Rabu, 26 September 2007

hagiografi

Dari Etika ke Estetika: Paradigma Alternatif Mengatasi Krisis Nilai.

RD Fabie Sebastian Heatubun

Pengantar: Pengamatan Situasi
Peradaban manusia berawal dari pemujaan keindahan. Maka dapat dikatakan bahwa keindahan adalah asal dan tujuan dari peradaban itu. Hidup adalah pertaruhan akan keindahan. Atau mengutip Richard Wagner, bahwa man’s supreme purpose is art.[1] Sejauh mana seni (estetika) dapat memaknai hidup manusia? Sejauh mana dia dapat menawarkan solusi bagi krisis hidup? Itulah sejumlah kecil pertanyaan (masih ada lagi daftar pertanyaan lain) yang mau digali dalam tulisan ini. Dewasa ini ada krisis nilai dan makna dalam skala besar yang ditengarai melanda dan menggoncang sendi dan struktur dasar masyarakat kita. Di satu sisi, ada gejala dekadensi moral atau pengalaman keterasingan (alienasi). Hidup dirasa sudah rusak. Tidak ada lagi yang dapat menjadi standard atau pegangan pasti. Tidak ada lagi prinsip, sumber atau patokan yang dapat memberi orientasi arah dari mana dan mau ke mana manusia. Peradaban kita seakan tercerabut dari akarnya. Ada yang menyebutnya sebagai the motherless society, hollow man atau homeless mind, dsb. Tetapi di sisi lain, kita membutuhkan landmark; kita membutuhkan kiblat yang bisa memberi pedoman arah dari mana dan mau ke mana kita hidup dan ada; kita membutuhkan tiang tonggak yang dapat menjadi alat ukur apa yang baik atau apa yang buruk. Sesungguhnya sejumlah gerakan radikal dewasa ini yang dibungkus dengan sebutan ‘neo’ atau ‘ultra’ konservatif, ‘neo’ orthodoks, berangkat dari kebutuhan akan kepastian dan pegangan dalam menghidupi krisis nilai ini. Dalam konteks ini dapatkah seni memberi sumbangan untuk mengatasi krisis peradaban ini? Kaum eksistensialis seperti J.P.Sartre, A.Camus dan P.Tillich, pernah mensinyalir bahwa kita sedang mengalami kebosanan ekistensial (meaninglesness), di mana kehidupan ditandai kemuakan (nausea) dan absurditas. Dikatakan bahwa “Reality is a colossal blah. Dim indeed.” Jaman ditandai dengan hidup tanpa prospek, di mana “the horizon wiped away”, seperti bumi terlepas dari gravitasi matahari, suatu ketiadaan yang bukan kepalang. Ini adalah masa penantian akan nihilisme yang menandai dunia kita, karena situasi meaningless tadi. Do we not feel the breath of empty space?, kata F.Nietzsche.[2]
Singkatnya, ada krisis nilai, ada goncangan peradaban. Fenomena pluralisme, yang walau merupakan fakta yang selalu ada di sekitar kita, ternyata mendatangkan krisis dalam tata nilai kita. Ditambah lagi dengan terpaan arus globalisasi yang sangat deras yang menggerogoti hidup semua manusia di semua belahan dunia. Ada situasi meaningless, situasi keterancaman, fragmentarisasi dan polarisasi dalam pola pikir manusia. Bersamaan dengan pluralisme ada juga gejala relativisme (baik moral maupun kultur). Kita menyadari bahwa ada pergeseran paradigma:[3] dari bagian ke keseluruhan, dari struktur ke proses, dari ilmu pengetahuan objektif ke pengetahuan epistemik, dari bangunan ke jaringan sebagai metafor pengetahuan, dari kebenaran ke penggambaran, dari pembedaan ke penggolongan, dari rasional ke intuitif, dan analisis menjadi sintesis, dari reduksionisme ke holisme, dari paham linear ke paham nonlinear (spiral). Ada juga pergeseran pada ranah nilai: dari kompetisi ke kooperasi, dari pernyataan diri ke integrasi, dari ekspansi ke konservasi, dari kuantitas ke kualitas, dari dominasi ke mitra, ataupun pergeseran dari cogito ergo sum ke amo ergo sum. Atau pergeseran dari pola Descartes ke pola Santo Bernardus. Dulu pandangan dunia bercorak mekanistik, patriarkis dan mengungkapkan hasrat the will to power, yang dikembangkan Galileo, Descartes, Newton, dan Bacon. Kini pandangan dunia itu lebih bercorak holistik, ekologis, kwantum yang tidak menekankan detail, partial tetapi secara total. Dalam hal ini terma Holy ada hubungannya dengan wholly! Kesadaran ekologis adalah kesadaran akan kesaling-berhubungan fundamental dan kesalingtergantungan segenap fenomena dan akan keterikatannya dan kemenyatuannya di dalam kosmos. Capra meyakini bahwa kesadaran ekologis tingkat tinggi adalah kesadaran spiritual atau kesadaran religius. Inilah sebabnya mengapa paradigma baru itu, yang sedang berlangsung di dalam ilmu pengetahuan maupun diluarnya, telah diikuti oleh kebangkitan baru spiritualitas, khususnya spiritualitas jenis baru yang berpusat pada bumi dan berpusat pada diri.

