Rabu, 26 September 2007

membaca buku

MEMBACA BUKU ITU NIKMAT
Membaca itu menyenangkan sekaligus memberi kenikmatan tersendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan fisik lainnya. Kenikmatan membaca itu kenikmatan rohani, malah boleh disebut sebagai kenikmatan transendental. Karena dalam membaca, katakanlah itu buku-buku sastra yang bermutu, yang terjadi adalah ziarah batin, petualangan ke dunia imaginer yang penuh dengan deretan keindahan-keindahan yang mempesonakan dan menakjubkan yang pada gilirannya memberikan kepuasan batin. Begitu juga dengan membaca buku-buku non-sastra akan memberikan kenikmatan intelektual. Petualangan intelektual berupa pencarian makna pengetahuan adalah kerinduan mendasar manusia yang selalu ingin tahu sesuatu. Dengan membaca buku kerinduan itu dapat terpenuhi dan terpuaskan. Pengalaman cognitif itu, pengalaman dari tidak tahu menjadi tahu itu, secara existensial membebaskan diri dari obsesi keingintahuan seseorang. Upahnya tentu saja rasa percaya diri yang besar, bahkan kearifan dan kebijaksanaan dapat ditemukan dengan membaca.
Secara filosofis, pada waktu pembaca membaca suatu teks, katakanlah itu sebuah buku yang bermutu, terjadilah proses dialektis dalam penyimpulan-penyimpulan serta pemaknaan. Pemaknaan itu pada gilirannya memberikan rasa puas secara spiritual. Kenikmatan transendental itu mungkin saja terjadi berupa "kenikmatan keterkejutan" yang menyentuh perasaanya sehingga menghanyutkan si pembaca kepada kenyataan yang diungkapkan dalam buku. Tapi bisa jadi kenikmatan itu terjadi karena menyentuh dimensi intelektual. Pengalaman dari tidak tahu menjadi tahu adalah titik temu kesadaran dengan realitas yang tertera dalam tulisan. Ketersentuhan pada dimensi perasaan ataupun pikiran itu keduanya menjadi peristiwa tersedotnya si pembaca ke kenyataan diluar dirinya. Suatu "peng-alam-an" petualangan emosional dan sekaligus intelektual. Saat itu si pembaca mengalami apa yang disebut dengan "self-abandonment". Teks serentak lenyap dan yang muncul adalah konteks, bahkan teks dan konteks si pengarang lebur menjadi konteks yang baru. Itulah sebabnya membaca itu lebih merupakan suatu aktifitas yang memproduksi daripada sekedar membunuh waktu atau sekedar mengisi waktu senggang.
Ernest Hemingway, seorang sastrawan besar dari Amerika, dengan yakinnya mengatakan bahwa buku-buku yang bagus itu selalu menyergap dan menyerap pikiran dan perasaan si pembaca dan sekaligus membalikan pengalaman si pengarang menjadi pengalaman diri sipembaca dan pengetahuan sipengarang menjadi pengetahuan si pembaca. Descartes, sang filsuf besar, juga mengatakan bahwa membaca buku-buku yang bagus itu seperti berbincang-bincang dengan orang-orang hebat dan penting. Bila buku itu ditulis di masa lampau berarti kita berbincang-bincang dengan penulis buku tersebut yang telah mati; membangkitkan rohnya dan mengajaknya berdialog. Bacaan dapat mempertemukan dan menghubungkan dunia masa lalu yang lain sekali dengan dunia si pembaca di masa kini. Batapa fantastisnya. Dalam hal ini menjadi tidak heran bila dalam dunia pendidikan yang menganjurkan kepada murid-murid bahwa yang penting itu mengajarkan agar orang mau dan suka membaca daripada bersusah payah mengajarkan isi buku-buku yang dahsyat. Mengajarkan isi buku kepada orang lain dan membiarkan si pembaca membaca sendiri tentunya intensitas kepuasannya akan berbeda sekali.
Secara peioratif bacaan itu bisa menjadi tempat melarikan diri dari kenyataan. Tidak heran ketika isu krisis ekonomi menjadi heboh, mendadak peminat baca melonjak tinggi. Membaca menjadi tempat pelarian. Suatu fakta bahwa membaca itu memberi kenikmatan, kalau tidak disebut sebagai cara yang baik untuk mengatasi stres akibat berbagai krisis. Suatu pelarian ke realitas yang positif.
