi 'anamnesis' dalam upacara atau peng­ungkapannya. Dimensi anamnesis itu ditun­jukkan dengan mengembalikan hakekat upa­cara liturgi itu sendiri sebagai 'perayaan-penge­nangan' yang menghadirkan. Maksudnya, bahwa manakala liturgi digelar atau diragakan, peristiwa penyelamatan (the saving events); yakni penderitaan, mati dan kebangkitan Kristus itu dikenang dan dihadirkan kembali disini dan kini. Anamnesis ini selalu mengan­daikan kata-kata, cara-cara dan materia secra simbolis yang sama dengan yang semula (e.g. kisah institusi, roti dan anggur). Lebih dari itu doa-doa liturgis selalu bersifat sakramen, sedang doa-doa devosional (non-liturgis) bersifat sakramentali.
Pia exercitia dan sacra exercitia sangat dianjurkan oleh Gereja sejauh sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja. Tingkat Konferensi Waligereja mem­punyai otoritas untuk menentukan mana yang sehat dan mana yang sesat.
Gereja menganjurkan umat untuk berdevosi karena diandaikan akan memperkaya doa-doa liturgi resmi. Liturgi dan devosi tidak bertentangan. Liturgipun tidak seharusnya menyingkirkan devosi, tetapi justru seharusnya membimbing dan memberi pengaruh yang positif untu perkembangan spiritual. Devosi itu pelayan yang sangat membantu liturgi. Meski demikian devosi itu bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesempurnaan doa Kristen.
Bila kita mengamati SC. no 13[3], tam­pak bahwa Konsili tidak melarang praktek-praktek devosi populer. Sebaliknya justru sangat mendukung, meski dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya harus memperhatikan masa-masa liturgi, sesuai dengan, bahkan, bersumber pada Liturgi. Karena liturgi tetap ditempatkan sebagai jenis doa yang lebih sempurna daripada yang non-liturgi atau yang devosional.
Doa Liturgi adalah pusat dan puncak hidup Kristiani. Untuk menimba kekuatan spiritual dan menjadi arah tujuan hidup Kristen terletak disana. Tujuan misiologis kitapun ada pada liturgi. Seperti yang dinyatakan oleh SC no.10, "Sebab usaha-usaha kerasulan mem­punyai tujuan ini: supaya semua orang me­lalui iman dan Baptis menjadi putera-puteri Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Korban, dan menyantap perjamuan Tuhan." Liturgi menjadi titik konvergensi dan diver­gensi hidup Kristiani.

K
arakter Dasar
Doa Liturgis:
Berdasarakan SC no.7, no.10 dan no.24 dapat dilihat karakteristik dari doa Liturgi atau doa yang bersifat institusional itu:
1. Doa Liturgis itu berakar pada dina­mika kehadiran Kebangkitan Kristus dalam Gereja-Nya. Unsur anamnesis menjadi kriteria dasar. Menciptakan keselamatan dan sekaligus menyelamatkan bagi mereka yang ber­partisipasi kedalam peringatan-perayaan misteri tersebut. Bila tidak ada unsur anamne­sis bukanlah doa Liturgi.
2. Doa Liturgis berakar pada Misteri Gereja. Bahwa Allah melalui Putera-Nya mencintai semua manusia pertama-tama, bukan secara individu-inidividu yang terisolir, kepada yang berkumpul dalam Gereja-Nya. Gereja adalah misteri; Tubuh mistik-Nya. Maka Liturgi ketika dirayakan selain menunjukkan identitas warga Gereja, tetapi juga menjadi wujud kesalehan komunal dan eklesial. Doa Liturgi menjadi sakramen kesatuan.
3. Doa Liturgis itu berakar pada dan selalu diperkaya oleh Kitab Suci. Seperti yang dinyatakan dalam SC no.24;
"Dalam Perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dije­laskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permo­honan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menye­suaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditujukan oleh tradisi luhur ritus Timur mau­pun ritus Barat."
4. Doa Liturgis itu berpusat pada ibadah-ibadah resmi Gereja seperti Perayaan Ekaristi, Sakramen-sakramen, dan Ibadat Harian (Ofisi Suci). Prinsip dasar Liturgi sebagai momen pengudusan (divinisasi) dan sekaligus pemuliaan (glorifikasi). Sakra­mentalitas memegang peran yang penting.
5. Doa Liturgis itu mengikuti ling-karan Tahun liturgi sebagai manifestasi misteri-misteri Kristus sejak Inkarnasi hingga Kena­ikannya ke Surga.
Demikain kita melihat beberapa ka­rakter dasar Doa liturgis (institusional) yang membedakan karakternya dengan Doa de­vosional (personal).