Gagalnya Dua Jalan: Ilmu dan Agama
Selama ini manusia mencoba mengatasi pelbagai masalah itu dengan memakai pendekatan ilmu pengetahuan (logika), agama (moral, etika). Idealisme ilmu pengetahuan dan logika berpuncak pada kebenaran, veritas (truth). Dalam ilmu pengetahuan ternyata orang cenderung membuat polarisasi hitam putih antara Benar dan Salah. Ternyata sejarah membuktikan bahwa lorong ilmu pengetahuan (logika) ini gagal. Optimisme ilmu pengetahuan dan teknologi terjerembab. Peradaban manusia justru dibawanya ke dalam muara Perang Dunia II dengan dua tragedi besar: Holocaust Auswitzch (Sho’ah) dan Hiroshima. Keduanya menjadi luka sejarah yang menyeramkan. Teknologi terapan dalam bidang industri (ekonomi, dengan multi dan transnasionalnya dan persenjataan dengan perlombaan senjata dan krisis nuklir) telah menimbulkan krisis ekologi yang mengerikan. Teknologi telah melahirkan paradoks sosial: dunia terbagi antara yang miskin (Selatan) dan yang kaya (Utara), antara Timur dan Barat, antara the West and the Rest of the World. Singkat cerita, ilmu pengetahuan (logika) gagal.
Idealisme agama (moral, etika) ialah kebaikan, bonum (good). Ternyata ajaran agama selama ini lebih banyak menekankan kesadaran akan dosa dan keselamatan. Orang pun cenderung membuat polarisasi hitam-putih antara yang Baik dan yang Buruk. Akibatnya, muncullah gejala fanatisme, fundamentalisme, dan radikalisme religius. Orang cenderung memandang dirinya sebagai kubu yang mengandung kebaikan dan kebenaran. Sedangkan orang lain di luar sana, mengandung keburukan dan kesalahan. Baik ilmu pengetahuan (logika) dan agama (moral, etika) sama-sama ditandai eksklusivisme, dengan pola pikir utama “atau-atau” (either-or). Jadi, ternyata jalan agama pun tidak banyak menjanjikan. Alih-alih menjadi penjaga manusia dan kemanusiaan, ternyata agama cenderung menjadi penjagal manusia dan kemanusiaan. Wajah demonik agama sepanjang sejarah tampak lebih kentara daripada wajah angelik-nya. Agama pun sangat mudah dijadikan sebagai alat politik. Pada tataran ini agama pun pasti dilanda oleh gejala demoralisiasi.
Wallace Stevens mengatakan “Kita beriman tanpa iman, melampaui iman”.[4] Kita tidak lagi beriman secara tradisional dan dogmatik belaka tetapi berdasarkan religius experience dan dilandaskan pada kebebasan nurani. Dalam masyarakat ada kencenderungan anti-dominasi, dan anti-otoritasianisme, karena ada gelagat tidak percaya pada kebenaran yang didominir oleh mereka yang memiliki otoritas. Dalam hal ini, seni atau keindahan tidaklah mendominasi: letting be. Seni adalah antitesis dari nafsu dominasi. Penentu kebenaran bukan lagi terutama otoritas, melainkan akal budi dan pengalaman pribadi. Dalam hal ini, seni bukan hanya sebagai ‘kerangka luar’ (exoskeleton), melainkan juga ‘kerangka dalam’ (endoskeleton) yang harus diinternalisasi secara sadar.[5] Seni menjadi struktur dasar untuk ekspresi, yaitu ekspresi dari kefitriannya, yang merupakan totalitas dan infinitas pemenuhan kerinduannya. Kalau agama tidak dapat memenuhi kerinduan mendasar itu, maka seni dapat menggantikan perannya. Setidaknya seni dapat mengartikan, menyucikan (membersihkan, memurnikan) iman. Jadi, seni dapat menguji dan mengkritik hidup ketika agama cenderung memutlakkan segala sesuatu. Pengalaman batin, ekspresi batin mendapat tempat penting dalam estetika. Hal ini secara tidak langsung menggeser otoritas yang diserahkan pada manusia atas nama Allah. Gelagat yang paling kentara dalam wilayah teologi kontemporer menunjukkan adanya arah pada turn to experience.[6] Agama sebagaimana diamati Bellah juga harus berangkat atau berpijak pada pengalaman estetis, suatu pengalaman religius yang pada hakekatnya dimiliki seni.
Ketika kita menyebut ‘agama’ serentak pikiran kita tertuju pada lembaga, pada bentuk ritual, pada tumpukan ajaran atau dogma dan moral etiknya yang indah, yang dirumuskan secara baku (Dekalog, Kotbah di Bukit). Etika merupakan bagian dari agama; tetapi etika tidak selalu terkait dengan keagamaan. Inilah otonomi etika itu. Otonomi itu misalnya ada dalam etika humanis ateistik yang tidak ada hubungan dengan agama; malahan boleh jadi dia merupakan tandingannya. Etika, yang etimologinya berarti kebiasaan, selalu dikaitkan dengan karakter, sifat dan disposisi seseorang. Karena itu, etika selalu berasosiasi dengan tindakan yang baik dan buruk, salah dan benar, baik pada tataran personal, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan. Secara horizontal, etika/moral (seperti agama) berfungsi sebagai jalan, atau prasyarat mutlak untuk mengukur pencapaian ideal para penganut agama. Secara vertikal, etika dimaksudkan untuk membimbing umatnya menuju kesempurnaan ilahi. Dua penekanan itu selalu mengandaikan dan mensyaratkan satu sama lain. Artinya perbuatan moral (kebaikan) bertujuan agar memperoleh kebahagiaan akhirat kelak. Moral etik selalu berdimensi aksiologis, artinya menekankan aspek-aspek nilai hidup. Moral/etika pun bermakna teleologis, artinya selalu memberi orientasi dan tujuan tertentu. Agama menganggap penting etika karena pada dasarnya etika membantu umatnya agar sampai pada kebahagiaan. Tetapi sejauh mana etika itu telah, dan masih akan menjamin dan memenuhi tuntutan itu?

