Rabu, 26 September 2007

liturgi harian

IBADAT HARIAN DAN SC 83

Kidung ilahi, madah suci dan lagu-lagu sakral yang kita selalu daras dan nyanyikan dengan syahdu dan penuh syukur itu datang dari surga. Yesus Kristus sendiri yang membawanya. Bukan sekedar oleh-oleh yang disukai manusia di dunia, tapi Yesus tahu sesuatu yang penting untuk dimiliki dan kelak selalu digunakan oleh manusia di dunia. Dunia sebagai tempat pengasingan dan ‘lembah yang penuh dengan air mata’ ini bukan hanya akan menjadi alat pelipur lara dan derita orang per orang, namun Yesus Kristus hendak memperkenalkan lagu-lagu ilahi yang paling ‘populer’ di surga. Lagu-lagu kesayangan Allah yang selalu disenandungkan oleh para malaikatnya di sana. Lagu yang abadi. Lagu yang nyaris sudah menjadi klasik. Lagu yang tak lekang oleh waktu. Yesus Kristus membawanya ke dunia dan mengajarkannya kepada para pengikutnya yang dipakai untuk memuji dan memuliakan Allah Bapa bersama-Nya. Memuliakan dengan lagu-lagu kesayangannya. Ini adalah catatan Sacrosantum concilium no. 83 yang menjelaskan mengapa kita harus melatunkan Ibadah Harian.
SC no. 83 ini baru akan lebih jelas dan lebih tertangkap maksud pesannya bila kita membaca ‘best seller’ The Silmarillion-nya J.R.R. Tolkien. Suatu karya sastra ‘mythopoiec’ yang fantastis dan spektakuler itu. Alkisah, dunia ini (Ea) ada dan tercipta karena ‘nyanyian ilahi’. Iluvatar (Allah, Bapa dari segala yang ada) menciptakan alam semesta ini dengan menurunkan ‘Ainulindale’ atau nyanyian Ainur yakni nyanyian Yang Kudus yang selalu membahana di surga menjadi bahan utama dunia ini. Benda mati dan mahluk hidup, tumbuhan, binatang dan manusia memiliki hakekat yang sama; yakni nyanyian surgawi. Dunia dan surga menjadi simfoni maha agung yang menyenangkan hati Iluvatar (Allah). Sebagai sebuah karya seni tentu bersifat multi tafsir. Tapi tersirat dari fiksi ini bahwa hakekat dan sifat dasar manusia itu musikal. Mengapa kita harus memuliakan Allah dengan madah, kidung dan lagu-lagu ilahi? Karena supaya kita tetap ada dalam lingkup keilahian. Kidung pujian yang kita lantunkan itu mengartikan partisipasi kita pada kodrat ilahi yang musikal. Suatu panggilan yang bersifat alamiah. Bukan karena aturan yang mewajibkan, memaksa dan apalagi mengharuskannya secara legalistik.
SC no. 83 mengandaikan Ibadat Harian itu bersifat musikal, karenanya menganjurkan dalam pelaksanaanya pun harus dinyanyikan. Jelas ketika Ibadat Harian itu diartikan sebagai ‘kurban’ pujian, sisi lain dari kurban salib yang digelar dalam Perayaan Ekaristi. Kurban pujian dan kurban salib itu dilakukan sendiri oleh Yesus Kristus. Nah, peran kita adalah berpartisipasi aktif dan sadar. Karena pada hakekatnya ketika kita melambungkan kidung ilahi itu sama dengan Kristus sendiri, sama dengan Gereja sendiri yang sedang memuji kemuliaan Allah. Itulah sebabnya Liturgi Ibadat harian itu lebih bersifat eklesial daripada individual, tetap lokal dan komunal, meskipun mengkonfiguarasi Gereja universal. Ibadat Harian ketika dilaksanakan menjadi saat ‘epifani’ Tubuh Mistik Kristus.
SC no. 83 ini juga menyinggung Ibadat Harian, yang layaknya disebut Liturgi Harian, selain bersifat pujian syukur, juga bermakna permohonan keselamatan bagi seluruh dunia. Gereja yang memohon, kita yang adalah Tubuh Mistik Kristus sendiri yang memohon. Keselamatan itu rupanya ada pada realitas temporal, pada “sang waktu”. Dengan kata lain, keselamatan itu bersifat “waktuwi”. Ibadat Harian ditegaskan sebagai suatu wujud pengudusan waktu, konsekrasi hari-hari. Dalam hal ini kita jadi mudah memahami arti julukan Kristus sebagai ‘Khairos’ yang berinkarnasi dalam ‘kronos’. Ibadat Harian adalah ritus yang memberkati ‘kronos’ agar menjadi ‘khairos’. Ibadat Harian mensituasikan dan mengkondisikan kita pada realitas ilahiah, meskipun kita berada dalam kenyataan sekular dan profan.
