Rabu, 26 September 2007

kritik kebudayaan

KRITIK KEBUDAYAAN I
RD. Fabie Sebastian Heatubun

“Ideologies and concepts have lost much of their attraction; traditional cliches like ‘right’ and ‘left’ or ‘communism’ and ‘capitalism’ have lost their meaning. People seek a new orientation, a new philosophy, one which is centered on the priorities of life – physically and spiritually – and not on the priorities of death” (Erich Fromm, The Revolution of Hope: Toward A Humanized Thechnology, Bantam New York,1968, p.4-5).


Sebagai pengantar:
Bahan diskusi kita tentang “Kritik Kebudayaan” ini berperan sebagai pengantar saja. Bukan hanya karena tidak akan diajukan sejumlah jawaban dari sejumlah masalah yang diangkat, tetapi juga kita akan memposisikan diri secara netral dan bebas nilai. Kita hanya akan memotret realitas meskipun bidikannya bisa tidak focus sehingga pada gilirannya barangkali kita hanya bisa memandang gambar yang buram.
Idealnya tentu saja kita mendekati masalah, mengenal dan memahami lalu memecahkannya, karena apalah gunanya sebuah pengertian demi pengertian belaka; pikiran dan perasaan tidak pernah membuat jasa. Kalau tidak direalisasikan dalam praksis dan diinkarnasikan dalam hidup serta diatasnamakan demi kepentingan orang banyak. Oleh karena itu bahan diskusi ini akan bersifat informatif saja, atau paling tidak menjadi sekedar mengingatkan ulang bagi mereka yang sudah akrab dengan teori kritis atau ancang-aancang untuk menjelajah lebih jauh bagi mereka yang belum bersentuhan dengan kritik kebudayaan.
Namun tentu saja bila yang dihasilkan usai diskusi kita ini rasa ‘gemas’ atau ‘greget’ untuk mengubah situasi, minimal bagi dan mulai dari diri sendiri adalah suatu kebajikan yang patut dipuji.

Ilustrasi
Untuk memiliki gambaran umum tentang sebuah kritik kebudayaan kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh seorang seniman ‘performance art’, Andar Manik. Tahun 1996 Andar Manik pergi ke daratan Erapa untuk mengadakan suatu pertunjukkan – bukan suatu pameran – seperti sebagaimana dilakukan oleh seniman lainnya. Sebuah pertunjukkan bisa diartikan suatu demontrasi atau unjuk rasa yang mengharapkan orang lain dapat melihat dan mendengar lalu peduli dengan pesan yang dipertunjukkan ‘performance art’ memang tidak menunggu pembeli karyanya. Tema judul sekaligus substansi yang diusung Andar Manik itu adalah sebuah teriakan” Culture… culture… lama sabakhatani” (Kultur…. Kultur…. Mengapa engakau meninggalkan Aku!). Suatu teriakan keputusasaan, atau ‘kepasrahsumarahan’ atau mungkin juga suatu doa yang suci. Petunjukkan Andar dalam posisi ini bukan hanya unjuk rasa pada orang-orang Eropa, tetapi pertama-tama pada Allah sendiri. Seperti sebuah ‘monstrance’ yang diacungkan ke arah langit untuk meng-ya-kan factisitas ‘la condition humain’ pada sang Pencipta. Seperti tragedi yunani yang dipentaskan oleh Sopocles atau Euripides di kaki gunung Olympus agar ditonton oleh Zeus.
Andar Manik tidak pergi ke Amerika, atau India, atau Cina (malah seingat saya), dia tidak melakukan pertunjukkan di Indonesia. Pertunjukkan harus mengambil seting di Eropa. Eropalah tanah kelahiran dan kuburan ‘mahluk’ yang disebut “Kultur”. Andar Manik sebagai representasi dari seorang Indonesia, bekas negeri yang terjajah oleh bangsa Eropa, yang telah menyusu pada ideologi, filsafat dan paham-paham Eropa, dan yang telah menggantikan word-view, Grondslag, dan bahasa ekspresi serta eksperiensinya dari sana, kini gelisah dan memberontak, marah dan ‘mendoa’ karena dia baru ‘ngeh’ kalau dia sudah lama mati. Mati secara filosofis, bukan mati klinis. Bumi di mana dia pijak bukan lagi sebagai ‘Heimat’, kampung halaman yang membetahkan. Ia mengalami alienasi, orang asing dinegerinya sendiri. Semangat “produce more-consum more” membuat dia muak (nausea). Keintiman dan keakraban antar manusia telah berubah. Kepercayaan dan pikiran telah kehilangan arah; disorientasi. Seperti yang pernah dikeluhkan oleh Arnold Gehlen, “ this world be the really god-forsaken situation, on the far side of atheism, to have to live, which one cannot integrate intellectually nor morally nor emotionally”, Bahwa dunia ini adalah situasi yang ditinggalkan oleh Tuhan, sementara harus menghidupi kehidupan dengan skala yang besar yang kita tak berdaya untuk mengintegrasikan diri secara intelektual, moral maupun emosional. Sebagaimana diungkapkan oleh Jurgen Moltmann ketika ia membaca ‘Germinal-nya Emile Zola “The World has now changed in to industrial society. In place of material poverty, rootlessness and homelessness in the social movement from country to town, the world has achieved order. But it is the order of a inscrutable bureaucracy, of veiled interests and of struggles for power, and of frightening manipulating of men” (J.Moltmann, Man, SPCK London, p.68, 1974).

