Rabu, 26 September 2007

thorn bird

The Thorn Bird


Konon ada seekor burung yang kicauannya sangat merdu
hanya satu kali saja dalam seluruh hidupnya.
Namun kicauananya itu paling merdu, paling indah diantara burung-burung lainnya yang ada di jagat raya ini.

Suatu hari ia meninggalkan sarangnya
ia mencari pepohonan yang berduri
ia mencari dan mencari sampai menemukannya.
Dan pada saat ia menemukannya
ia menyanyi dengan ria diantara duri-duri yang merangrang tajam itu.
Ia memilih satu duri yang paling tanjam dan panjang dan ia menancapkan tubuhnya.
Lalu mati.

Ia mengatasi kenyeriannya itu dengan menyanyi
sebuah nyanyian yang teramat indah, tak terkatakan.
Dan hingga kini dunia masih mendengarkan kemerduannnya.
Hm, Tuhan hanya tersenyum di surga sana
sebab toh akhirnya untuk segala yang terbaik
mesti dibayar dengan derita dan kepedihan.
Tragis memang.
Sekurang-kurangnya itu kata legenda.

Saya petik kutipan ini, saya coba terjemahkan alakadarnya, dari sebuah novelnya Coleen McCollough, The Thorn Bird. Yang menceritakan tentang kekerasan, rahasia, perbuatan-perbuatan keliru tapi tak bisa dikatakan sebagai dosa (innocence wronged)
keberanian, kelemahan, kebencian, cinta terlarang dan sex.
Menarik sekali. Kalau kita dekat ingin sekali saya menceritakannya. Seperti dulu kita suka bercerita tentang apa saja.
Pokoknya buku ini mau mengisahkan kisah cinta. Kisah tua dan sudah tertimbun debu sejarah. Tapi seperti benda antik, biar kumel dan jelek tetap saja bernilai dan menarik.

Yah, kisah hidup kita juga.
Saya coba simpulkan begini seusai membaca buku ini;
Mencinta sering berarti pintu terbuka, surat undangan untuk air mata kepedihan. Mengerikan tapi sekaligus menawan. Madu namun sekaligus bisa.
Mencinta seperti tabir labirin; dapat masuk tapi tak mudah keluar. Hanya bisa berputar-putar.
Semua jalan hanya menjebak. Seakan ya namun tidak, seakan tidak namun ya. Maya dan misteri. Lalu kita penat berfikir. Pada saat seperti itu kita hanya bisa menangis dan menghiba. Menyesal, apa yang mesti disesal? Mesti menunggu sampai kapan? Duhai jarak yang membentang, duhai waktu yang membelenggu.

hari minggu

MISTERI PASKAH DAN HARI MINGGU
SERTA PESAN PASTORALNYA
R.D. Fabie S. Heatubun, SLL

Pengantar
Tahun Liturgi adalah bahasa waktu yang menjadi medium untuk menghadirkan dan mengaktualkan misteri keselamatan atau "the sacred events" yakni penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus dalam frekwensi harian, mingguan atau tahunan. Sekaligus berperan sebagai medium yang digunakan oleh jemaat beriman untuk mengungkapkan dan mengalami misteri keselamatan tersebut. Keselamatan dapat dialami dalam waktu, dalam sejarah dan peristiwa-peristiwa temporal. Dalam hal ini keselamatan bukan sekedar dikenang dan dihadirkan tetapi memungkinkan untuk dialami kembali.
Tahun Liturgi itu mewadahi dan menjabarkan kristianitas itu sendiri, baik identitas, doktrin-doktrin (pengajaran) maupun pengudusan. Secara spiritualpun, tahun liturgi menjadi ritme yang menyehatkan, karena memberi kepastian dan keajegan dalam perayaan-perayaannya. Keserba jelasan dan keserbapastian itu memberi ketenteraman, ketenangan bahkan kebahagiaan, karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Secara spatial dan temporal manusia butuh orientasi, arah, posisi atau kiblat. Manusia itu butuh patokan, kapan awal dan kapan akhir, kapan mulai dan kapan selesai. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan pada orientasi ruang dan waktu itu bersifat arkhaik. Tempus et templum (waktu dan tempat kudus) disediakan dan didesain untuk memenuhi kebutuhan arkhaik manusia tersebut. Selain untuk memenuhi kerinduan manusia untuk kembali ke yang asali, ke yang ab origine (yang asli dan sejatinya) dan in illo tempore, ke yang sebagaimana awal dulunya terjadi. Dalam hal ini Tahun Liturgi mengaturnya.
Hari Minggu sebagai jeda mingguan secara spiritual menjadi berguna bagi kita yang ada dalam kultur yang ditandai oleh keserbatidak pastian, disorientasi waktu, kering dan hampa. Kultur yang fragmentaris membuat hidup kita menjadi kusut masai, yang pada gilirannya kita butuh untuk mengurai dan membenahinya kembali. Hari Minggu sebagai hari Tuhan sudah semestinya menjadi semacam oase yang dapat menyegarkan dan memberi arti dan makna hidup yang baru dan arah yang jelas. Bahkan bisa menjadi saat yang tepat untuk merayakan hidup itu sendiri. Bahwa ada gejala orang-orang sekarang tidak melihat lagi dan kurang mengindahkan hari Minggu sebagai dies dominica, hari Tuhan. Ada semacam kemerosotan secara pastoral dan spiritual, kiranya perlu upaya revitalisasi dengan katekese.

Misteri Paskah Sebagai Pusat dan Jantung Hati Tahun Liturgi
Misteri Paskah itu suatu realitas yang sangat kompleks dan krusial, namun serentak sesuatu yang sangat simpel dan bermakna tunggal saja, yakni bahwa Kristus yang bangkit dari antara orang mati itu adalah kebenaran dan kenyataan. Suatu kenyataan yang tak terpahamkan, karena misteri kebangkitan itu ada pada wilayah iman. Misteri Paskah, secara langsung atau tidak, mengandung muatan makna yang mingimplikasikan pemahaman mengenai; pertama, esensi Kristianisme sebagai Gereja (agama, yang mencakup institusi, doktrin dan ritualnya); kedua, esensi Liturgi sebagai ekspresi (pengungkapan) dan eksperiensi (peng-alam-an) iman, harapan dan kasih akan Misteri Paskah tersebut, serta realisasi keselamatan Kristus yang selalu hadir dalam Gereja dalam wujud tindakan liturgis. Ketiga, esensi Tahun Liturgi sebagai penjabaran Misteri Paskah itu sendiri.
Gereja menempatkan Misteri Paskah sebagai yang paling sentral dari seluruh aktifitas hidup umatnya. Ad intra Misteri Paskah (MP) menjadi titik konvergensi dan divergensi Kristianisme sebagai agama. Dalam arti agama dipahami sebagai jalan keselamatan dan kebenaran telah dipilih, dianut dan dihayati secara sadar atau tidak oleh orang Kristen. Kristus telah menyelamatkan manusia "melalui sengsaranya yang suci, kebangkitannya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan".[1] "Berkat wafat-Nya kematian telah ditebus; dan dalam kebangkitan-Nya kehidupan sekalian orang ditegakkan kembali.[2] Ad extra, Gereja menjadi sakramen keselamatan bagi dunia. MP menjadi wujud misteri Cintakasih Allah kepada semua manusia.[3]
Gereja selalu merayakan MP itu bukan hanya dengan memproklamasikan kembali kabar keselamatan yang tertera dalam Kitab Suci secara verbal, tetapi pertama-tama dengan menghadirkannya kembali peristiwa-peristiwa keselamatan (the saving events) hingga menjadi aktual kini dan disini. Pada waktu merayakan MP itulah jemaat beriman, dengan partisipasi aktifnya, masuk kedalam peristiwa penyelamatan dan penebusan itu. Secara simbolis, mereka mati, dikuburkan, dibangkitkan bersama Dia.[4] Partisipasi aktif kedalam "perayaan-peringatan" (commemorative celebration) MP ini memberi jaminan keselamatan. Disebut "perayaan-peringatan" mengartikan bahwa keselamatan itu menjadi riil hanya dengan melakukan peringatan dalam bentuk perayaan atau dengan bentuk perayaan yang esensinya sebuah peringatan. Disini makna sebuah perayaan liturgi yang bermakna anamnesis. Kenangan yang menghadirkan. Dihadirkannya misteri itu atau peristiwa keselamatan itu dengan upacara ritual.
"Perayaan-peringatan" MP itu pada dasarnya berwujud pujian atas kebaikan Allah yang tak terbatas kepada manusia. Pada saat pemuliaan Allah itu juga serentak terjadi pengilahian manusia. Perayaan-peringatan MP itu menjadi momen glorifikasi sekaligus divinisasi.[5] Suatu dimensi katabatik-anabatik yang saling mengandaikan. Allah beraksi dan manusia bereaksi atau tindakan ritual manusia yang berisi pujian syukur itu diganjar dengan keselamatan. Hanya melalui upaya merealisasikan misteri ini dalam perayaan Liturgi, keselamatan itu menjadi aktual dan konkrit. Ada pernyataan eksplisit tentang hal ini, "Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh "pengudusan" manusia dan "pemuliaan" Allah dalam kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya"[6]. "Perayaan-peringatan" MP dalam liturgi itu bukanlah melulu ritual yang simbolis namun sungguh-sungguh kenyataan Misteri Paskah yang sejati. Yang berlanjut terus dan dihadirkan dalam keabadian.
MP adalah realisasi dari rencana keselamatan Allah bagi kita semua. Dalam rencana keselamatan ini Kristus sebagai pusat dan puncak penebusan bukan hanya dirayakan tetapi pertama-tama digelar sebagai suatu tindakan atau diragakan kembali secara terus menerus sepanjang sejarah sebagai wujud nyata campur tangan serta perhatian Allah kepada manusia yang memuncak pada persatuannya dengan Kristus.
Di dalam Liturgi Kristus menyatakan dan melaksanakan MP. Selama hidup-Nya di dunia Yesus menyatakan dalam ajaranNya dan mengantisipasi dengan tindakan-Nya. Karya keselamatan itu, seperti dikatan diatas, bukan hanya diwartakan dalam wujud pewartaan sabda, tetapi pertama-tama diwujudkan dalam kurban dan sakramen-sakramen. Karya keselamatan itu ditunjukan dengan kehadiran-Nya. Ia hadir dalam umat Allah yang berkumpul; saat Sabda diproklamasikan; dalam diri imam serta dalam wujud Roti dan Anggur yang telah dikonsekrasi[7].
Aktifitas pastoral Gereja pada akhirnya memusat pada liturgi, karena liturgi merupakan sarana yang paling memungkinkan orang mengalami Misteri Paskah. Selain bukti ketaatankita pada perintah sakral Kristus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Dalam MP Allah menjadi manusia, taat bahkan sampai mati disalib bagi kita dan naik ke surga, mengungkapkan keilahian hidup-Nya kepada Dunia. Sehingga siapa yang mati atas dosa akan menjadi serupa dengan Kristus, sebagaimana dinyatakan oleh Paulus, "hidup bukan lagi bagi dirinya sendiri tetapi bagi dia yang telah mati dan bangkit".[8] Kenyataan ini terpenuhi dalam sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan juga Baptis yang menjabarakan MP itu sepanjang Tahun Liturgi.[9] Ketika kita merayakan MP, kita memohon kepada Allah agar mereka yang lahir kembali bersama Kristus (karena baptisan) agar hidup mereka berpegang pada sakramen yang telah mereka terima dengan iman. Dalam Konstitusi Liturgi mengatakan bahwa, "Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan."[10]
Struktur Liturgi Ekaristi yang terdiri dari dua bagian besar itu; Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, adalah aktualisasi MP. Sabda yang menjadi manusia, sebagai misteri inkarnasi, diwartakan dan dihadirkan kembali. Hal ini tampak dalam Liturgi Sabda. Dan tindakan penyelamatan (menderita-wafat-bangkit) yang dipadatkan dalam Perjamauan Malam Terakhir oleh Yesus bersama murid-muridNya, dihadirkan kembali dalam Liturgi Ekaristi secara sakramental. Ekaristi menjadi sakramen yang membari rahmat keselamatan kepada manusia. Dalam hal ini MP juga bermakna tindakan penebusan dosa manusia. Artinya tindakan penyucian atau pengilahian manusia. Manusia diangkat dan dipersatukan dengan Allah. Suatu wujud nyata bahwa Allah bertindak memuliakan martabat manusia.
Kristus, pada waktu disalib, menjadi puncak persatuan antara ke-Allah-an dan ke-manusia-an (theandrik). Pada waktu itulah secara real penyucian dan pemuliaan manusia dan juga serentak pemuliaan Allah. Cinta Allah pada manusia dan cinta manusia pada Allah bertemu dan bersatu padu. MP menjadi titik temu dimensi anabatik dan katabatik. Seturut dengan struktur tersebut, maka liturgi sebagai reaktualisasi atau representasi MP menjadi jelas. Dalam hal inilah tampak bahwa struktur dasar liturgi menunjukkan tindakan penyucian manusia dan pemuliaan Allah. Allah harus dimuliakan karena manusia telah dimuliakan oleh-Nya agar manusia diilahikan. Representasi peristiwa paskah ini menjadi hadir dan efektif melalui glorifikasi.
Paskah sebagai pusat dari sejarah keselamatan, analog dengan Paskah Yahudi. Kristus juga mengambil nilai-nilai yang ada pada pemahaman Yahudi, yakni Paskah sebagai 'lewat'-nya atau melewatinya manusia dari dunia ini menuju surga dengan penyuciannya lewat kultus dan upacara ritual. Kristus, melalui kurban diri-Nya sendiri, menyucikan manusia sebagai tindakan kultis-Nya. Pada waktu itulah sejarah keselamatan menjadi berpusat pada diri Kristus. Misteri Paskah (terutama mati-bangkit-kenaikan-Nya ke surga), menjadi Paskah sejati, unik dan abadi untuk seluruh dunia.
Paskah adalah pusat dan jantung hati liturgi. Disatu pihak, MP itu saling melengkapi dan saling membutuhkan antara Tahun Liturgi dan Liturgi itu sendiri. MP sebagai peristiwa terjadi dalam dan melalui waktu, unik dan abadi (epaphax) harus diaktualisir dalam waktu, persisnya dalam seluruh Tahun Liturgi. Wujud tindakan aktualisasi itu adalah "perayaan-peringatan" melalui liturgi. Dipihak lain, Sejarah Keselamatan itu menyatakan dirinya dalam MP, dan realisasinya dalam Paskah. Namun Paskah itu bukan hanya dilihat sebagai fakta sejarah yang telah terjadi. Dalam Liturgi, Paskah menjadi saat ritual. Menjadi upacara yang dihadirkan setiap saat seturut lingkaran harian, mingguan dan tahunan.
Paskah dalam Perjanjian Baru merupakan "momen ritual" yang sama dengan "momen sejarah". Paskah adalah suatu peristiwa, bukan sekedar suatu simbolisme dari Paskah Perjanjian Lama, meski struktur dasar ritual Paskahnya sama. Kristus telah mensintesakan dan memberi nilai baru atas Paskah Perjanjian Lama, menjadi MP. Maka dalam upacara ritual Paskah Kristus menunjukkan kehadiran-Nya secara nyata. Ritus (Liturgi) menjadi peristiwa keselamatan yang telah dilakukan Kristus sejak awal dunia.
Dokumen Liturgi[11] menunjukkan kehadiran MP Kristus secara aktual itu melalui simbol-simbol ritual. Disini ditekankan unsur misteri Paskahnya yang hadir, bukan perkara Kristusnya. Praesentia realis menunjuk pada peristiwa dan tindakan penyelamatan Kristus secara personal. Liturgi menjadi medium aktualisasi keselamatan yang telah dilaksanakan oleh Kristus. Jadi dalam liturgi bukan fakta real, karena liturgi merupakan aktualisasi Paskah berdasar pada misteri, lebih persis lagi berdasar pada (melalui) tanda-tanda real, yakni pada efikasi rahmatnya. Paskah sebagai fakta, dapat kita pahami dalam wujud "mati-bangkit-kenaikan Kristus" sebagai realitasnya; sebagai esensinya memberikan keselamatan atau keselamatan itu sendiri. Maka Liturgi (Ekaristi) menjadi Paskah par excellence yang pada gilirannya menjadi pusat dan puncak MP.
Liturgi adalah peristiwa yang menghadirkan 'peristiwa' Paskah. Peristiwa yang misteri menjadi kasat mata. Tahun Litugi menjadi momen-momen pendadaran MP. Dan Liturgi secara konkrit menjadi pengejawantahan misteri iman Kristen yang paling agung sebagai sumber hidup spiritual Kristen. Misteri Paskah itu pada hakekatnya adalah misteri ibadat atau liturgi sebagai wujud dari ibadat Gereja. Misteri Paskah itu harus selalu diwujudnyatakan sesuai dengan perintah Kristus sendiri; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Misteri liturgi adalah juga misteri Gereja bukan hanya menunjukkan hakekat dan tujuan misi Gereja, yakni liturgi, namun pertama-tama karena liturgi menjadi saat peleburan (pengalaman fusi) tubuh mistik Kristus (jermaat beriman) dengan Kristus sendiri. Dalam Liturgi MP itu hadir dan real secara objektif namun bersifat sakramental. Misteri keselamatan, misteri Imamat Kristus, Misteri Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dan misteri Liturgi menjadi konkrit dan menjadi tindakan nyata. Disinilah Perjanjian Baru merupakan wujud Misteri Paskah Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia dan menjadi kasat mata dalam wujud in forma servi[12].