SC no.83 menggaris bawahi sifat kekekalan madah pujian ilahi itu. Bukan sekedar nyanyian yang sudah menjadi tradisi Gerejani, bukan karena sejarah telah menguji keampuhannya, namun bahkan dokumen ini berani mengatakan bahwa kidung pujian itu berasal dari ‘bangsal sorgawi’. Senandung harian para malaikat di surga. Demikianlah kita menjadi paham akan pepatah Latin yang populer itu: lex orandi, lex credendi. Tata doa mengandaikan tata iman. Kita berdoa selalu dengan doa-doa yang Yesus dan Gereja sendiri doakan, karena di sana tertera ajaran iman yang baik dan yang benar. Ibadat Harian adalah kristalisasi ajaran iman kita sekaligus menjadi bentuk dan cara pengungkapan iman tersebut. Tidak heran bila dokumen lain meyakinkan kita bahwa Ibadat Harian adalah bentuk ibadat yang resmi dan merupakan identitas iman kita. Ibadat Harian menjadi senandung iman, harapan dan kasih manusia pada Allah yang indah, baik dan benar. Di sinilah pernyataan dan janji Yesus mencapai kepenuhannya, bahwa kita akan berdoa “dalam roh dan kebenaran”. Suatu pengandaian adanya cara dan bentuk doa yang salah, keliru dan menyesatkan.
SC no. 83 menganggap penting pelestarian tugas imamat Kristus. Secara sakramental berarti tugas pengudusan. Ibadat Harian (baca: Liturgi Harian) menjadi tanda yang memberikan dampak rahmat bagi yang merayakannya. Umat beriman yang juga menyandang martabat imamat umum mempunyai peran yang sama dengan para imam tertahbis dalam tindakan pengudusan. Sudah selayaknya umat Allah mengambil bagian dalam peran pengudusan ini. Tentu saja peran ini tidak mesti mempertajam tugas dan tanggung jawab imam tertahbis dengan umat beriman lainnya. Mendiang Paus Yohanes Paulus II lebih eksplisit lagi berujar bahwa monastisisme bukan dan jangan membuat pemisahan antara biarawan/wati dengan awam karena peran dan tanggung jawabnya dalam Ibadat Harian, tapi justru harus menjadi acuan utama bagi umat beriman untuk mengikuti dan menirunya. Ibadat Harian adalah tugas peran dan tanggung jawab umat beriman seluruhnya.
SC no. 83 mencatat sifat kesinambungan dalam mendoakan Ibadat Harian. Terus menerus, tanpa henti, ‘tiada putusnya’ mengartikan pemenuhan nasihat Injil untuk berdoa secara “keukeuh”. Ibadat Harian adalah ritme, irama spiritual yang langgeng. Secara biologis, seperti nafas, detak jantung dan aliran darah yang bergerak membutuhkan irama dan ritme yang tetap. Secara kosmikpun, alam semesta ini mengenal irama gelap-terang, dan perubahan musim yang silih berganti secara tetap. Melawan irama berarti terciptanya khaos. Begitulah, dalam minggu ada hari, dan dalam hari ada jam. Pendadaran waktu itu diharapkan diisi dan dimaknai dengan menguduskannya lewat Ibadat Harian. Musuh utama dalam ritme tetap itu tentunya rutinitas yang membosankan. Konsistensi itu menyimpan kebijaksanaan ‘mata bor’ (helix), dia berputar tetap dan terus menerus pada titik yang sama, namun tak terasa akan menembus kedalaman. Misteri ilahi, pengenalan dan pemahaman akan dimensi transenden menyarankan semangat, kedisiplinan dan ketekunan. Roh memang kuat namun danging lemah.