Pembalikan Antroposentris
Culture .. culture lama Sabakhtani… Andar Manik (yang Muslim itu) memetaforakan dirinya dengan Isa yang sekarat di salib, yang menjerit memilukan, “Tuhanku, ya Tuhanku mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Kultur adalah Tuhan, atau yang telah menjadi Tuhan. Kultur telah menjadi prinsip dasar dan yang memberi kemungkinan manusia bisa hidup. Seperti telah menjadi air bagi ikan atau udara bagi nafas kehidupan manusia. Suatu factisitas yang terbesar begitu saja tanpa kita bisa menawar-nawar atau memberontak untuk keluar dari dalamnya. Cultura telah menjadi Natura. Kultur telah menjadi sesuatu yang bukan hanya bagian integral dari hidup manusia secara individual personal dan secara komunal, tetapi justru telah menjadi kodrat manusia. “Contra natura” menjadi “sibi mortem consciscere”, sama dengan bunuh diri.
Kultur adalah ciptaan manusia ketika dia sadar sebagai ‘Mangelwesen’ (Arnold Gehlen). Mahluk yang secara fisik kurang, tidak lengkap bila dibandingkan dengan hewam. Dimana ia berihtiar untuk mengintensifikasi dan ekstensifikasi kondisi dirinya. Kultur, peradaban, dan persisnya tehnology adalah bukti nyata usahanya. Hasil yang telah menjadi bumerang dan ‘malapetaka permanen’ (Adorno). Bila kultur telah menjadi natur, kita lalu teringat dengan adagium kontrovesial dari Baruch Spinoza (1636-1677), “Deus sive natura”; atau alam atau Allah; alam adalah Allah dan atau sebaliknya Allah adalah alam. Kini dapat dirumuskan menjadi Deus sive cultura. “Kultur,…kultur…mengapa engkau meninggalkan daku”. Pengalaman ditinggalkan dan keterpisahan adalah pengalaman yang paling menyakitkan. Kisah-kisah yang difilmkan tentang kekerasan Nazi selalu membangun plot dengan tragedi perpisahan: anak harus berpisah dengan orang tua, sanak saudara. Istilah-istilah tercabut dari akar (uprooted), masyarakat tanpa bapa (fatherless society), kehilangan kiblat (disorientation) menandai seluruh rangkaian hidup kita. Ada dehumanisasi dan dipersonalisasi hidup kita menjadi tidak natural lagi: seuan untuk kembali ke yang alamiah, back tu nature, seperti telah terlambat atau terlanjur. Alam sudah bukan tempat tinggal yang membetahkan lagi. Dunia menjadi penjara universal. ‘Pantheisme’ telah berubah menjadi pannihilisme.
Andar Manik telah melakukan suatu kritik kebudayaan. Dengan bahasa seninya ia ingin mengubah keadaan karena cintanya pada hidup, pada humanitas dan keprihatinannya pada kebudayaan itu sendiri yang bukannya memberi makna, guna dan arti hidup tetapi malah ‘menyalib’nya.