Menghayati Tahun Liturgi
Liturgi, terutama Liturgi Ekaristi, selain mengekspresikan penyucian waktu dalam tiga lapis lingkaran; harian, mingguan dan tahunan, juga menyucikan jemaat beriman yang merayakannya. Liturgi mengungkapkan bagaimana misteri keselamatan dalam Kristus terjabarkan dan meresap kedalam seluruh lingkaran tahun kosmis. Tahun Liturgi, yang dengan istilah lain dapat disebut "tahun perayaan-peringatan", merupakan saat dimana kita dapat memperoleh keselamatan sepanjang tahun. Menghayati Tahun Liturgi (TL) pada hakekatnya adalah partisipasi aktif kedalam Misteri Kristus yang pusatnya adalah MP sendiri. "Perayaan peringatan" misteri Kristus itu bertautan erat sekali dengan TL.
Tahun Litugi adalah saat-saat terjadinya perpaduan peristiwa pengenangan yang menghadirkan (anamnesis) dalam bentuk imitasi ritual (mimesis), sebagaiman dikatakan juga oleh Yesus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Perpaduan kedua peristiwa tersebut yang pada gilirannya menciptakan keselamatan, karena dilaksanakan dalam konteks sakramental, dan menjadi saat jemaat berkompasi menyatu dengan derita, wafat dan bangkitnya Tuhan. "Perayaan-peringatan" dan TL tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri. Misteri Paskah terjadi dalam waktu (dalam sejarah), aktualisasi dan representasinyapun hanya mungkin dalam waktu, dalam lingkaran kalender TL. TL hanya mungkin diwujudkannya dalam bentuk peristiwa perayaan yang mengaktualkan peristiwa penyelamtan yang dilakukan oleh Kristus.
Kristus adalah Kairos, Dia itu adalah keabadian (Alfa dan Omega). Kebadian itu hanya mungkin dipersepsi (diindrai) melalui peristiwa "peringatan-perayaan" yang ada dalam waktu. Kairos itu dapat diraba, dilihat, bahkan dapat dicecap dalam perayaan atau upacara ritual. Dalam hal ini Tahun liturgi menjadi suatu persona, pribadi Kristus sendiri. Pengalaman pertemuan dan persatuan dengan Kristus dalam liturgi menjadi real.
Dalam TL Sabda Allah yang diwartakan, dikotbahkan dan diritualkan serta upacara simbolik lainnya (verbal dan gestural) adalah peristiwa inkarnasi Misteri Paskah, yang dapat disebut sebagai Misteri yang menjadi misteri. Atau dapat dikatakan juga bahwa "perayaan misteri" menjadi "misteri perayaan". TL menjadi medium untuk menjabarkan misteri tersebut. Maka MP sebagai fokus dan nukleus perayaan menjadi paling esensial sekali dalam TL. Itulah sebabnya MP harus diberi prioritas diatas devosi-devosi, pesta dan peringatan-peringatan lainnya[13].
Tahun liturgi bermanfaat bagi jemaat secara spiritual agar iman, harapan dan kasih mereka akan MP dapat lebih dialami dan diungkapkan sebagaimana dijabarkan sepanjang tahun. Liturgi menjadi saat eksperiensi dan ekspresi keutamaan teologal tersebut. "Peringatan-perayaan" lainnya[14] hendaknya mengungkapkan pembaharuan kembali Misteri Paskah Kristus atau peringatan dan perayaan lainnya itu hanyalah merupakan penggemaannya. Perayaan sepanjang TL itu bukan sekedar peringatan bahwa Yesus telah menyelamatkan manusia dengan kematian, kebangkitan-Nya, tetapi pertama-tama lingkaran TL itu memiliki kekuatan atau daya sakramental yang luar biasa untuk menguatkan hidup orang Kristen[15].

Hari Minggu Sebagai Nucleus Tahun Liturgi
Misteri Paskah menempati posisi yang sentral dalam "perayaan-peringatan" liturgi. Dokumen menyebutnya sebagai "hari-hari raya Tuhan"[16] yang didalamnya dirayakan misteri-misteri keselamatan yang lebih menjadi prioritas daripada pesta-pesta para kudus. Maksudnya agar misteri keselamatan itu dirayakan secara 'ajeg'. Disinilah peran dan makna hari Minggu menjadi sangat penting. Dalam Gereja Katolik Roma, Hari Minggu menjadi taktergeserkan kecuali oleh pesta-pesta Tuhan seperti; Pesta Keluarga Kudus, Baptisan Tuhan, Tritunggal Mahakudus, Kristus Raja, serta hari-hari raya lainnya. Perayaan lainnya yang boleh dilakukan pada Hari Minggu hanyalah Kelahiran Yohanes Pembatis, Rasul Petrus dan Paulus, Hari raya SP Maria diangkat ke Surga serta Pesta-pesta pelindung setempat. Maka pada masa Adven, masa Puasa dan masa Paskah Hari Minggu diprioritaskan secara mutlak. "Hari Minggu itu pangkal segala pesta"[17]. Perayaan MP pada hari Minggu erat sekali hubungannya dengan liturgi Pekan Suci. Konstitusi Liturgi menegaskan bahwa "[Hari Minggu] umat wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus"[18]. Meskipun MP secara umum dirayakan pada setiap hari Minggu dan secara khusus dirayakan pada Pekan Suci dan Paskah, tetapi "kwalitas" MP itu tidak berarti Paskah dan hari minggu itu dimensi sakramentalnya lebih rendah yang satu dengan yang lainnya.
Untuk menyatukan MP itu tradisi Gereja telah menentukan jenjang waktu selama 50 hari sebagai "Hari Minggu Agung". Lima puluh hari itu bermuatan makna sebagai "satu hari". Pedoman kalender menegaskan, "Waktu limapuluh hari, dari Minggu Paskah sampai hari Minggu Pentakosta, dirayakan dengan penuh sukacita sebagai satu perayaan besar, sebagai "Hari Minggu Agung"[19]. Suatu tradisi "perayaan-peringatan" yang sudah ada sejak abad ke-2 yang dipahami sebagai kelanjutan dari MP. Dalam penanggalan liturgi masa 50 hari tersebut terdiri atas 7 hari Minggu. Oktaf Paskah berakhir pada hari Sabtu setelah Paskah. Selama hari-hari tersebut kwalitasnya disamakan dengan hari Minggu.[20]
Keagungan MP dikembangkan oleh Gereja dengan menekankan unsur intensitas dari seluruh MP itu dengan memadatkannya selama 50 hari mulai dari Paskah hingga Pentakosta. Namun serentak juga bermakna unik dan tunggal sebagai suatu perayaan sakramental, bersama dengan para baptisan baru dan para pentobat, menjadi "satu hari"; yang disebut hari Alleluia. Hari Alleluia itu kemudian akan dimahkotai oleh perayaan Pentakosta.
Dalam Perjanjian Baru hari Minggu yang disebut juga sebagai "hari pertama"[21] dalam pekan, "hari kedelapan"[22] atau "hari Tuhan"[23], sudah mendapat tempat sangat istimewa. Bukan sekedar untuk membedakan dan menjadi reaksi negatif atas tradisi semitis yang menempatkan hari Sabat sebagai hari yang harus dijunjung tinggi, tetapi karena hari Minggu itu sebagai hari kebangkitan Tuhan dan hari penampakan[24], juga sebagai hari turunnya Roh Kudus[25]. Bahkan hari Minggu (setiap hari Minggu) juga merupakan hari yang ditetapkan Paulus untuk mengumpulkan dana, bantuan, derma atau tindakan karitatif yang konkrit.[26]
Disebut "hari pertama" tentu saja memiliki dimensi teologis yang mendasar. Bagi Gereja awal "hari pertama" bermakna "penciptaan baru"[27]. Peristiwa kebangkitan yang terjadi pada hari Minggu itu mensyahkan kosmos baru. Makanya hari Minggu ini harus dihormati dan dikuduskan. Konkritnya, sejalan dengan tradisi hari Sabat Yahudi, pada hari Minggu itu tidak diperkenankan untuk bekerja (opera servilia). Pelanggaran akan aturan ini, secara sosiologis, dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dihukum cambuk atau denda dengan uang.[28] Pada abad Pertengahan, kelalaian atau sengaja tidak memenuhi kewajiban Misa Hari Minggu dianggap sebagai dosa besar. Suatu fenomena sejarah yang menempatkan keisitimewaan dan keluhuran hari Minggu.