Jadi, bila Ibadat Harian disebut sebagai ibadat resmi umat beriman berarti ada sejumlah ketentuan yang menunjukkan karakteristiknya. Berdasarkan SC no. 83 secara implisit disebutkan: (a) Siapa? Siapa saja yang harus dan boleh mendoakannya; Para klerus (kaum tertahbis), biarawan-biarawati dan umat beriman lainya (awam). Awam bukan sekedar boleh berpartisipasi bersama dengan kaum tertahbis, tapi juga dianjurkan untuk melakukannya bersama umat beriman lainnya atau sendiri-sendiri. Sejumlah usaha agar dapat melibatkan awam tentunya sduah dilakukan mulai dari diperkenankannya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa setempat hingga bentuk lagu yang tidak terikat dengan irama Gregorian. (b) Dimana? Menunjuk pada kondisi yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Melakukannya bersama-sama dengan klerus atau biarawan/wati di Gereja Paroki atau biara-biara sebagai gambaran total kerajaan Allah atau sebagai kelompok kategorial tertentu di tempat tertentu. (c) Kapan? Idealnya tentu dilaksanakan sesuai dengan ‘tradisi mulia Gereja’; Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore. Kedua ibadat ini merupakan tonggak harian yang paling penting. Kemudian Tertia, Sexta dan Nona, (boleh pilih salah satu bila terpaksa harus didoakan sendiri) dan akhirnya Completorium melengkapi Laudes dan Vesper. Frekwensi berdoa mengandaikan ekstensifikasi dan intensifikasinya semangat hidup spiritual. (d) Mengapa? Karena memang sudah merupakan tugas dan tanggung jawab semua orang beriman untuk mendoakannya. Suatu yang mengikat karena kewajibannya. Bila disebut sebagai sumber dan ungkapan kesalehan, karena dalam Ibadah Harian tertera harta kekayaan iman Kristiani. Lebih dari pada itu, Ibadat Harian merupakan identitas Kristiani. (e) Bagaimana? Cara dan bentuk doa Ibadat Harian, seperti dengan menyanyikan kidung, madah, mazmur dan doa-doa serta bacaan-bacaan Kitab Suci dan bacaan lainnya itu, serta tata gerak yang telah diatur itu merupakan kekhasannya. (f) Apa? Apa itu Ibadat Harian? Suatu pertanyaan yang mengarah pada substansi atau hakekat doa itu sendiri. Jawabannya sudah sangat jelas; Ibadat Harian adalah doa seluruh Gereja sendiri, doa Yesus Kristus sebagai imam, doa yang berdimensi anamnesis yaitu kenangan yang menghadirkan misteri keselamatan.
Bila saudara/i kita yang beragama Hindu di Bali melakukan sesajen beberapa kali dalam sehari dan juga saudara/i kita yang beragama Muslim melakukan Shalat 5 kali dalam sehari, itu menunjukan identitas spiritual dan keagamaannya. Tata cara sesajen dan bentuk doa shalat itu merupakan ibadat resmi mereka. Suatu pertanyaan retoris, berapa kali dalam sehari seorang Katolik berdoa? Frekwensi dan bentuk ibadahnya menunjukkan identitas katolisitas.
Yohanes Paulus II dalam Novo Millenio Inuente menganggap penting hidup berdoa, dalam hal ini yang dimaksudkan Ibadah resmi umat beriman, yang menunjukkan bahwa latihan kesalehan dan kesucian itu teruji dalam seni berdoa. Roh jaman menunjukkan adanya antusiasme yang positif dalam hidup yang semakin spiritual. Identitas Katolik pada gilirannya ditantang dan dibedakan dalam kesungguhan hidup doanya. Yang membedakan orang per orang adalah kwalitas doanya. Karya karitatif dan humanistik akan dirasa hampa bila tanpa dasar hidup doa. Dengan kata lain, tidakan karitatif Katolikpun baru akan mendapat peneguhannya bila dibarengi dengan Ibadat Harian.


Fabie Sebastian Heatubun

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).