D
evosi pada Sakramen
Mahakudus
Devosi pada Sakramen Mahakudus itu banyak ragamnya antara lain; Prosesi Corpus Christi, Adorasi atau Salve (Astuti), Eksposisi Sakramen Mahakudus, atau Eksposisi se­kaligus pemberkatan dengan Sakramen Maha­kudus, mengunjungi Sakramen Mahakudus yang ada di dalam Tabernakel, termasuk diperbolehkannya membawa Sakramen Maha­kudus itu kepada orang yang sakit, diada­kannya Konggres Ekaristi setiap tahun juga merupakan wujud dari besarnya perhatian pada devosi Sakramen Mahakudus, dsb.
Devosi tersebut begitu kuat dan subur sebagai wujud dari keyakinan yang mendalam atas Ekaristi sebagai sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Bahwa Yesus Kristus itu benar-benar hadir secara real dan nyata. Tidak heran bila pada abad pertengahan orang pergi ke Perayaan Ekaristi hanya karena ingin meman­dang Sakramen Mahakudus saja ketika imam mengangkatnya, malah nyaris mereka datang hanya untuk itu dan pulang. Bila melewati sebuah Gerejapun, yang tahu bahwa disana ada Sakramen Mahakudus, mereka akan mebuka topi atau menundukan kepala sebagai penghormatan pada Sakramen Maha­kudus. Devosi yang begitu kuat itu, kita tahu bagaimana kritik kaum reformer (khususnya mengenai konsep trans-substansiasi) mendapat reaksi yang keras dan nyaris nekat dari umat yang membela mati-matian dan mempert­ahankannnya.
Sehingga tidak heran bila bentuk ekskomunikasi yang dianggap paling berat adalah tidak diperkenankannya mereka, yang terkena hukuman, untuk menyambut Sakramen Mahakudus.
Dapatlah dikatakan bahwa devosi kepada Sakramen Mahakudus itu sudah men­dapat tempat di hati umat sepanjang sejarah Gereja. Kepercayaan yang kuat akan trans­ubstasiasi membuat kunjungan devosional umat akan sakramen yang disimpan di taber­nakel menjadi kuat, prosesi-prosesi dilakukan sebagai ekspresi iman umat dan pemberkatan oelh Sakramen Mahakudus itu diyakini sebagai wujud nyata dari berkat Kristus sendiri.
Sudah sejak awalnya bahwa devosi-devosi tersebut bukannya untuk menggantikan Liturgi Ekaristi, tetapi justru sebagai wujud ungkapan dan pengembangan akan Liturgi Ekaristi. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Paus Urbanus IV (1264) bahwa devosi itu dianjurkan agar uamt lebih berpartisipasi dalam Liturgi Ekaristi. Meskipun mungkin sekarang kenyataannya menjadi lain.