Beberapa Saran Pastoral
Liturgi pada hakekatnya bersifat pastoral dan kateketis baik sebelum, sewaktu atau sesudah pelaksanaan perayaannya. Frekwensi "perayaan peringatan" misteri Paskah mengandaikan intesitas, seperti kata pepatah repetitio mater scientiam est (pengulangan itu ibu pengetahuan). Dalam perayaan liturgi, iman, harapan dan kasih jemaat beriman bukan hanya dididik, diperdalam, diperluas atau didewasakan, tetapi juga menjadi saat pengungkapan dan peng-alaman-nya. Sabda Allah yang diwartakan dan dibahas dalam homili serta perayaan secara simbolik gestural yang menciptakan pengalaman religius dan pengalaman pertemuan dengan yang misteri akan memantapkan iman harapan dan cinta jemaat. Bahkan dalam perayaan liturgi inilah seseorang bisa menjadi beriman. Karena liturgi menjadi momen pewahyuan.
Pastoral artinya seni membimbing dan membawa umat kepada Kristus dan membawa Kristus kepada umat. Suatu seni mempertemukan. Dalam hal ini Liturgi secara pastoral dapat diartikan sebagai upaya membawa jemaat agar dapat mengekspresikan dan mengalami pertemuan dengan Allah secara baik, benar, dan berdayaguna, yang pada gilirananya mereka dapat memulyakan dan memperoleh pengudusan.
Hari Minggu sebagai hari Paskah mingguan, dapat disebut sebagai hari umat Kristiani, hari raya yang mendasar. Secara kwalitatif lebih bermakna spiritual dan lebih tinggi daripada hari-hari yang lain.[29] Maka Misteri Paskah, yang dijabarkan dalam masa persiapan dan pengembangannya, adalah pusat pengungkapan dan penghayatan iman (juga harapan dan kasih) Gereja kepada Allah, oleh karenanya kemeriahan (solemnitas) perayaan liturgi mendapat prioritas utama dibandingkan dengan masa lainnya. Dan karena Misteri Paskah itu sentral bagi kehidupan umat beriman, maka hari Minggu menjadi saat yang paling dianjurkan untuk merayakan dan berpartisipasi aktif kedalam Misteri Kristus itu. Pada setiap hari Minggu umat memperingati sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Kristus dan bersyukur atas penyelamatanNya. Wajarlah bila persiapan dan pelaksanaan liturgi yang baik, indah dan benar menjadi sangat penting agar umat dapat menimba manfaat dari peristiwa keselamatan tersebut. Liturgi yang baik, benar dan indah itu membangun iman jemaat, namun juga iman jemaat menentukan liturgi yang baik. Spontanitas, improvisasi dan kreatifitas murahan yang merusak keluhuran liturgi Hari Minggu harus dihindarkan.
Masa Natal misalnya, yang secara tradisi dirayakan dan dipersiapkan lebih meriah oleh umat daripada masa Paskah, mestinya umat menyadari keunggulan MP. Inkarnasi dan kelahiran Allah memang penting, namun kebangkitan paling menentukan keselamatan manusia. Perayaan Natal itu merupakan misteri atau hanya peringatan ulang belaka? Begitu juga secara liturgis ada kejanggalan makna. Bila liturgi (eg. Ekaristi) pada dasarnya "anamnesis" atas menderita, wafat dan kebangkitan Kristus, bagaimana jadinya Perayaan liturgi Natal? Sementara Kristus baru lahir![30]
Paskah mingguan, secara pedagogis, sebagai suatu perayaan misteri Kristus itu amat berguna untuk menumbuh kembangkan spiritual Kristen baik secara pribadi maupun secara komunitas beriman. Yang pada dasarnya hidup kristen merupakan suatu jiarah iman dan jiarah hidup untuk menjadi serupa dengan Kristus. Seperti dikatakan oleh Dom Odo Casel, OSB, "Like a path that goes around and up a mountain, slowly making the ascent to the height, we are climb the same road at a higher level, and go on until we reach the end, Christ himself".[31] Suatu upaya kita sepanjang tahun liturgi melalui tindakan ritual yang teratur untuk mengenal, mencintai dan mengalami misteri Kristus. Pere Guaranger seorang Benediktin[32] yang mendalami makna Tahun Liturgi menegaskan bahwa perayaan liturgi yang dilakukan sepanjang Tahun Liturgi adalah "pembentukan Kristus dalam diri kita". Hari Minggu menjadi saat dan tempat seseorang menjadi benar-benar Kristen per definitionem. Lebih jauh lagi Odo Casel, OSB[33] meyakini bahwa partisipasi aktif kedalam misteri Paskah yang dirayakan dalam Liturgi memberikan jaminan keselamatan. Artinya hanya bagi mereka yang merayakan dan masuk terlibat aktif yang akan memperolehnya. Tidak dijanjikan bagi mereka yang tidak merayakannya. Disini menjadi jelas bila struktur dasar perayaan liturgi dimengerti sebagai momen glorifikasi dari manusia dan divinisasi dari Allah, maka liturgi mingguan menjadi saat dan tempat ketika kita membutuhkan berkat, kekuatan dan pengudusan dan rekonsiliasi dengan Allah. Memuliakan Allah dan mengucap syukur tentu bisa kapan saja, namun ketika hari Minggu menjadi hari yang istimewa karena kesakralannya, maka menjadi momen yang tepat dan istimewa karena ab origine dan in illo tempore misteri-misteri Kristus itu terjadi pada hari Minggu. Mengikuti pernyataan Konstitusi Liturgi bahwa , "berdasrakan Tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu".[34] Glorifikasi mingguan yang dihunjukan melalui upacara ritual setiap hari Minggu itu menjadi suatu imperasi dan semestinya dihayati sebagai hari penuh syukur.

Bahan Acuan:
1. Adam, Adolf, The Liturgical Year, The Pueblo Book, New York, 1981
2. Casel, Odo, The Mystery of Christian Worship, The Newman Press, London, 1962
3. Chupungco, Anscar, J., Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, Pueblo Book, Collegeville, 2000
4. Dies Domini, Seri Dokumen Gerejani, no. 45, Jakarta, 1999
5. Documents on the Liturgy, 1963 - 1979; Conciliar, Papal, and Curial Text, The Litugical Press, Collegeville, 1982.
6. Maxima redemptionis nostra mysteria, 16 Nov., 1955; AAS no 47 (1955)
7. Missale Romanum (Tata Perayaan Ekaristi), Kanisius, Jogjakarta, 1979.
8. Neunheuser, B., (et al), Anamnesis: La Liturgia momento nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992.
9. Normae Universales de Anno Liturgico et de Calendario, 21 Maret 1969, Bina Liturgia 2E, Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
10. Pedoman Pastoral Liturgi, PWI-Liturgi, Kanisius, Jogjakarta, 1973.
11. Sacrosanctum Concilium, Seri Dokumen Gereja no. 9, Dokpen KWI, Jakarta, 1990.
12. Vagaggini, Cypriano, Theological Dimensions of the Liturgy, The Litrugical Press, Collegeville, 1976.
[1]Cf. Sacrosanctum concilium. No. 5
[2]Cf. Missale Romanum, Prefasi Paskah II.
[3]Cf. Gaudeum et Spes, no. 45.
[4]Lih. Rm 6, 4; Ef 2,6 dan Kol 3, 1
[5]Lih. SC. No 6
[6]Lih. SC no. 10
[7]Lih. SC no.7
[8]Lih. 2Kor 5, 15
[9]Lih. Inter oecominici. No.6
[10]Lih. Sc. 102
[11]Lih. SC no. 6
[12]Lih. Cipriano Vagaggini, Theological Dimension of the Liturgy, Collegeville, The Liturgical Press, 1976, p. 325 passim.
[13]Cf. Mysterii Paschalis, dalam Document of the Liturgi, no.440
[14]Dalam Gereja katolik misalnya perayaan peringatan Bunda Maria dan Santo-santa.
[15]Lih B.Neuenhauser, (et.al), Anamnesis; La liturgia nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992
[16]Lih. SC. No. 108
[17]Lih. SC no. 106.
[18]Ibid
[19]Lih.NUALC. No.4 (Normae Universales de Anno Liturgicae et de Calendario, 21 Maret 1969. Dalam Bina Liturgia 2E Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
[20]Ibid. No.24
[21]Lih. Kis 20, 19.
[22]Lih Yoh 20, 26
[23]Lih Why 1, 10
[24]Lih. Mt 28, 9; Lk 24, 13ff dan 36; yoh 20,19ff.
[25]Lih Kis 2, 1ff dan Yoh 20, 21-23.
[26]Lih 1Kor 16, 1-2.
[27]Lih 2 Kor 5, 17.
[28]Cf. Adolf Adam, The Liturgical Year, Pueblo Publishing , New York, 1981, pp.44-45.
[29]Cf. Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Dies Domini, Seri Dok Gerejani no. 45. hl. 9.
[30] Mana lebih penting saat kelahiran seorang Giovanni Battista Montini atau saat terpilihnya dia sebagai Paus yang kemudian dia menjadi Paus Paulus VI? Kata Vagaggini. Sekedar untuk membandingkan signifikasi Natal dan Paskah.
[31]Lih. Odo Casel, The Mystery of Christian Worship, edited by Burchard Neunheuser, OSB, The Newman Press, London, 1962.
[32]Lih. Anscar J. Chupungco, Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, A Pueblo Book, Collegeville, 2000, p. 318
[33]Ibid
[34]SC. No 106

doa




DOA SYUKUR DAN PERMOHONAN
UNTUK PROF. WIMPY SANTOSA



Tuhan sumber kebenaran, kebaikan dan muara keindahan
Hari ini menjadi saat yang penuh syukur bagi kami komunitas akademis
Karena anugerah yang Kau curahkan pada diri kolega kami Wimpy Santosa
Dia telah berihtiar siang-malam, lahir batin tanpa kenal lelah
Telah mempertaruhkan segalanya untuk meraih sumber dan meniti muara ilmu pengetahuan
Untuk mencicipi hakekat, guna dan makna: kebenaran, kebaikan dan keindahanMu
Di tengah malam yang gelap kadang merasuk akal, pikiran dan jiwa yang membuat dirinya bertanya kalut berkabut
Di tengah jalan yang tak lempang, licin, gamang dan penuh persimpangan
Yang di setiap pertanyaan selalu dijawab dengan pertanyaan-pertanyaan ulang
Sedangkan terang matahari siang sering menjadi fatamorgana yang menyilaukan, meragukan dan membingungkan mana yang semu dan mana yang sejati
Hari-hari kadang menjadi merjan-merjan air mata derita dan putus asa
Kini dia Kau perkenankan mencicipi, ya...sekedar mencicipi segarnya kebenaran, kebaikan dan keindahanMu sebagai seorang intelektual
Seperti mimpi, setengah tak percaya
Senyumnya kini menjadi senyum kami juga
Kegembiraannya kini menjadi kegembiraan kami juga
Kebahagiaannya kini menjadi kebahagiaan kami juga
Syukurnya kini, disini, di tempat ini tentu menjadi syukur kami juga.