Ide Tentang Teori Kritis (Crtical Theory)
Istilah teori kritis pada dasarnya searti dengan ‘teori sosial’ kritis. Disebut kritis mengartikan pemahaman dan penelaahan yang bersifat refleksif yang mendalam dan jelas tentang kondisi sosial. Maka kadang disebut juga dengan nama “reflexive theory of society, the science of man and society”atau sering juga disejajarkan dengan istilah kritik ideologi (ideology critique), ketika ideologi dipahami sebagai kesadaran palsu sehingga proyek kerjanya adalah membongkar kedok-kedok ilusi dan kebohongannya. Nah, sedangkan kritik kebudayaan atau (‘Kulturkritik’), cultural criticism sering diartikan sebagai induk dari kritik sosial. Kritik kebudayaan pada hakekatnya kritik atas manusia itu sendiri dan kritik atas filsafat, cara berfilsafat dan kritk atas diri sendiri.
Teori kritis (critical theory) sering dihubungkan langsung, pada Mazhab Frankfurt dengan orang-orangnya; Horkheimer, Adorno, Benjamin dan Marcuse. Kelak kemudian hari di atas tahun 80an istilah teori kritis berkaitan erat dengan kritik text yang dilakukan oleh kaum strukturalisme, poststrukturalisme dan posmodernisme dengan orang-orangnya seperti Foucault, Derrida dan Lyotard. Bagi Marx teori kritis didefinisikan sebagai “the self-clarification of the struggles and wishes of the age” (Karl Marx: Early Writings (NY Vintage Books, 1975, p.209). Suatu prinsip dasar bagi kaum marxis kelak kemudian hari. Dalam buku Dialectic of Enlightenment. Adorno dan Horkheimer menyadarkan suatu kritik atas rasio instrumental, selain ditunjukkan pentingnya tapi juga dipaparkan bahaya-bahayanya.
Seperti diakakan oleh Croce dan disetujui oleh Gramsci, bahwa kegiatan kritisimnya bersifat budaya dan merupakan kritk atas kecenderungan-kecenderungan yang harus segera dibendung kalau tidak”akan terjadi pembantaian-pembataian terus menerus”. Karena kritik itu atas wujud dn isi makajadilah kritik sosial dan budaya.