Bacaan itu mampu mentransformasi diri sipembaca kedunia yang diciptakan si pengarang. Secara persis kedalam teks itu sendiri pada saat si pembaca memaknainya, karena sebuah teks selalu merupakan milik si pengarang, kalau dia jujur, teks tersebut merupakan ekspresi terdalam pribadi si pengarang. Mungkin pergumulan batinnya, obsesi-obsesinya; mungkin ketakutan-ketakutannya, kegelisahan, dan amarahnya; mungkin juga ide-ide besar dan cita-citanya; atau bahkan merupakan jawaban-jawaban dari pertanyaan manusia umumnya; atau mungkin saja kegembiraan dan kebahagiaanya. Disadari atau tidak si pembaca akan masuk kedalam struktur ruang dan waktunya si pengarang. Gadamer, seorang filsuf yang tersohor, menyebut aktivitas membaca atau pemaknaan teks itu adalah proses 'trans-subjective' dan 'trans-objective'. Suatu proses secara tidak disadari kepribadian dan kesadaran si pembaca dilebur kedalam dunia pengarang. Pada waktu itulah interpretasi menjadi kreasi.
Pada kenyataannya pengalaman keterleburan (fusi) ini pada kenyataannya ditentukan oleh kemampuan membaca. Sedangkan kemampuan membaca itu sendiri ditentukan oleh kemampuan mendengar, berbicara dan berpikir. Seseorang yang memiliki kemampuan mendengar dengan baik dengan sendirinya cara berbicaranya akan baik, itu dikarnakan nalar dan aktifitas berpikirnya juga baik. Dengan kata lain kemampuan menjelaskan gagasan dan merumuskan ide-ide ditentukan oleh kemampuan membahasakan dan berbahasanya yang baik. Namun, di sisi lain daya nalar yang baik itu juga merupakan hasil dari kemampuan membaca si pembaca. Tampaklah oleh kita bahwa ada lingkaran sebab akibat yang saling membentuk sehingga tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya, karena serentak semua itu adalah soal aktifitas berbahasa. Apakah pola nalar seseorang itu sebagai hasil dari kemampuan membacanya? Pertanyaan retoris ini sama saja dengan menanyakan mana lebih dulu telur atau ayam.
Bolehlah saya katakan bahwa membaca itu mirip dengan mengendarai mobil. Mirip dalam pemaknaan dan penggunaannya. Kemampuan mengendarai mobil ditentukan oleh kemauan dan motivasi untuk mencoba melatih terus menerus dengan berbagai resiko. Dalam hal ini sepertinya kemauan dan motivasi itu mendahului kemampuan. Keluesan dan kemantapan si pengendara ditentukan oleh pengalaman di jalan sewaktu mengendarainya. Sudah tentu teori menyetir ada gunanya tetapi prakteklah yang menyempurnakannya. Seorang pembalap mobil yang terkenal kedahsyatannya tidak lain adalah representasi dari kemauan, motivasi, hobi, kesenangan dan pengalaman mengendarai mobilnya. Begitu juga motivasi dan kemauan membaca menentukan kemampuan membaca. Tetapi mau mencoba terus menerus membaca rupanya jalan yang paling menentukan kemampuannya. Kemampuan membaca datang dari pengalaman membaca itu sendiri. Kenyataan ini tidak bisa ditawar-tawa lagi.
Sisi lain, mengendarai mobil itu bisa menjadi suatu yang menyenangkan. Dia memiliki mobil demi pemenuhan hasrat kesenangan itu sendiri. Dengan mengendarai mobil ia menghendaki agar mencapai kesenangan, maka dalam hal ini mengendarai itu menjadi tujuan. Mobil tidak menjadi sarana lagi. Begitu juga dengan membaca. Membaca bisa menjadi tujuan untuk mencari kesenangan pada dirinya sendiri. Tidak salah, sejauh mengerti bahwa membaca itu juga punya makna sebagai sarana, bahkan makna simboliknya. "You are what you have" dan "You are what you read" itu juga mirip. Katakan saja mobil merek BMW milik seseorang bukankah akan mencitrakan diri sipemiliknya? Begitu juga dengan membaca buku. "Buku apa yang engkau baca, aku bisa mengatakan siapa dirimu." Kwalitas dan kwantitas buku yang dibaca menentukan citra diri seseorang. Disinilah fungsi membaca buku itu bukan hanya sebagai sarana mencari informasi atau komunikasi tetapi juga memberikan kebanggaan, gengsi dan sekaligus kepuasan secara spiritual. Karena dengan membaca orang mampu menghayati petualangan intelektual atau emosional yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).