Namun hari ini menjadi saat yang penuh permohonan pula
Sebutan mahaguru, guru agung, guru besar yang boleh disandangnya bukanlah pameran kebanggaan untuk dipertontonkan
Bukanlah gelar untuk dipagelarkan agar gelegar tepuk tangan kebanggaan mentakaburkan
Namun untuk diabdikan
Untuk diejawantahkan dalam kehidupan
Dia yang telah mencicipi kebaikanMu buatlah bersedia pula untuk membagikan dan menunjukkan pada mereka yang dahaga dan mencari sumber kebenaran, kebaikan dan muara keindahan yang berawal serta berakhir pada-Mu juga
Memberi tahu kepada yang tidak tahu
Mencerahkan mereka yang berada dalam kegelapan
Mengajar kebenaran pada mereka yang keliru dan sesat
Menunjukkan teladan kebaikan nyata pada mereka yang terjerat oleh teori-teori verbal dan konsep-konsep hampa
Kami memohon kepadaMu ya Tuhan buatlah agar wujud tetap tidak menyalahi hakekatnya
Guru besar, hamba ilmu, yang tidak menyalahi keagungannya dalam pengabdian
Tak kenal lelah apalagi pamrih seperti ketika dia berihtiar untuk meraihnya
Permohonan kami ini adalah permohonan dia juga.

Tuhan, sumber kebenaran dan kebaikan serta muara keindahan
Akhir dari ilmu adalah keindahan
Pengetahuan dan kearifan; mengental dan mengkristal dalam keindahan
Cinta dan kebahagiaan, harmoni dan kesepahaman adalah buah-buah keindahan
Seperti pesta intelektual ini yang indah, seperti komunitas akademis ini yang harmonis
Dengan kuasa berkatmu, semoga esok lusa akan melahirkan mahaguru-mahaguru lain yang juga berani mempertaruhkan hidupnya untuk menyusuri sumber kebenaran dan kebaikan yang bermuara pada keindahan.
Amin.


† fabie 17 des 2005

devosi 2

DEVOSI: Sakramen Mahakudus

Terminologi:
Dalam arti umum (profan), devosi berasal dari bahasa Latin de­votio (kata benda) atau devovere (kata kerja) yang artinya 'mencurahkan perhatian se­penuhnya pada' atau 'memasrahkan diri pada'. Senada dangan istilah 'dedikasi' yang mem­punyai muatan makna 'menyatakan pe­nyerahan diri pada sesuatu' dalam bentuk pemujaan atau pengagungan serta dalam wujud pengabdian pada sesuatu.
Dalam arti khusus (sakral), term de­vosi menunjuk pada ibadah dan pemujaan serta kepasrahan dalam menggantungkan diri pada realitas yang suci, menjadikannya tempat untuk memohon, mengadu atau memakainha sebagai perantara kepada Allah; baik kepada santo-santa, sifat-sifat ilahi dari Yesus Kristus ( seperti Hati Kudus, Salib Suci, Lima Luka Yesus, Kristus Raja), Trinitas, Roh Kudus, salah satu misteri hidup Kristus, Bunda Maria atau kepada Sakramen Mahakudus, dsb.
Dalam arti profan maupun sakral, kata devosi mengandung elemen-elemen seperti afeksi manusia, penghormatan, rasa segan, respek dan kagum, perhatian yang luarbiasa, kesetiaan dan cinta yang meluap. Sasarannya, dalam arti ini sebagai mediumnya, bisa me­rupakan suatu objek (materi dan benda mati), seseorang (pribadi) atau juga realitas yang abstrak (amorph, spirit). Devosi ini tidak hanya merupakan perasaan yang tersembunyi dalam hati, tetapi pertama-tama tampak dalam per­buatan dan tindakan pemujaan dan pe­nyembahan. Devosi menjadi ekspresi dari apa yang menjadi kecintaannya.
Dalam Bahasa Indonesia kata devotio itu diterjemahkan tetap dengan kata 'devosi'. Pedahal sudah ada padanannya seperti kata 'bakti'. Dalam Bahasa Sanskerta, kepasrahan diri (self-surrender) yang disebut prapatti ditunjukkan dalam tindakan nyata, sebagai ekspresinya, yang disebut bhakti. Maka bila sikap dasar dalam devosi adalah cinta yang afektif, dan devosi itu juga mengandung unsur tindakan yang nyata, lebih baik devosi itu diterjemahkan menjadi cinta-bakti. Perasaan itu tidak pernah membuat jasa, ia mem­butuhkan tindakan yang nyata. Devosi me­muat makna cinta yang diwujudkan dalam tindakan tertentu. Karena ada cinta maka mengandaikan ada bakti, adanya bakti berarti karena ada cinta.
Lebih tajam lagi devosi itu harusnya merupakan wujud transformasi diri (self-transformation) dimana bukan lagi aku yang hidup, melainkan yang menjadi objek devosi­kulah yang hidup. Maka hidupku menjadi hidup devosional yang berporos pada siapa atau apa yang menjadi wujud devosiku. Aku menjadi "cangkang" bagi "isi". Bukan hanya "bakti" yang menjadi wujud nyata keter­gantungan, penyerahan, dedikasi dan kese­tiaanku pada objek atau persona tertentu. Tetapi juga seluruh hidupku, roh dan spiritku dijiwai oleh yang menjadi devosiku. Istilah "devout" biasa dipakai untuk menyebut orang yang hidupnya penuh dengan dedikasi pada pribadi ilahi tertentu.
Kata bhakti dalam Hinduisme ini dipakai untuk membedakan dengan term puja sebagai bentuk penyembahan yang bersifat resmi dan terstruktur. Seperti dalam bahasa Arab ibadah, yang menunjuk pada tindakan devosional, mempunyai akar kata abd yang berarti abdi atau hamba. Jadi sebuah ibadah selalu mengandaikan sikap dasar seorang hamba yang bersujud pada Allah. Term ibadah ini untuk membedakan dengan term salat yang menunjuk pada aktifitas penyembahan secara formal.
Kita melihat adanya kerancuan ter­minologis untuk menggambarkan sikap de­vosional itu. Kata-kata seperti pemujaan atau sembahyang, kebaktian dan ibadat sering disamakan atau diacak pemakaiannya. Pada gilirannya istilah devosi menjadi terasa asing bila diterjemahkan dengan cinta-bakti atau ibadah misalnya. Tetapi bila dikembalikan pada arti kata sejak awalnya mempunyai makna dan arti perasaan cinta yang diuang­kapkan dengan tindakan tertentu, cinta bakti cukup tepat. Tepat bukan karena kata aslinya tetapi juga kata yang idealnya dipahami. Se­hingga bila term ini dipakai dalam konteks iman, menjadi iman yang menuntut tindakan. "Iman tanpa tindakan adalah mati", begitu kata St. Paulus.
Maka devosi itu tidak berpusat pada diri sendiri yang berkisar pada sentimentalitas keagamaan belaka. Devosi juga tidak menjadi tempat mencari hiburan rohani atau jalan pintas memperoleh rahmat Allah yang infantil. Tetapi justru sumber energi dan spirit untuk me­nunjukkan cinta pada Allah yang direalisasikan pada sesama. Atau, ketika dilihat sebagai medium untuk mentransformasi diri, devosi menjadi cara hidup menurut model hidup yang menjadi objek devosi.

M
embedakan Liturgi
Dengan Devosi
Liturgi dan devosi memiliki struktur dasar yang sama yakni doa. Suatu bentuk doa yang didalamnya terkandung unsur-unsur adorasi (penyembahan atau pemujaan), pujian syukur, ungkapan terimakasih, permohonan atau juga silih atas dosa-dosa. Begitu pula sikap yang dituntut dari doa yang liturgis dan devosional itu adalah kasih akan Allah. Selain daripada itu, doa itu selalu merupakan ke­kuatan untuk hidup. Disni kita ingat pepatah Ora et labora. Berdoa dan karya, seperti refleksi dan aksi menjadi dua aktifitas yang saling memaknai. Lalu apa yang membedakan devosi dengan Liturgi? Jawaban sementara yakni unsur individual-komunal atau privat-publik dan kerakyatan-institusional.
Semua doa sudah seharusnya personal. Artinya manakala kita berdoa -berbicara dengan Allah- pikiran dan perasaan kita itu sudah semestinya terlibat. Apa yang dikatakan itu sepadan dengan yang dipikirkan dan dira­sakan. Namun ada doa-doa yang diungkapkan itu sifatnya individual (private).[1] Doa yang individual itu tidak mengenal aturan. Bebas. Dimana saja, kapan saja dan bagaimanapun sikapnya, tidak ada yang mengikat. Termasuk lamanya, diucapkan secara keras atau dalam hati, spontan atau membaca.
Doa devosional bersifat individual, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara komunal, secara bersama-sama dengan orang lain. Karena individual, doa devosional itu bersifat afektif dan senti­mental. Unsur perasaan mendapat tempat istimewa. Artinya meskipun doa itu dila­ksanakan bersama-sama, kepentingan individu, pengalaman pertemuan dengan Allah, pe­ngalaman fusi (keterleburan), kepuasan rohani, perasaan tersentuh dan terharu mendapat perhatian kusus. Malah mungkin hal-hal ter­sebut yang sangat dicari dan diciptakan.
Sebaliknya doa liturgis itu sifatnya komunal atau kolektif. Doa liturgis meng­ungkapkan doa seluruh Gereja. Gereja -Tubuh misitik Kristus- yang berdoa. Jadi ketika kita berdoa, kita berdoa bersama Dia, dalam Dia dan melalui Dia, dalam persatuan dengan Roh Kudus menuju Allah Bapa. Liturgi suci itu adalah ibadat yang bersifat umum (publik), maka mengenal kaidah-kaidah yang mengikat. Artinya tidak bebas. Unsur kepentingan indi­vidu menjadi sekunder dan unsur kebersamaan mendapat tempat istimewa. Jadi manakala berdoa, umat Allah tidak mengekspresikan hal-hal yang sifatnya pribadi namun sebagai ang­gota dari Gereja. Oleh karenanya doa liturgis disebut sebagai doa ofisial atau doa resmi. Dan sesuai dengan asal katanya 'liturgi' yang berarti kerja bakti umum. Doa liturgis adalah ibadat imamat sakramental Gereja, yang membedakan dengan doa-doa devosional yang yang individ­ual.
Secara garis besar doa itu dibagi men­jadi dua macam. Pertama, disebut dengan cultus publicus yang disebut juga dengan nama 'Doa Gereja' yang bersifat formal dan yuridis dan terikat secara institusional. Yang kedua, disebut cultus privatus yang disebut juga dangan nama 'Doa Pribadi' yang bersifat indi­vidual dan informal, yang merupakan ekspresi iman kerakyatan.
Cultus privatus menunjuk pada cara berdoa yang bersifat pribadi dengan cara dan sikap pengungkapannyapun secara pribadi. Si pendoa berdoa di hadapan Allah tanpa orang lain dan demi kepentingan pribadi.
Cultus privatus biasa dilakukan diluar upacara liturgi resmi. Maka disebut juga dengan nama-nama seperti doa 'non-liturgis', doa 'ekstra-liturgis' atau doa 'para-liturgis'. Ada tiga tipe doa 'para-liturgis' itu; pertama, doa yang sifatnya lokal dan hanya dilakukan dalam skop keuskupan tertentu, dengan bukunya tersendiri. Sehingga disebut juga dengan nama 'liturgi diocesan'. SC 13[2] mengkategorikan model doa tersebut dengan istilah sacra exer­citia; yang kedua, disebut dengan nama pia exercitia menunjuk pada aktifitas bedoa yang juga dilakukan di mana saja namun tidak termasuk kategori liturgi. Misalnya Doa Ro­sario, Jalan Salib, Persekutuan Doa Karis­matik, dsb.dsb.; yang ketiga, yakni doa-doa tertentu yang dilakukan secara pribadi atau oleh suatu keluarga tertentu. Misalnya devosi pada "Doa untuk menghormati 5480 pukulan pada Tubuh Yesus", "Doa tiga Salam Maria", "Doa Malaikat Allah", dsb, dsb., yang kadang dipadukan juga dengan doa-doa harian seperti doa pagi, siang, dan malam.
Doa liturgi dan 'non-liturgi' (devo­sional) secara teologis dibedakan dengan dimensi 'anamnesis' dalam upacara atau peng­ungkapannya. Dimensi anamnesis itu ditun­jukkan dengan mengembalikan hakekat upa­cara liturgi itu sendiri sebagai 'perayaan-penge­nangan' yang menghadirkan. Maksudnya, bahwa manakala liturgi digelar atau diragakan, peristiwa penyelamatan (the saving events); yakni penderitaan, mati dan kebangkitan Kristus itu dikenang dan dihadirkan kembali disini dan kini. Anamnesis ini selalu mengan­daikan kata-kata, cara-cara dan materia secra simbolis yang sama dengan yang semula (e.g. kisah institusi, roti dan anggur). Lebih dari itu doa-doa liturgis selalu bersifat sakramen, sedang doa-doa devosional (non-liturgis) bersifat sakramentali.
Pia exercitia dan sacra exercitia sangat dianjurkan oleh Gereja sejauh sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja. Tingkat Konferensi Waligereja mem­punyai otoritas untuk menentukan mana yang sehat dan mana yang sesat.
Gereja menganjurkan umat untuk berdevosi karena diandaikan akan memperkaya doa-doa liturgi resmi. Liturgi dan devosi tidak bertentangan. Liturgipun tidak seharusnya menyingkirkan devosi, tetapi justru seharusnya membimbing dan memberi pengaruh yang positif untu perkembangan spiritual. Devosi itu pelayan yang sangat membantu liturgi. Meski demikian devosi itu bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesempurnaan doa Kristen.
Bila kita mengamati SC. no 13[3], tam­pak bahwa Konsili tidak melarang praktek-praktek devosi populer. Sebaliknya justru sangat mendukung, meski dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya harus memperhatikan masa-masa liturgi, sesuai dengan, bahkan, bersumber pada Liturgi. Karena liturgi tetap ditempatkan sebagai jenis doa yang lebih sempurna daripada yang non-liturgi atau yang devosional.
Doa Liturgi adalah pusat dan puncak hidup Kristiani. Untuk menimba kekuatan spiritual dan menjadi arah tujuan hidup Kristen terletak disana. Tujuan misiologis kitapun ada pada liturgi. Seperti yang dinyatakan oleh SC no.10, "Sebab usaha-usaha kerasulan mem­punyai tujuan ini: supaya semua orang me­lalui iman dan Baptis menjadi putera-puteri Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Korban, dan menyantap perjamuan Tuhan." Liturgi menjadi titik konvergensi dan diver­gensi hidup Kristiani.