Menelusuri Jalan Ketiga: Estetika
Di tengah semuanya, situasi manusia seakan-akan tanpa harapan (hopeloss), tanpa jalan keluar (No Exit, seperti kata Sartre). Benarkah demikian? Benarkah situasi manusia sudah tidak berpengharapan lagi? Tidak. Masih ada harapan. Masih ada jalan keluar. Harapan itu tampak dalam lorong ketiga, yaitu estetika. Idealisme estetika ialah Keindahan atau pulchrum (beauty). Lorong ini, berbeda dengan dua lorong di atas tadi, ditandai inklusivisme, dengan pola pikir utama both-and (merangkul sekaligus dua pihak, coincidentia oppositorum, meminjam Nicholaus Cusanus). Estetika cenderung pluralis, menghargai pluralitas (kemajemukan) dan karena itu tidak ditandai polarisasi, misalnya antara yang indah dan yang buruk (sebagaimana polarisasi antara Benar-Salah, Baik-Buruk dalam dua lorong terdahulu). Lorong ketiga ini cenderung bersikap apresiatif dalam menghadapi dan mengalami segala sesuatu. Jalan ketiga (the third way) inilah yang mau dilihat kemungkinannya lebih lanjut dalam karangan ini. Pertanyaan fokusnya ialah sejauh mana jalan ketiga ini dapat memberi harapan adanya jalan keluar dari krisis multidimensi manusia ini.
Dalam estetika kita mau menjelaskan ‘konsep dasar’ pada saat kita berhadapan, memikirkan, membicarakan atau mengalami pengalaman estetis (aesthetic experience), yang tidak hanya menyangkut karya seni saja, tetapi juga menyangkut estetika alam seperti pemandangan, pohon, gunung, matahari dan bahkan diri (tubuh) manusia itu sendiri. Semuanya terungkap dalam terminologi-terminologi seperti makna estetis, simbolisme, representasi, ekspresi, kebenaran dst. Dalam rangka itu, tujuan dari etik, menurut Max Scheller, adalah “the inner beauty of the good.” Jauh di masa silam Plato pun merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang memikat dan membujuk kita untuk mencari (meraih) kebenaran. Seseorang disebut indah kalau hidupnya memancarkan tindakan yang membuat orang lain mencari, mengagumi, mengapresiasinya. Maka tindakan etis berarti An intelligent appeciation of beauty concerns embodied meanings and values in the fullness of their particularity and existential impact.[7] Keindahan adalah dorongan emosional bagi ‘kebutuhan yang tak terpuaskan’.[8]

