Rabu, 26 September 2007

seni sbg anamnesis

SENI SEBAGAI ANAMNESIS

Ketika Anarqaq, seorang cenayang dari Eskimo, membuat gambar-gambar di atas kertas tentang wujud roh-roh yang mampu dia "lihat", gambar-gambarnya tidak beda dengan si Kecil Gili kalau menggambar. Primitive sekali. Artinya tidak mengenal tehnik dan belum tahu kategori axiologisnya. Begitu juga ketika Black Elk, seorang dukun Indian dari suku Sioux, melukis dengan cat air di atas kertas tentang perjalanan "self"nya serta kunjungannya ke alam roh karuhunnya, lukisannya tidak lebih bagus dari anak TK Angela.
Anarqaq dan Black Elk tidak mengenal elemen-elemen dasar dalam lukis melukis. Mereka tidak kenal komposisi warna, harmoni, ritme, simetri ataupun perspektif. Betapa tidak, karena mereka tidak bermaksud mengungkapakan keindahan, "beauty". Mereka cuma hendak memanifestasikan yang metafisis, dunia noumenal dengan "meta-language"nya. Goresan-goresannya mereka tundukkan untuk menciptakan daya yang menghadirkan, "the power of affecting presence". Mereka menciptakan medium untuk kita yang tidak mampu "melihat" dunia yang "lain" itu. Wujud lukisannya merepresentasikan realitas supra natural.
Orang-orang suku Yoruba di Afrika dan Asmat di Irian Jaya juga tidak berbeda. Patung-patung karya mereka tidak diabdikan demi keindahan tetapi demi menciptakan daya yang menghadirkan. Ia adalah "anamnesis" bagi si pencipta dan "pemuja". Bentuk menjadi medium yang sekaligus menciptakan "happening" yang menunjuk pada tiga dimensi sejarah; dulu, kini dan yang akan datang. Kenangan dan ingatan menciptakan kehadiran, imajinasi dan intuisi menjadi kunci untuk membuka pintu ke ruang yang sakral.
Apalagi ketika Sardono W. Kusumo mementaskan choreograf-choregrafnya. Ia menangkap yang paling hakiki dari realitas, "nucleus" dari permasalahan peradaban yang kita hidupi. Ia bahasakan lewat gerak dan bunyi, karena bahasa kata kurang punya daya untuk mengungkapkannya. Drama-drama Sardono bukan lagi untuk ditonton, karena memang bukan hiburan. Ia bukan tari serimpi yang hendak mempertontonkan kegemulaian sang penari yang cantik. Ia bukan sandiwara-sandiwaranya Riantiarno yang kocak, yang penonton bisa "berhahahihi", ia bukan tari jaipong dengan 3G-nya yang erotis (gitek, goyang, geol), juga bukan opera sabun yang dipertontonkan di layar TV sekedar untuk membunuh waktu.
Sardono tidak mengundang kita untuk menonton. Ia mengajak kita untuk melayat dan mengadakan upacara ritual nan sakral untuk meratapi kosmos kita, allah kita, yang sekarat karena kita telah membunuhnya. Wujud choreograf Sardono merepresentasikan esensi dari realitas yang orang biasa tidak bisa melihatnya. Kini hadir di depan mata kita. Choreografnya punya daya untuk menghadirkan yang tidak kasat mata.
Musik? Musik adalah ritme dan suara yang ditangkap oleh si seniman dari Sang Harmoni Agung, Sang Harmoni Abadi yang indra dengar manusia biasa tidak bisa menangkapnya secara langsung. Begitu kata kardinal New Man. Musik adalah inkarnasi dari yang transenden. Ia punya daya untuk menghadirkan realitas yang misteri, menjembatani pertemuan antara yang insani dengan yang ilahi, antara yang sensual dan yang spiritual. Ia punya daya untuk "mewahyukan" kepada kita resonansi dari yang esensi. Bahkan ia punya daya untuk mentransformasi kita kedalam "struktur", menurut bahasa Gadamer.
Akar paradigma (root paradigm) dari representasi seni yang serius, apapun bentuknya, adalah peristiwa anamnesis. Anamnesis tentunya tidak bisa diterjemahkan begitu saja seperti sekedar duduk mengenang atau mengingat sesuatu. Bukan. Anamnesis adalah rekoleksi tentang peristiwa sakral yang tidak hadir dan dihadirkan kembali lewat kegiatan tertentu. Kisah (mythic) yang "invisible" menjadi "visible" kini dan disini. Karya seni menjadi medium untuk berkomunikasi dengan realitas yang transenden itu. Seni punya fungsi cognitif sekaligus menciptakan pengalaman religius, karena aura sebuah karya seni dengan sendirinya menciptakan pengalaman estetik bagi si apresiator, pemuja, penikmat,atau apa sajalah namanya. Namun mau tidak mau ia baru bisa mengalami pengalaman religiusnya, pengalaman bertemu dengan yang transenden itu, kalau ia mampu membuka tirai pengalaman estetik. Partisipasi dan imaginasi menjadi kuncinya. Partisipasi adalah kesiapan untuk melebur, dan imaginasi adalah anugerah untuk melihat secara lain realitas yang sudah ada disana.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).