K
arakter Dasar
Doa Liturgis:
Berdasarakan SC no.7, no.10 dan no.24 dapat dilihat karakteristik dari doa Liturgi atau doa yang bersifat institusional itu:
1. Doa Liturgis itu berakar pada dina­mika kehadiran Kebangkitan Kristus dalam Gereja-Nya. Unsur anamnesis menjadi kriteria dasar. Menciptakan keselamatan dan sekaligus menyelamatkan bagi mereka yang ber­partisipasi kedalam peringatan-perayaan misteri tersebut. Bila tidak ada unsur anamne­sis bukanlah doa Liturgi.
2. Doa Liturgis berakar pada Misteri Gereja. Bahwa Allah melalui Putera-Nya mencintai semua manusia pertama-tama, bukan secara individu-inidividu yang terisolir, kepada yang berkumpul dalam Gereja-Nya. Gereja adalah misteri; Tubuh mistik-Nya. Maka Liturgi ketika dirayakan selain menunjukkan identitas warga Gereja, tetapi juga menjadi wujud kesalehan komunal dan eklesial. Doa Liturgi menjadi sakramen kesatuan.
3. Doa Liturgis itu berakar pada dan selalu diperkaya oleh Kitab Suci. Seperti yang dinyatakan dalam SC no.24;
"Dalam Perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dije­laskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permo­honan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menye­suaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditujukan oleh tradisi luhur ritus Timur mau­pun ritus Barat."
4. Doa Liturgis itu berpusat pada ibadah-ibadah resmi Gereja seperti Perayaan Ekaristi, Sakramen-sakramen, dan Ibadat Harian (Ofisi Suci). Prinsip dasar Liturgi sebagai momen pengudusan (divinisasi) dan sekaligus pemuliaan (glorifikasi). Sakra­mentalitas memegang peran yang penting.
5. Doa Liturgis itu mengikuti ling-karan Tahun liturgi sebagai manifestasi misteri-misteri Kristus sejak Inkarnasi hingga Kena­ikannya ke Surga.
Demikain kita melihat beberapa ka­rakter dasar Doa liturgis (institusional) yang membedakan karakternya dengan Doa de­vosional (personal).

D
evosi pada Sakramen
Mahakudus
Devosi pada Sakramen Mahakudus itu banyak ragamnya antara lain; Prosesi Corpus Christi, Adorasi atau Salve (Astuti), Eksposisi Sakramen Mahakudus, atau Eksposisi se­kaligus pemberkatan dengan Sakramen Maha­kudus, mengunjungi Sakramen Mahakudus yang ada di dalam Tabernakel, termasuk diperbolehkannya membawa Sakramen Maha­kudus itu kepada orang yang sakit, diada­kannya Konggres Ekaristi setiap tahun juga merupakan wujud dari besarnya perhatian pada devosi Sakramen Mahakudus, dsb.
Devosi tersebut begitu kuat dan subur sebagai wujud dari keyakinan yang mendalam atas Ekaristi sebagai sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Bahwa Yesus Kristus itu benar-benar hadir secara real dan nyata. Tidak heran bila pada abad pertengahan orang pergi ke Perayaan Ekaristi hanya karena ingin meman­dang Sakramen Mahakudus saja ketika imam mengangkatnya, malah nyaris mereka datang hanya untuk itu dan pulang. Bila melewati sebuah Gerejapun, yang tahu bahwa disana ada Sakramen Mahakudus, mereka akan mebuka topi atau menundukan kepala sebagai penghormatan pada Sakramen Maha­kudus. Devosi yang begitu kuat itu, kita tahu bagaimana kritik kaum reformer (khususnya mengenai konsep trans-substansiasi) mendapat reaksi yang keras dan nyaris nekat dari umat yang membela mati-matian dan mempert­ahankannnya.
Sehingga tidak heran bila bentuk ekskomunikasi yang dianggap paling berat adalah tidak diperkenankannya mereka, yang terkena hukuman, untuk menyambut Sakramen Mahakudus.
Dapatlah dikatakan bahwa devosi kepada Sakramen Mahakudus itu sudah men­dapat tempat di hati umat sepanjang sejarah Gereja. Kepercayaan yang kuat akan trans­ubstasiasi membuat kunjungan devosional umat akan sakramen yang disimpan di taber­nakel menjadi kuat, prosesi-prosesi dilakukan sebagai ekspresi iman umat dan pemberkatan oelh Sakramen Mahakudus itu diyakini sebagai wujud nyata dari berkat Kristus sendiri.
Sudah sejak awalnya bahwa devosi-devosi tersebut bukannya untuk menggantikan Liturgi Ekaristi, tetapi justru sebagai wujud ungkapan dan pengembangan akan Liturgi Ekaristi. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Paus Urbanus IV (1264) bahwa devosi itu dianjurkan agar uamt lebih berpartisipasi dalam Liturgi Ekaristi. Meskipun mungkin sekarang kenyataannya menjadi lain.

D
evosi kepada Sakramen Mahakudus Menurut Dokumen Gereja.
Prinsip yang ditekankan oleh Konsili mengenai devosi yakni sesuai, bersumber dan mengantar pada Liturgi suci. Disebut sesuai artinya tidak bertentangan, malah seharusnya melengkapi dan bukan untuk menggantikan Liturgi. Bila liturgi dianggap kering dan kaku, tidak menyentuh dan rasional, maka devosi mestinya melengkapi kebutuhan psikologis umat. Dikatakan bersumber, artinya bentuk devosi itu hendaknya merupakan "per­panjangan" dari liturgi resmi. Misalnya devosi pada Sakramen Mahakudus. Jadi bukan suatu bentuk Devosi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Liturgi. Dengan kata lain, devosi itu harus ada kaitannya dengan Perayaan Ekaristi. Karena Ekaristi adalah sumber dan arah hidup spiritualitas Kristen[4]. Dan akhirnya, disebut menghantar artinya bahwa devosi itu bukanlah tujuan tetapi men­jadi sarana untuk menghantar dan menuntun umat pada Liturgi yang sejati.
Selain daripada itu, prinsip praktek devosional itu harus memperhatikan penang­galan Liturgi. Prinsip ini berlaku bagi semua jenis devosi termasuk devosi pada Sakramen Mahakudus, prosesi-prosesi, eksposisi dan pemberkatan. Dan yang perlu diperhatikan bahwa instruksi resmi itumenegaskan bahwa meskipun bagaimana devosi kepada Sakramen Mahakudus bukanlah Liturgi. Artinya devosi tersebut tidak menggantikan Liturgi Ekaristi.
Beberapa catatan yang perlu diper­hatikan dengan eksposisi Sakramen Maha­kudus dalam Eucharistiae Sacramentum (21 Juni 1973).
1. Perayaan Misa di area gereja yang sedang melangsungkan eksposisi dilarang. Bila Misa diandaikan harus dirayakan juga, maka eks­posisi harus dihentikan sementara.
2. Baik monstrans maupun sibori dapat digu­nakan untuk eksposisi.
3. Bila eksposisi hanya untuk sementara waktu saja, ekaristi dapat diletakkan diatas altar saja, tetapi bila untuk waktu yang lama maka eks­posisi harus menggunakan "singgasana" (sema­cam tempat atau tahta untuk meletakkan Sakramen yang diukir atau dihias secara indah dan bagus).
4. Sepanjang eksposisi berlangsung bisa diba­rengi dengan bacaan-bacaan Kitab Suci, ho­mili, nyanyian, saat hening, refleksi dan wejangan-wejangan singkat. Eksposisi kemu­dian diakhiri dengan berkat (Benedictio).
5. Eksposisi meriah tahunan bisa dilaksanakan bila memang umat yang berminat itu hadir dan mendapat ijin dari uskup setempat. Sebaikanya setahun sekali diadakan pentahtaan Sakramen Mahakudus secara meriah.
6. Praktek eksposisi Sakramen Mahakudus yang hanya melulu untuk berkat (Benedictio) sesudah Misa dilarang. Misa bukan demi eksposisi atau berkat.
7. Bila Sakramen Mahakudus ditahtakan dalam monstran dinyalakan 4 tau 6 lilin, yakni seba­nyak yang dipasang dalam Misa, dan digu­nakan pendupaan. Kalau Sakramen Maha­kudus ditahtakan dengan piksis, dinyalakan sekurang-kurangnya 2 lilin; dupapun boleh digunakan.
8. Di hadapan Sakramen Mahakudus, entah disimpan di tabernakel entah ditahtakan untuk sembah sujud umum, cukup berlutu satu kali.
9. Untuk suatu kepentingan umum yang men­desak, waligereja setempat dapat memerin­tahkan supaya di gereja-gereja yang banyak dikunjungi umat diadakan doa permohonan bersama di hadapan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan selama waktu yang cukup lama.
10. Petugas untuk pentahtaan ialah imam atau diakon, yang pada akhir sembah sujud, se­belum Sakramen dikembalikan ke tabernakel, memberkati umat dengan Sakramen Maha­kudus itu sendiri.
Tetapi bila imam dan diakon tidak ada atau sungguh berhalangan, Ekaristi dapat ditahtakan di hadapan para beriman untuk dihormati umat dan kemudian dikembalikan oleh:
a. Akolit dan petugas khusus untuk komuni.
b. Salah seorang anggota komunitas biara atau persekutuan saleh awam yang akan melakukan sembah sujud Ekaristi, entah pria entah wanita, yang direstui uskup.
Mereka ini boleh melaksanan pen­tahtaan, dengan membuka tabernakel atau jika dianggap baik dengan menaruh piksis di atas altar atau menaruh hosti dalam monstrans. Seusai sembah sujud, mereka mengembalikan Sakramen Mahakudus ke dalam tabernakel. Tetapi mereka tidak boleh memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
11. Kalau pelayan itu imam atau diakon, hendaknya ia mengenakan alba atau superpli di atas jubah, dan memakai stola putih.
Pelayan lain hendaknya mengenakan pakaian liturgis yang barangkali sudah lazim di daerah itu, atau mengenakan pakaian yang pantas untuk pelayan itu, dan sudah direstui uskup.
Untuk memberikan berkat pada akhir sembah sujud, bila pentahtaan dilakukan dengan monstrans, imam atau diakon menge­nakan pluviale dengan velum warna putih; bila dengan piksis cukup mengenakan velum.