Kritik Modernitas dan Kritik Kebudayaan
Modernism atau modernitas bisa diartikan sebagai suatu gerakan atas reaksi sadar atau tidak, sistematik atau alamiah atas suatu jaman yang sudah atau sedang lewat. Atau hanya sekedar sebutan untuk membedakan kondisi yang lalu dengan yang lain atau yang dianggap pejoratif. Term modern datang dari bahasa latin ‘modernus’ dan ‘modo’ yang artinya ‘mutakhir’, masa kini. Konon sudah dipakai pada abad 5. Namun term modernitas persisnya dipakai dengan muatan ideologis untuk mengkategorisasi jaman Abad Pertengahan dengan Renaissance. Renaisan menamakan dirinya sebagai modern dan Abad Pertengahan sebagai pramodern. Pada abad ke 17 dan 18 modernitas dipakai untuk menunjukkan jaman Pencerahan (Enlightenment), suatu gerakan intelektual di Eropa dengan exponennya antara lain Hume, Kant, Rousseou, Voltaire, dsb. Moto yang terkenal “Sapere aude”, beranilah untuk menggunakan pengetahuan sendiri. Jaman ini meyakini bahwa akal budi (rasio) itu dapat memecahkan segala macam masalah sosial, intelektual dan ilmu. Kaum Enlightment ini tentunya cukup agresif mengkritisi dan membongkar otoritas tradisi dan instituisi agama. Seperti seruan Voltaire: Crash the Infamy (musnahkan kekejian). Mungkin seruan itu ditujukan pada agama kristen yang pada waktu itu cukup menandai dan mendominasi kultur Eropa dengan citra abad pertengahan. Enlightenment percaya pada humanisme dan ide tentang kemajuan dan kebebasan berpikir. Anti otoritas agama mengandaikan anti atau skeptis pada yang berbau metafisis. Hume adalah filsuf yang paling over reaktif. Credonya bahwa pikiran bukanlah sebuah entitas atau substansi, tetapi sekumpulan kesan dan gagasan yang dikaitkan oleh hubungan-hubungan seperti keserupaan, kausalitas dan urutan dalam sebuah sistem seperti ingatan.

Sebagai Peta
1. Dari Agustinus ke Skolastik:
Agustinus (354-430) pada waktu itu sudah menyebut saat dia hidup sebagai masa modern. Dipakainya istilah tersebut untuk membedakan masa lalu jamannya sebagai kafir (pagan), tidak berbudaya, kurang maju atau tidak sesuperior jamannya.
Skolastik (abad ke-7 dan berpuncaak pada abad ke 13) dengan eksponennya Hugo Saint Victor, Peter Lombard, Thomas Aquinas, dsb memantapkan adanaya kesatuan antara iman dan ratio; teologi dan filsafat. Dasar dan gaya berfilsafat yang Aristotelian itu memberi ciri yang bermain-main dengan bahasa. Metodenya disebut ‘method of disputation, caranya mulai dengan masalah ditempatkan dan dibagi menjadi dua, lalu keberatan-kebaratannya dibeberkan dan dijawab.

2. Dari Skolastik ke Renaisance:
Renaisance (abad 14-16) artinya kelahiran kembali, suatu ‘revival’ semangat Greco-Romana. Suatu gerakan yang lahir di Italia. Gerakan yang amat menekankan humanistik, menggantikan “Aristoteles” yang dianggap kering dengan “Plato” yang lebih idealistik. Menurut J. Burchardt dalam bukunya, (Civilization of the Renaisance in Italy, 1860), digambarkan bahwa pada waktu ini seni mencapai titik puncaknya. Seni menjadi parameter hidup dan budaya. Renaisanse seperti membuka dan mempersioapkan jalan bagi modernisme kelak kemudian hari. Sejarah Italia dianggap sebagai miniatur bagi Eropah secara keseluruhan. “Italia abad 15 sama dengan Eropah abad 16”. Italia melampaui kultur dan peradaban Eropah lainnya. Manusia menjadi individu yang spiritual; gnouti seauton seruan dari Sokrates, mencapai kenyataannya di Italia. Agama menjadi bersifat sangat personal tidak formal, ritualistik. Terra in cognita mulai ditaklukan. Bukan hanya ekspansi spirtual dan intelektual tetapi juga regional.
Anak jaman ini muncul tokoh yang dominan yakni Giordano Bruno yang kemudian dibakar hidup-hidup karena dianggap anti otoritas Gereja, atau lebih tepatnya anti kebenaran-kebenaran silogistik dari skolastik. Yang lain adalah protagonis yang sering dianggap bidan dari modernisme yaitu Francis Bacon. Dia menempatkan posisi ilmu baru, kebenaran ilmiah yang baru dan mengadakan pembalikan dari sistim berfikir yang deduktif ke yang induktif. Operasional dan utilitas menjadi nilai dan kebenaran. Ia menyingkirkan idolae tribusm specus dan teatri. Idola teatri memupus pengaruh kuat dari sistem-sistem filsafat yang ada yang tidak induktif yang penuh dengan apriori,yang tidak diuji oleh pengalaman.