D
evosi kepada Sakramen Mahakudus Menurut Dokumen Gereja.
Prinsip yang ditekankan oleh Konsili mengenai devosi yakni sesuai, bersumber dan mengantar pada Liturgi suci. Disebut sesuai artinya tidak bertentangan, malah seharusnya melengkapi dan bukan untuk menggantikan Liturgi. Bila liturgi dianggap kering dan kaku, tidak menyentuh dan rasional, maka devosi mestinya melengkapi kebutuhan psikologis umat. Dikatakan bersumber, artinya bentuk devosi itu hendaknya merupakan "per­panjangan" dari liturgi resmi. Misalnya devosi pada Sakramen Mahakudus. Jadi bukan suatu bentuk Devosi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Liturgi. Dengan kata lain, devosi itu harus ada kaitannya dengan Perayaan Ekaristi. Karena Ekaristi adalah sumber dan arah hidup spiritualitas Kristen[4]. Dan akhirnya, disebut menghantar artinya bahwa devosi itu bukanlah tujuan tetapi men­jadi sarana untuk menghantar dan menuntun umat pada Liturgi yang sejati.
Selain daripada itu, prinsip praktek devosional itu harus memperhatikan penang­galan Liturgi. Prinsip ini berlaku bagi semua jenis devosi termasuk devosi pada Sakramen Mahakudus, prosesi-prosesi, eksposisi dan pemberkatan. Dan yang perlu diperhatikan bahwa instruksi resmi itumenegaskan bahwa meskipun bagaimana devosi kepada Sakramen Mahakudus bukanlah Liturgi. Artinya devosi tersebut tidak menggantikan Liturgi Ekaristi.
Beberapa catatan yang perlu diper­hatikan dengan eksposisi Sakramen Maha­kudus dalam Eucharistiae Sacramentum (21 Juni 1973).
1. Perayaan Misa di area gereja yang sedang melangsungkan eksposisi dilarang. Bila Misa diandaikan harus dirayakan juga, maka eks­posisi harus dihentikan sementara.
2. Baik monstrans maupun sibori dapat digu­nakan untuk eksposisi.
3. Bila eksposisi hanya untuk sementara waktu saja, ekaristi dapat diletakkan diatas altar saja, tetapi bila untuk waktu yang lama maka eks­posisi harus menggunakan "singgasana" (sema­cam tempat atau tahta untuk meletakkan Sakramen yang diukir atau dihias secara indah dan bagus).
4. Sepanjang eksposisi berlangsung bisa diba­rengi dengan bacaan-bacaan Kitab Suci, ho­mili, nyanyian, saat hening, refleksi dan wejangan-wejangan singkat. Eksposisi kemu­dian diakhiri dengan berkat (Benedictio).
5. Eksposisi meriah tahunan bisa dilaksanakan bila memang umat yang berminat itu hadir dan mendapat ijin dari uskup setempat. Sebaikanya setahun sekali diadakan pentahtaan Sakramen Mahakudus secara meriah.
6. Praktek eksposisi Sakramen Mahakudus yang hanya melulu untuk berkat (Benedictio) sesudah Misa dilarang. Misa bukan demi eksposisi atau berkat.
7. Bila Sakramen Mahakudus ditahtakan dalam monstran dinyalakan 4 tau 6 lilin, yakni seba­nyak yang dipasang dalam Misa, dan digu­nakan pendupaan. Kalau Sakramen Maha­kudus ditahtakan dengan piksis, dinyalakan sekurang-kurangnya 2 lilin; dupapun boleh digunakan.
8. Di hadapan Sakramen Mahakudus, entah disimpan di tabernakel entah ditahtakan untuk sembah sujud umum, cukup berlutu satu kali.
9. Untuk suatu kepentingan umum yang men­desak, waligereja setempat dapat memerin­tahkan supaya di gereja-gereja yang banyak dikunjungi umat diadakan doa permohonan bersama di hadapan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan selama waktu yang cukup lama.
10. Petugas untuk pentahtaan ialah imam atau diakon, yang pada akhir sembah sujud, se­belum Sakramen dikembalikan ke tabernakel, memberkati umat dengan Sakramen Maha­kudus itu sendiri.
Tetapi bila imam dan diakon tidak ada atau sungguh berhalangan, Ekaristi dapat ditahtakan di hadapan para beriman untuk dihormati umat dan kemudian dikembalikan oleh:
a. Akolit dan petugas khusus untuk komuni.
b. Salah seorang anggota komunitas biara atau persekutuan saleh awam yang akan melakukan sembah sujud Ekaristi, entah pria entah wanita, yang direstui uskup.
Mereka ini boleh melaksanan pen­tahtaan, dengan membuka tabernakel atau jika dianggap baik dengan menaruh piksis di atas altar atau menaruh hosti dalam monstrans. Seusai sembah sujud, mereka mengembalikan Sakramen Mahakudus ke dalam tabernakel. Tetapi mereka tidak boleh memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
11. Kalau pelayan itu imam atau diakon, hendaknya ia mengenakan alba atau superpli di atas jubah, dan memakai stola putih.
Pelayan lain hendaknya mengenakan pakaian liturgis yang barangkali sudah lazim di daerah itu, atau mengenakan pakaian yang pantas untuk pelayan itu, dan sudah direstui uskup.
Untuk memberikan berkat pada akhir sembah sujud, bila pentahtaan dilakukan dengan monstrans, imam atau diakon menge­nakan pluviale dengan velum warna putih; bila dengan piksis cukup mengenakan velum.

X fabie X
[1]cfr. Mat 6,6; "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
[2].'Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan."
[3]"Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Tahta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu."
[4]Eucharisticum Mysterium, No. 50; "Bila kaum beriman menghormati Kristus yang hadir dalam Sakramen Mhakudus, hendaknya mereka ingat bahwa kehadiran itu bersumber pada Kurban Ekaristi dan terarah kepada persekutuan baik sakramental maupun spiritual. Jadi, rasa bakti yang mendorong kaum beriman untuk mengunjugi Sakramen Mahakudus, sekaligus menarik mereka untuk ambil bagian lebih besar dalam misteri Paskah, dan untuk menanggapi dengan penuh syukur pemberian diri Kristus: lewat kemanusiaan-Nya Ia tak henti-hentinya mencurahkan hidup ilahi kepada anggota-anggota Tubuh-Nya. Dengan berhimpun di sekitar Kristus Tuhan, mereka menikmati keakraban-Nya yang mesra; di hadapan-Nya mereka mencurahkan segala keprihatinan bagi diri sendiri dan semua sanak-saudara dan handai taulan, serta berdoa memohon damai dan keselamatan bagi dunia (.....). Maka hendaklah kaum beriman dengan penuh minat menghormati Kristus Tuhan dalam Sakramen Mahakudus selaras dengan keadaan hidup masing-masing".

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).