X fabie X
[1]cfr. Mat 6,6; "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
[2].'Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan."
[3]"Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Tahta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu."
[4]Eucharisticum Mysterium, No. 50; "Bila kaum beriman menghormati Kristus yang hadir dalam Sakramen Mhakudus, hendaknya mereka ingat bahwa kehadiran itu bersumber pada Kurban Ekaristi dan terarah kepada persekutuan baik sakramental maupun spiritual. Jadi, rasa bakti yang mendorong kaum beriman untuk mengunjugi Sakramen Mahakudus, sekaligus menarik mereka untuk ambil bagian lebih besar dalam misteri Paskah, dan untuk menanggapi dengan penuh syukur pemberian diri Kristus: lewat kemanusiaan-Nya Ia tak henti-hentinya mencurahkan hidup ilahi kepada anggota-anggota Tubuh-Nya. Dengan berhimpun di sekitar Kristus Tuhan, mereka menikmati keakraban-Nya yang mesra; di hadapan-Nya mereka mencurahkan segala keprihatinan bagi diri sendiri dan semua sanak-saudara dan handai taulan, serta berdoa memohon damai dan keselamatan bagi dunia (.....). Maka hendaklah kaum beriman dengan penuh minat menghormati Kristus Tuhan dalam Sakramen Mahakudus selaras dengan keadaan hidup masing-masing".

tarak brata


TARAKBRATA RESI BISMA


"Nama bayi ini Dewabrata." Kata Dewi Gangga menjelang kembalinya ke Swargaloka. "Kelak ia akan menjadi satria sakti, mahawira, arif bijaksana, pemikir dan pujangga agung. Ia akan menjadi panglima perang yang dikagumi lawan maupun kawan..." Dewi Gangga meyakinkan Prabu Sentanu suaminya.
Tak ada yang meleset dari ramalan ibunya. Dewabrata kelak kemudian hari sungguh-sungguh menjadi ksatria sakti mandraguna. Kata-kata sang bunda yang "saciduh metu, saucap nyata" tak lain adalah expresi dari kehalusan rasa dan ketajaman pikirnya. Pernyataan yang sebenaranya tidak bisa dilihat sebagai ramalan namun lebih sebagai "kaweruh sadurunge winarah", suatu intuisi seorang wanita.
Kemahawiraan dan kesaktian Dewabrata, sang Putra Mahkota Astina Pura itu, tidak ada pertentangannya sedikitpun dengan ketaatan, hormat dan cinta kepada sang ayahanda, Prabu Sentanu. Kesatriaan tidaklah mesti dibuktikan di medan perang tetapi juga dalam membuat komitmen pribadi. Terbukti ketika Sentanu jatuh cinta dan mabuk kepayang pada Setyawati, sang calon ibu tiri Dewabrata, si gadis cantik jelita ini bersedia menjadi permaisuri kerajaan Astina asalkan anak dari keturunannya yang kelak menjadi raja. Bukan Dewabrata! Suatu permohonan yang dilematis bagi sang Prabu Sentanu. Dewabrata menyerahkannya sambil tersenyum.
Dewabrata adalah Putra Mahkota, pemilik syah tahta Kerajaan Astina. Dia memegang hak kerajaan. Sang prabu bingung dan gelap. Cintanya pada Setyawati sebesar cintanya pada sang putra. Takut akan kehilangan Setyawati setakut kehilangan Dewabrata si pewaris syah tahta Astina. Pada waktu itu Dewabrata memahami perasaan ayahnya tercinta, kemurungan, kebingungan dan deritanya. Kekesatriaan satria muda ini tergugah. Dia harus berbuat sesuatu.
Dewabrata datang bersujud dan bersumpah dihadapan ayahnya, Sentanu, ujarnya: "Hamba berjanji dan peganglah teguh-teguh perkataan hamba ini, bahwa putra yang dilahirkan Setyawati yang ayahanda cintai itu, hamba relakan untuk menjadi raja. Dengan senang hati hamba akan turun dari tahta demi kepentingan Kerajaan astina yang akan melanjutkan keturunan kita. Hamba berjanji tidak akan kawin. Seluruh hidup hamba akan hamba peruntukkan demi pengabdian dan kesucian..."
Tatkala tarakbrata itu dikatakan, konon bunga-bunga kemboja di taman istana berguguran menyebarkan keharumannya. Sepertinya menyambut suatu peristiwa yang suci yang sedang terjadi. Atau lebih tepatnya memberi isyarat akan suatu peristiwa yang akan terjadi.
Keagungan dan keberanian sumpah setia Dewabrata menyiratkan ketaatan yang suci pada yang berkuasa, ketidaklekatan pada kekuasaan meskipun ia menghakinya; ketidaksilauan akan kekayaan dan kelimpahruahan, meski ia memilikinya; kekesatriaan dalam totalitas "pecat raganya" berupa hidup wadat sepanjang hidupnya, meski ia mencintai dan teramat dicintai oleh Dewi Amba sang bidadari jelita. Ia lebih memilih untuk menjadi seorang Bramacaya.
Tarakbrata terhadap tahta, harta dan wanita adalah ikrar yang mentahbiskan dirinya sebagai seorang Bisma. Seorang resi suci yang telah mencapai tingkat transendensi diri. Pilihan adalah memihak pada nilai yang lebih luhur. Keadilan dan cinta lebih dari sekedar memberikan haknya. Didalam pengabdian, ketidaklekatan dan penyangkalan diri memuat esensi pengorbanan itu sendiri. Tarakbrata adalah jalan bukan tujuan, adalah jalan yang terjal, keras dan berbatu yang mesti ditempuh untuk mencapai titian. Bukan disangkal melainkan ditransendensir. Kekesatriaan dan kebajikannya itu ada pada upaya untuk meraihnya. Resi Bisma mencapainya persis pada saat anak panah Srikandi titisan Dewi Amba kekasihnya menancap di jantung hatinya. Ia rebah berdarah di tengah lapangan Kurusetra. Saat ia melepas nyawanya, bunga-bunga kemboja di taman istana kembali berguguran menebarkan keharumannya turut menyucikan nilai sebuah kesetiaan.

mitos simbolik


MITOS DALAM RITUS YANG SIMBOLIS


01. Pengantar

Setiap orang mempunyai kampung halaman. Tempat dari mana ia berasal. Tempat tinggal yang nyaman membetahkan. Tempat dimana banyak hal yang membekas dalam kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Kampung halaman selalu menjadi tempat kerinduan untuk pulang bagi para pengembara. Seperti yang dikatakan pepatah melayu, "Setinggi-tinggi terbang bangau, toh akan kembali ke kubangannya juga".
Tempat pengembaraan bisa lebih memikat karena indah dan menawan sebagai tempat tinggal, namun itu akan menjadi sekedar bertamu di rumah tetangga belaka. Dia tetap rindu dan buru-buru ingin pulang, paling tidak barang sesaat. Itulah sebabnya mudik lebaran sebagai fenomena sosial bisa dijadikan contoh kerinduan untuk pulang itu. Suatu exodus besar-besaran dari kota-kota besar menuju kampung halaman mereka masing-masing. Meninggalkan tempat perantauan meski barang sesaat. Setiap tahunnya, meski penuh dengan resiko, para pengembara itu mempertaruhkan segalanya semata-mata hanya agar bisa pulang, agar bisa pulang ke kampung halamannya, ke asal muasalnya. Anak cucu mereka bisa saja dilahirkan di tempat pengembaraan, tetapi darimana berasal mereka selalu diburu rasa ingin tahu. Oleh karenanya setiap orang kapan saja akan ditanya, "aslinya mana?" atau "dari mana asalnya?" Sebuah pertanyaan primordial. Jenis pertanyaan yang paling sensitif karena menggugat wilayah arti dan makna hidup.
Pada waktu itu pengalaman disorientasi akan dirasa lebih mengerikan dan menyakitkan secara eksistensial bukan hanya kalau tidak punya masa depan dan arah hidup tetapi pertama-tama kalau ia tidak punya masa lalu. Kalau ia tidak tahu dari mana berasal. Ia menjadi terasing dalam hidup pengembaraanya. Fenomena ini tidak lain hanyalah resonansi realitas terdalam dan arkhaik manusia sebagai mahluk kosmos ini. Resonansi kerinduaan untuk selalu kembali ke yang hakekat, ke fitrah hidup ketika realitas dimana hidup tidak genah lagi untuk dihidupi. Manusia butuh saat-saat untuk mengafirmasi rasa kemanunggalan secara komunal ketika masyarakat penuh dengan persaingan, gesekan-gesekan dan benturan-benturan dan nilai hidup yang selalu diukur dengan menang atau kalah. Saat seperti itu manusia butuh tempat dan waktu untuk meng-counter-nya dengan upacara ritual sebagai creative anti structure (V. Turner) bahwa hidup bukanlah "seperti ini", bahwa pasti pada mulanya segala sesuatu itu baik adanya.
Manusia rupanya butuh kisah hidup. Butuh alkisah untuk berkisah serta memahami kisah hidupnya sendiri. Dalam penjiarahan panjang hidupnya; bermula dari lahir hingga sang maut datang menjemput; dalam mencari kebenaran, arti dan makna hidup; pengalaman situasi batas; serta dalam memahami rangkaian fakta hidup yang dilapisi tabir tebal misteri ini. Pendeknya manusia butuh jawaban apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Dalam bahasa M. Eliade, manusia rindu kembali ke ab origine atau ke in illo tempore.
Disinilah mitos punya peranan; upacara ritual punya manfaat, guna dan artinya; serta simbol berbicara. Mitos yang digelar dalam upacara-upacara ritual secara simbolis menjadi pintu masuk ke dalam ruang makna -kalau tidak disebut menciptakan makna itu sendiri- tempat terjadinya peristiwa pertemuan dengan yang misteri. Dimana kerinduan mendasar manusia terpenuhi dan obsesi terdalamnya mendapat jawaban.
Sebagaimana mitos adalah rangkaian kisah hidup yang utuh dan padat; adalah rangkaian merjan-merjan peristiwa yang menjadi satu narasi. Lebih persisnya lagi, peristiwa-peristiwa itu menjadi suatu yang dikisahkan. Saat dimana sejarah menjadi puisi. Betapa, upacara ritual menjadi medium pengisahannya. Ritual, dengan memakai bahasa Paul Ricoeur, menjadi tempat "pengeplotan" (mise en intrique) kisah hidup. Kisah hidup pribadi dan seluruh peristiwa hidupnya yang telah, yang tengah dan yang akan dihidupi, dikonfigurasi menjadi suatu pagelaran. Mitos diaktualisir lewat upacara ritual sehingga menciptakan peristiwa pertemuan dengan yang transenden, dengan kisah hidupnya sendiri. Upacara ritual menjadi saat untuk memandang, mendengar, meraba dan mengecap lakon hidup. Dengan kata lain, saat merasakan dan mengalami yang misteri. Lakon hidup manusia yang memang misteri. Itulah sebabnya upacara ritual harus menciptakan "pengalaman Tabor". Tempat terjadinya trasfigurasi yang banal berubah sakral, yang manusiawi menjadi ilahi serta impian menjadi kenyataan. Lebih daripada itu, masa lalu dan masa depan menjadi hadir saat ini. Nabi Musa sebagai personifikasi kisah lama, Elia sebagai personifikasi kisah masa yang akan datang yang dinantikan, kini menjadi kisah aktual ketika Musa dan Elia bercakap-cakap dengan Yesus. Saat seperti ini Petrus dan murid-murid lainnya mengalami peristiwa pertemuan yang mencengangkan namun sekaligus membetahkan. "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini!", katanya.