3. Dari Renaisance ke Enlightenment:
Enligtenment atau Aufklarung atau Pencerahan (abad 18), kadang dibagi menjadi Pencerahan Ensiklopedis (abad 18) dengan biangnya Diderot; ada Pencerahan Marxis (abad 19) dengan Neo Marxisnya; dan Pencerahan Freudian (abad 20). Ketiga pemilahan itu pada hakekatnya hendak berkata bahwa manusia bertanggung jawab untuk mengatasi dan mengubah nasibnya sendiri.
Tokoh protagonist dalam Pencerahan ini adalah Emmanuel Kant (1724-1804). Dia bersemboyan; sapere aude; beranilah menggunakan akal budi sendiri. Tokoh-tokoh lainnya di Inggris ada Newton, ada Locke, di Perancis ada Racine dan Moliere dan dalam seni ada Bach dan Rembrandt.

4. Dari Enlightenment ke Romantisisme
Menurut Rouseau, Schlegel, romantisisme itu ‘the spiritu of subjectivity’. Bukan ratio yang tangguh tetapi imaginasi dan emosi. Suatu reaksi atas neoklaisme dan Pencerahan yang sangat menekankan dan percaya pada ratio. Ratio adalah budak kehendak. Romantisisme itu membuat jalan untuk munculnya Idealisme German seperti Schiler, Fichte, Scheling, Schlegel dan Goethe. Romantisisme yang berlebihan tak ayal lagi melahirkan Positivisme.

5. Dari Romantisisme ke Positivisme
Positivisme yang dilahirkan oleh Romanitisisme, dibidani oleh Saint Simon (1760-1825), pendiri sosialisme Perancis dan gurunya August Comte. Comtelah yang memilihara danmembesarkan Positivisme. Masyarakat itu berkembang dengan 3 fase; 1 teologis, 2 metafisi, 3 saintifik. Sejajar dengan gurunya ketika berpendapat bahwa sejarah atau jaman itu ada dua fase; fase organik dan fase kritis. Dia ada dalam fase kritis. Fase yang menyapu habis fosilisasi sosial abad pertengahan dan menelanjangai dogma-dogma metafisis. Dia percaya dengan etik rasional serta filsafat yang positivis, dunia akan harmoni dan terjadi ‘the better world for all’. Positivisme ini kelak kemudiana hari berkembang di Lingkaran Wina yang menamakan dirinya Positivisme logis dengan tokoh-tokonya seperti Carnap, Neurath dan Ayer.