02. Mitos: Kisah Dalam Upacara Ritual

Memperkarakan upacara ritual tidaklah mungkin dilepaskan dengan perkara mitologi dan sekaligus simbologinya. Hal ini sudah menjadi perdebatan yang panjang, namun tak pernah tuntas dalam kancah antropologi, sosiologi, semiologi dan pertama-tama teologi itu sendiri. Mitologi telah ditrafsirkan dengan bermacam-macam makna. Seperti Frazer menganggap mitologi sebagai upaya orang-orang primitif untuk mencari jawaban atas asal muasal dan sebab musabab kejadian-kejadian alam. Sejajar dengan Max Muler ketika dia mengartikan mitos sebagai hasil fantasi puitis dari jaman baheula. Sebagai kisah yang puitis, mitos datang dari kedalaman pengalaman pertemuan dengan yang misteri. Kerinduan untuk mengkomunikasikan yang sublim yang membutuhkan bahasa yang lain, yakni bahasa puisi. Mitos dalam hal ini menjadi bahasa yang akrab dengan agama, yakni ekspresi puitis atas pengalaman mistis. Makanya sebuah mitos itu harus dipahami dengan perspektif sebuah puisi yang metaforis. Sepertinya mitos itu adalah suatu genre sastra yang hendak merumuskan realitas lain ketika bahasa diskursus dirasa tidak mampu memformulasikannya.
Roland Barthes menjelaskan secara lain bahwa mitos itu hanyalah sejenis pengucapan, soal mengatakan sesuatu. Mitos tidak lain daripada sistem komunikasi yang didalamnya termuat suatu pesan, sesuatu yang ingin disampaikan. Jadi mitos itu bukanlah suatu objek, atau suatu konsep atau ide, tetapi pertama-tama merupakan suatu cara atau bentuk pemaknaan belaka. Mitos tidak lain adalah "metalanguage". Bahasa yang hendak mengungkapkan sesuatu realitas lain yang ada dibaliknya secara lain, baik secara oral-verbal maupun secara visual. Sehelai foto, sekeping pecahan keramik kuno atau juga sebuah relief di sekeliling candi Borobudur misalnya, adalah mitos sejauh benda itu bermakna sesuatu. Segala sesuatu adalah mitos, kata Barthes, sejauh sesuatu itu dipakai untuk mengungkapkan atau mengkomunikasikan sesuatu.
Disini kami yakin bahwa mengenai genealogi mitos-ritus bila dikembalikan kepada aetiologi-nya memberi terang atas makna sesungguhnya sebuah mitos dan ritus sekaligus. Studi dari Jane Harrison kiranya cukup representatif. Harrison berpendapat bahwa mito itu, bagi orang Yunani adalah suatu perayaan sabdawi (verbal celebration). Orang Yunani bukan hanya mengasosiasikan term mitos dengan term perayaan, namun sekaligus memakai term mitos tersebut untuk memaknai perayaan sabdawi. Karena term mythos pertama-tama berarti sesuatu yang diucapakan. Sesuatu yang dikatakan oleh mulut. Term mythos pada dasarnya adalah lawan kata dari ergon yang artinya sesuatu yang "diperbuat", "dilakukan" atau persisnya "dikerjakan". Kelak kemudian hari mitos diartikan sebagai kisah yang diucapkan. Kisah tentang perbuatan (ergon). Jadi tidak ada hubungannya dengan kisah yang digelar. Ketika term mitos dihubungkan dengan perkara keagamaan maka mitos dikontraskan maknanya dengan ritual. Tetapi tetap sama maknanya dengan arti semula (dalam lingkup sastra) yakni kisah yang diucapkan dalam tindakan ritual. Disinilah term logomenon dapat dikontraskan dengan dromenon. Logomenon "per se" berarti mitos yang dikisahkan, diceritakan pada saat upacara ritual dilaksanakan. Sesuatu yang sangat normal sekali bahwa dalam upacara ritual selalu ada yang diucapkan dan dilakonkan. Namun bukan berarti bahwa ritual itu sekedar pagelaran mitos. Harrison menegaskan bahwa dromenon itu bukan saja berarti sesuatu yang diperbuat secara komunal namun pertama-tama sesuatu yang dilakonkan kembali (re-done) atau pra-lakon (pre-done). Dengan kata lain sesuatu yang direpresentasikan sebagai suatu upaya pengulangan pengenangan kembali atau bahkan suatu pra-lakon yang bersifat antisipatif pada realitas yang belum terjadi. Inti maknanya adalah menghadirkan yang lalu dan yang akan terjadi pada saat kini disini.
Dapatlah dikatakan disini bahwa secara aktual ketika sebuah upacara ritual digelar pada dasarnya adalah mitos itu sendiri. Upacara lahir sebagai mitos baru. Mitos yang aktual yang berwujud peristiwa ritual. Ia menjadi suatu happening yang nyata dalam mana yang sebelumnya masih abstrak. Itulah sebabnya Van der Leeuw menyatakan dengan tegas bahwa mitos itu bukanlah kontemplasi yang reflektif belaka namun lebih merupakan suatu aktualitas.
Kentara sekali bahwa masalah genealogi ritus-mitos itu cukup rumit. Mana lebih dahulu ada, mitos atau ritual? Apakah upacara ritual itu sekedar menggelar mitos? Atau, mitos justru diciptakan oleh dan untuk upacara ritual? Mengingat upacara ritual lebih eksistensial daripada mitologi dalam hidup manusia dan pada gilirannya dalam upaya memahami isi dan hakekat ritual itulah tercipta mitologi? Kalau ritual datang dari mitologi, lalu mitologi datang dari mana? Suatu pertanyaan yang mirip dengan "mana lebih dulu ayam atau telur"? Maka jawaban yang gampang adalah bahwa mitos dan ritual lahir dan hidup secara berbarengan. Mitos tidak bisa hidup tanpa ritual dan vice versa.
Franz Boas, seorang antropolog, berkisah bahwa sebuah upacara ritual itu merupakan stimulus yang melahirkan mitos. Ritual mendahului mitos. Mitos ada semata-mata untuk keperluan ritual itu sendiri. S. Kirk berpendapat lain. Ritus dan mitos jelas berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi mestinya mitos datang lebih dahulu atau malah paling tidak masing-masing merupakan fenomena yang berdiri sendiri. Mitos tidak diciptakan oleh ritual. Kirk mengatakan bahwa mitos mempengaruhi ritual dan ritual mempengaruhi mitos. Pada mulanya, barangkali, masing-masing berdiri sendiri. Sedangkan Clyde Kluckon, dengan kacamata yang agak freudian, yakin bahwa mitos dan ritual itu lebih berperkara pada permasalahan psikologis manusia. Ritual merupakan suatu aktifitas berulang-ulang yang bersifat obsesif. Pada mulanya mungkin hanyalah fantasi personal, namun lama-kelamaan menjadi komunal karena mengalami sosialisai. Pada waktu itulah fantasi individu menjadi mitos dalam sebuah masyarakat. Pada gilirannya keyakinan pribadi yang bersifat mitis itu menjadi prilaku yang bersifat ritual yang disepakati oleh kelompok masyarakatnya.Dengan pengandaian keyakinan itu (mitos) merupakan obsesi fundamental dari masyarakat tertentu itu baik yang bersifat ekonomis maupun yang biologis seksual dan kolektif. Mengandaikan adanya kenangan dan obsesi kolektif tersembunyi yang direpresentasikan.

03. Ritual: Pengalaman Peleburan antara Pikiran dan Tindakan

Upacara ritual, secara tipologis, selalu dianggap sebagai suatu kegiatan yang bersifat praktis belaka. Artinya untuk membedakan dengan aspek teoritis dan konseptual dalam kehidupan beragama. Keyakinan atau iman, simbol-simbol dan mitos-mitos, misalnya, digolongkan sebagai bagian konseptual dan teoritis. Dengan kata lain pembedaan itu dimaksudkan untuk memilah bidang apa yang dilakukan sebagai tindakan dan bidang apa yang dipikirkan sebagai konsep. Sehingga dari tipologi ini dipahami bahwa wilayah kepercayaan dan iman, simbol-simbol dan mitos-mitos lebur menjadi satu dan membentuk sebuah cetak biru yang bersifat konseptual yang sekedar memberi arah, menyarankan inspirasi, serta membimbing aktifitas dan perbuatan manusia. Wilayah tersebut sama sekali tidak disebut sebagai suatu aktifitas.
Ritual, sebagai perbuatan, lebih dianggap sebagai act out; lebih mengungkapkan atau menggelar yang konseptual dan teoretis itu. Sehingga sebuah upacara ritual itu semata-mata tindakan tanpa pikiran dan perasaan. Yang akhirnya upacara ritual hanya bersifat rutin, kebiasaan, obsesif dan dianggap peniruan belaka. Yang pada gilirannya sungguh-sungguh menjadi suatu kegiatan yang legalistis formal dalam arti yang sesungguhnya. Ritual dipakai sekedar ekspresi fisik atas ide-ide atau konsep yang telah ada terlebih dahulu. Jadi upacara ritual itu bersifat sekunder. Mitos dan iman mendahului ritus. Ritus seakan menjadi bukan yang paling hakiki.
Edward Shils mengatakan bahwa ritual dan mitos (iman) saling berhubungan tetapi toh masing-masing berdiri sendiri. Hanya, iman atau kepercayaan bisa ada tanpa ritual, sebaliknya ritual baru ada bila ada iman. Seperti prilaku kehidupan (living) ada pada wilayah ritual sedangkan berpikir (thinking) ada pada wilayah mitis, pikiranlah yang menentukan prilaku. Tanpa harus mempertajam masalah mana lebih menentukan eksistensi yang satu dengan yang lainnya, ingin ditegaskan disini bahwa pikiran dan tindakan itu sama-sama penting dan berguna karena saling melengkapi dan memberi makna. Oleh karenanya, analog dengan surat St. Yakobus 2,14-26, yang menegaskan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati dan seperti tubuh tanpa roh adalah mati, maka jelas bahwa iman dan perbuatan itu tidak terpisahkan. Yang satu menyarankan yang lainnya. Demikian juga ritual tanpa iman adalah gerak robot belaka, sebaliknya iman tanpa ritual dalah mati.
Dalam upacara ritual iman dan perbuatan mencapai kekentalannya. Iman dan perbutan mencapai titik integrasi secara optimal. Disinilah dikotomi antara pikiran dan perbuatan menjadi pupus hilang. Makna hidup mendapat pemenuhannya, esensi dasar manusia memperoleh bentuknya. Pikiran dan perbuatan saling berpelukan. Tipologi yang dibesar-besarkan jadi tak berarti lagi. Ritual yang secara ontologis bersifat sinkronis, berkesinambungan dan tradisional itu kini mampu memberi medan arti bagi manusia yang mencarinya. Itulah sebabnya Mircea Eliade menggaris bawahi bahwa manusia secara arkhaik memiliki kerinduan mendasar untuk bertemu dengan yang misteri dalam ruang kudus, waktu kudus dan nilai-nilai kudus, sebagai elemen-elemen dasar sebuah upacara ritual, yang ketiganya lebur dan menyimpul secara simultan. Upacara ritual mempertemukan mitos -yang diimani- dengan perbuatan yang dihidupi. Pada saat inilah upacara ritual menjadi sebuah miniatur kehidupan, serentak menjadi model secara simbolik dari realitas dan menjadi model untuk realitas. Upacara ritual menjadi lakon hidup kita masing-masing. Ethos, sebagai tata moral dan guiding beliefs bagi seseorang atau sebuah masyarakat, menjadi semacam peleburan atau sintesa atas simbol-simbol dalam berbagai manifestasinya seperti seni, budaya, bahasa dan mitos-mitosnya. Itulah upacara ritual. Simbol-simbol memberi efek pada ethos yang memadat dalam bentuk ritual dan ritual menjadi pola kultur. Ritual menciptakan makna, melahirkan bentuk wadag yang lebih objektif atas realitas sosial dan psikologis yang amorf. Begitu juga sebaliknya realitas sosial dan psikologis membentuk ritual itu sendiri. Meskipun, dengan nota bene, upacara ritual itu hanya bersifat seremonial dan tak lain cuma berupa resitasi sebuah mitos. Ritual menjadi tempat peleburan imaginasi manusia atas dunianya dan dunia yang dihidupinya dalam sebuah upacara ritual yang simbolik. Ritual menciptakan pengalaman transformatif ke dalam esensi hidup seseorang.
Manusia yang schizofrenik salah satu cirinya adalah orang yang tidak terintegrasi antara pikiran dan tindakannya; tercerainya fungsi intelektual dan emosionalnya; ide yang diungkapkan dan emosi yang mengikutinya tidak padan. Katakan saja mereka adalah orang yang mengalami pengalaman diachronik; keadaan pecah jiwanya dengan tingkat kefatalannya adalah hilangnya kontak dengan realitas diluar dirinya. Dalam hal ini, upacara ritual menjadi ruang dan waktu untuk pengintegrasian antara "wilayah dalam" dengan "wilayah luaran". Paling tidak ritual dapat menjadi jembatan yang mempertemukan celah menganga antara pikiran dan perbuatan; antara tubuh dan jiwa; antara yang menusiawi dan yang ilahi; antara yang material dan yang spiritual; antara yang tampak dan yang abstrak; antara ethos dan world view. Sebuah masyarakat tanpa ritual, cepat atau lambat, sepertinya akan menjadi masyarakat yang schizofrenik. Masyarakat yang pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatannya tidak gathuk.