6. Dari Positivisme ke Post-modernisme:
Istilah-istilah seperti post-modernisme, beyond modernisme atau after modernisme bosa juga disebut dalam konteks ini post-positivisme dalam arti sebelum ada postmoderisme sebagai suatu kondisi atau sebagai suatu gerakan, telah ada positivisme. Katakan saja bahwa postmodernisme ini sebagai reaksi antipati pada Pencerahan, anti borjouise enlightenment.
Kita akan lihat beberapa tokoh representatif -sebagai sampel saja- yang bereaksi atas model pemikiran Pencerahan yang kemudian dikritiknya. Mereka bisa dianggap sebagai orangyang pernah menelanjangi kultur dan peradaban manusia.
Pertama, kita lihat Nietzsche. Dia diikuti oleh Heidegger, Derrida dan Rorty. Filsafat dianggap logosentrik, masih rational dan bahasa telah menjadi penjara. Akal, rationalitas dan juga sain pada hakekatnya mengalami bias-bias kultural. Bila kita masih percaya,berarti telah terkondisi oleh kultur Eropah (borjuis), berati kita mau mempertahankannya. Maka harus dibongkar. Postmodernis percaya bahwa manusia hanya produk dari kultur, ratio objektif itu hanya mitos. Dengan metafor Nietsche, ‘bukan Apollo tetapi Dionysius’. Sewaktu Nietzschemengatakan bahw manusia itu mahluk (animalia) yang belum selelsai (fix), serentak kita teringat dengan pernyataan Jurgen Habermas yangmeyakinkan bahwa postmodernisme adalah proyek modernisme yang belum selelsai nietzsce melihat secara singgular sedangkan Habermasi secara komunal. Keduanya menunjuk pada posisi manusia di dunia.
Dalam konteks ini apalah postmodernitas itu sebagai ancaman atau anugerah? Ketika posmodernisme dianggap sebagai pensiero debole, sebagai filsafat ular di Taman Firdaus, atau sebagai ibu yang memandikan bayinya dalam baskom dan membuang air dan bayinya. Postmodernisme mendekonsturksi segala tatanan?
Nihilisme postmodernis apa bendanya dengan nihlisme klasik? Seperti kata Gorgias, tidak ada semuanya (metafisi dan epistemologis) , kalau ada kita tidak tahu, dan toh kalau kita tahu kita tidak dapat menceritakannya. Atau seturut Pyrrhonisme bahwa pengetahuan itu tidak mungkin. Karena sudah terkontaminasi semua sumber pengetahauan kita ini? Atau seperti kata Schopenhauer juga, putusan nilai (value judgement) telah kehilangan validitasnya.
Kedua, kita lihat kacamata Freudian. Pada hakekatnya kultur modern datang dari pemuasan hasrat atau penekanan atas hasrat-hasrat. Sejarah manusia adalah sejarah represi. Kesenianpun datang dan hanya hasil dari represi. Telah terjadi “pleasure principle vs reality principle”, nature vs civilization, biologi vs sosiologis, dikotomi dan represi itni cukup menandai secara universal. Pada gilirannya yang ada kultur represif, ekspresi dan eksperiensi kultural yang represif. Kalau toh ada sublimasi, itu berarti semu. Kultur hanya penghalusan dari “id”, misalnya perkawinan pada hakekatnya hanyalah pelembagaan sex. Nilai-nilai yang sudah diinternalisasikan pada kultur tertentu selalu terjadi konflik secara internal. Kultur menjadi semacam “struggle for existence, suatu transformasi represi self.
Ketiga, Daniel Bell memberi reaksi atas modernitas. Kini terjadi dehumanisasi radikal. Terjadi “mass society”, “mass culture”. Kultur yang ditandai dengan tergilasnya pribadi, persona yang tidak unik lagi, tidak beridentitas dan mengalami anomia. Kultur ditandai dengan yang serba masal, dengan standardisasi atas nama rasionalisasi dan modernisasi. Segalanya diukur berdasarkan prognose, project, planing dan kontrol. Pergaulan menjadi anonim, dekat tapi asing. Masuk ke dalam mass societu berarti terpisah dari diri sendiri, aimless, homeless dan mindless. Masyarakat menjadi mesin seperti yang dikatakan Jaques Ellul, manusia hanya menjadi aparatus dan robot dalam mesin raksasa yang anonim. Masyarakat ditandai oleh birokratisasi, rationalisasi sehingga subjek dimanipulasi menjadi objek oleh ‘black box’ atau sistem. Tapi Bell percaya bahwa masyarakat masih bisa diselamatkan dengan tetap memakai alat perekat yang masih kuat yakni agama, tetapi agama yang sudah direvisi. Karena –seperti yang ditegaskan dalam bukunya The Cultural Contradiction of Capitalism—ada split antara kultur dengan masyarakat. Masyarakat seperti sendang menarikan tarian yang bukan tariannya. Dalam takaran ini Bell bisa disebuat sebagai Neokonservatisme yang memberi kritik atas kebudayaan modern.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).