Daftar Bacaan:

1. Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, Oxford University Press, Oxford, 1992.
2. Joseph Campbell, The Power of Myth, Anchor Books, New York, 1991.
3. Jane Harrison, Themis: A Study of the Social Originss of Greek Religion, Merlin Press London, 1989
4. Roland Barthes, Mythologies, Vintage, London, 1993.
5. Rollo May, The Cry for Myth, W.W. Norton & Co, New York, 1991.
6. Victor Turner, From Ritual to Theatre; The Human Seriousness of Play, PAJ Publications, New York, 1992.
7. William A. Luijpen, Myth and Metaphysics, Martinus Nijhoff, The Hague, 1976.

membaca buku

MEMBACA BUKU ITU NIKMAT
Membaca itu menyenangkan sekaligus memberi kenikmatan tersendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan fisik lainnya. Kenikmatan membaca itu kenikmatan rohani, malah boleh disebut sebagai kenikmatan transendental. Karena dalam membaca, katakanlah itu buku-buku sastra yang bermutu, yang terjadi adalah ziarah batin, petualangan ke dunia imaginer yang penuh dengan deretan keindahan-keindahan yang mempesonakan dan menakjubkan yang pada gilirannya memberikan kepuasan batin. Begitu juga dengan membaca buku-buku non-sastra akan memberikan kenikmatan intelektual. Petualangan intelektual berupa pencarian makna pengetahuan adalah kerinduan mendasar manusia yang selalu ingin tahu sesuatu. Dengan membaca buku kerinduan itu dapat terpenuhi dan terpuaskan. Pengalaman cognitif itu, pengalaman dari tidak tahu menjadi tahu itu, secara existensial membebaskan diri dari obsesi keingintahuan seseorang. Upahnya tentu saja rasa percaya diri yang besar, bahkan kearifan dan kebijaksanaan dapat ditemukan dengan membaca.
Secara filosofis, pada waktu pembaca membaca suatu teks, katakanlah itu sebuah buku yang bermutu, terjadilah proses dialektis dalam penyimpulan-penyimpulan serta pemaknaan. Pemaknaan itu pada gilirannya memberikan rasa puas secara spiritual. Kenikmatan transendental itu mungkin saja terjadi berupa "kenikmatan keterkejutan" yang menyentuh perasaanya sehingga menghanyutkan si pembaca kepada kenyataan yang diungkapkan dalam buku. Tapi bisa jadi kenikmatan itu terjadi karena menyentuh dimensi intelektual. Pengalaman dari tidak tahu menjadi tahu adalah titik temu kesadaran dengan realitas yang tertera dalam tulisan. Ketersentuhan pada dimensi perasaan ataupun pikiran itu keduanya menjadi peristiwa tersedotnya si pembaca ke kenyataan diluar dirinya. Suatu "peng-alam-an" petualangan emosional dan sekaligus intelektual. Saat itu si pembaca mengalami apa yang disebut dengan "self-abandonment". Teks serentak lenyap dan yang muncul adalah konteks, bahkan teks dan konteks si pengarang lebur menjadi konteks yang baru. Itulah sebabnya membaca itu lebih merupakan suatu aktifitas yang memproduksi daripada sekedar membunuh waktu atau sekedar mengisi waktu senggang.
Ernest Hemingway, seorang sastrawan besar dari Amerika, dengan yakinnya mengatakan bahwa buku-buku yang bagus itu selalu menyergap dan menyerap pikiran dan perasaan si pembaca dan sekaligus membalikan pengalaman si pengarang menjadi pengalaman diri sipembaca dan pengetahuan sipengarang menjadi pengetahuan si pembaca. Descartes, sang filsuf besar, juga mengatakan bahwa membaca buku-buku yang bagus itu seperti berbincang-bincang dengan orang-orang hebat dan penting. Bila buku itu ditulis di masa lampau berarti kita berbincang-bincang dengan penulis buku tersebut yang telah mati; membangkitkan rohnya dan mengajaknya berdialog. Bacaan dapat mempertemukan dan menghubungkan dunia masa lalu yang lain sekali dengan dunia si pembaca di masa kini. Batapa fantastisnya. Dalam hal ini menjadi tidak heran bila dalam dunia pendidikan yang menganjurkan kepada murid-murid bahwa yang penting itu mengajarkan agar orang mau dan suka membaca daripada bersusah payah mengajarkan isi buku-buku yang dahsyat. Mengajarkan isi buku kepada orang lain dan membiarkan si pembaca membaca sendiri tentunya intensitas kepuasannya akan berbeda sekali.
Secara peioratif bacaan itu bisa menjadi tempat melarikan diri dari kenyataan. Tidak heran ketika isu krisis ekonomi menjadi heboh, mendadak peminat baca melonjak tinggi. Membaca menjadi tempat pelarian. Suatu fakta bahwa membaca itu memberi kenikmatan, kalau tidak disebut sebagai cara yang baik untuk mengatasi stres akibat berbagai krisis. Suatu pelarian ke realitas yang positif.
Bacaan itu mampu mentransformasi diri sipembaca kedunia yang diciptakan si pengarang. Secara persis kedalam teks itu sendiri pada saat si pembaca memaknainya, karena sebuah teks selalu merupakan milik si pengarang, kalau dia jujur, teks tersebut merupakan ekspresi terdalam pribadi si pengarang. Mungkin pergumulan batinnya, obsesi-obsesinya; mungkin ketakutan-ketakutannya, kegelisahan, dan amarahnya; mungkin juga ide-ide besar dan cita-citanya; atau bahkan merupakan jawaban-jawaban dari pertanyaan manusia umumnya; atau mungkin saja kegembiraan dan kebahagiaanya. Disadari atau tidak si pembaca akan masuk kedalam struktur ruang dan waktunya si pengarang. Gadamer, seorang filsuf yang tersohor, menyebut aktivitas membaca atau pemaknaan teks itu adalah proses 'trans-subjective' dan 'trans-objective'. Suatu proses secara tidak disadari kepribadian dan kesadaran si pembaca dilebur kedalam dunia pengarang. Pada waktu itulah interpretasi menjadi kreasi.
Pada kenyataannya pengalaman keterleburan (fusi) ini pada kenyataannya ditentukan oleh kemampuan membaca. Sedangkan kemampuan membaca itu sendiri ditentukan oleh kemampuan mendengar, berbicara dan berpikir. Seseorang yang memiliki kemampuan mendengar dengan baik dengan sendirinya cara berbicaranya akan baik, itu dikarnakan nalar dan aktifitas berpikirnya juga baik. Dengan kata lain kemampuan menjelaskan gagasan dan merumuskan ide-ide ditentukan oleh kemampuan membahasakan dan berbahasanya yang baik. Namun, di sisi lain daya nalar yang baik itu juga merupakan hasil dari kemampuan membaca si pembaca. Tampaklah oleh kita bahwa ada lingkaran sebab akibat yang saling membentuk sehingga tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya, karena serentak semua itu adalah soal aktifitas berbahasa. Apakah pola nalar seseorang itu sebagai hasil dari kemampuan membacanya? Pertanyaan retoris ini sama saja dengan menanyakan mana lebih dulu telur atau ayam.
Bolehlah saya katakan bahwa membaca itu mirip dengan mengendarai mobil. Mirip dalam pemaknaan dan penggunaannya. Kemampuan mengendarai mobil ditentukan oleh kemauan dan motivasi untuk mencoba melatih terus menerus dengan berbagai resiko. Dalam hal ini sepertinya kemauan dan motivasi itu mendahului kemampuan. Keluesan dan kemantapan si pengendara ditentukan oleh pengalaman di jalan sewaktu mengendarainya. Sudah tentu teori menyetir ada gunanya tetapi prakteklah yang menyempurnakannya. Seorang pembalap mobil yang terkenal kedahsyatannya tidak lain adalah representasi dari kemauan, motivasi, hobi, kesenangan dan pengalaman mengendarai mobilnya. Begitu juga motivasi dan kemauan membaca menentukan kemampuan membaca. Tetapi mau mencoba terus menerus membaca rupanya jalan yang paling menentukan kemampuannya. Kemampuan membaca datang dari pengalaman membaca itu sendiri. Kenyataan ini tidak bisa ditawar-tawa lagi.
Sisi lain, mengendarai mobil itu bisa menjadi suatu yang menyenangkan. Dia memiliki mobil demi pemenuhan hasrat kesenangan itu sendiri. Dengan mengendarai mobil ia menghendaki agar mencapai kesenangan, maka dalam hal ini mengendarai itu menjadi tujuan. Mobil tidak menjadi sarana lagi. Begitu juga dengan membaca. Membaca bisa menjadi tujuan untuk mencari kesenangan pada dirinya sendiri. Tidak salah, sejauh mengerti bahwa membaca itu juga punya makna sebagai sarana, bahkan makna simboliknya. "You are what you have" dan "You are what you read" itu juga mirip. Katakan saja mobil merek BMW milik seseorang bukankah akan mencitrakan diri sipemiliknya? Begitu juga dengan membaca buku. "Buku apa yang engkau baca, aku bisa mengatakan siapa dirimu." Kwalitas dan kwantitas buku yang dibaca menentukan citra diri seseorang. Disinilah fungsi membaca buku itu bukan hanya sebagai sarana mencari informasi atau komunikasi tetapi juga memberikan kebanggaan, gengsi dan sekaligus kepuasan secara spiritual. Karena dengan membaca orang mampu menghayati petualangan intelektual atau emosional yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).