Beberapa Insight Positif dari Estetika
Seni mempunyai peranan penting dalam peradaban manusia, yaitu sebagai seismograf super-sensitif untuk melihat, mengetahui serta mengukur adanya gelagat atau ancaman gempa nilai yang akan menghancurkan lingkungan tempat tinggal kita ini. Tetapi, apakah seni hanya berperan mendiagnosa saja dan tidak dapat berperan sebagai upaya moralisasi? Atau, mampukah estetika pada umumnya atau karya seni pada khususnya memiliki arti dan memberi makna dalam kenyataan jaman yang serba meaningless? Menurut Adorno, dalam jaman yang kehilangan makna, karya seni mampu menandakan dan menangkap kenyataan tersebut yang dipantulkan oleh kreasi-kreasi seni jaman bersangkutan. Maka sebenarnya karya seni selalu bermanfaat bagi kita untuk melihat kenyataan jaman karena dapat merupakan alat ukur yang tepat dan jitu. Seni bisa membantu kita menjawab pertanyaan dari mana kita datang, ke mana kita menuju dan siapa diri kita? Jadi, seni itu bisa memberi orientasi dan pedoman arah. Pertanyaan seperti itu tidak akan terjawab pada wilayah kognitif logis tetapi bersifat estetis dan terkadang mistis, artinya sering tak terbahasakan oleh bahasa biasa. Justru pada entry poin itu seni mewadahi sejumlah pertanyaan besar dan mendasar umat manusia. Seni memberi intuisi akan the way, dan bukan sekadar the street atau bahkan sekadar the pavement. Seni itu adalah jalan, adalah halakhah, adalah syariah.
Pertama, dalam seni, masa lalu bukan sekedar angka tahun menurut hitungan sejarah (kronologis). Seni merekam sejarah sehingga di sana kita berasal bukan dari ketiadaan. Seni membentuk jaringan dan hubungan historis. Hal itu tampak misalnya dalam gerakan renaisan dan Jerman klasik yang merupakan gerakan yang mencoba melihat nilai klasik di dan dari masa lalu. Tetapi gerakan itu bukan sekedar aktualisasi pada masa kini sesuatu yang antik atau sekedar nostalgia belaka. Arti penting gerakan itu justru terletak dalam pengakuan bahwa di sana tersimpan nilai keabadian. Memang dalam karya seni selalu ada totalitas dan infinitas. Kita sadar kalau religiositas itu berangkat dari masa lalu; ia dimulai sebagai sesuatu yang given. Maka menengok ke belakang (arti asli retreat, retrospeksi) selalu berguna untuk orientasi ke depan. Hal itu berfungsi seperti kaca spion bagi pengendara mobil atau motor: berguna untuk melihat ke belakang, serentak juga diperoleh intuisi akan orientasi ke depan. Memang seni masa lalu selalu merupakan warisan yang tak ternilai bagi kita. Ketika apresiasi seni dialami dan dihayati sebagai saat mencicipi momen keabadian, maka seni selain mampu menunjuk ke masa lalu, juga mampu menunjuk (mengintuisi) ke masa depan. Dalam arti itu seni mengisyaratkan bahwa hidup itu mempunyai tujuan; bahwa hidup bukan berawal dari ketiadaan yang mengarah ke ketiadaan. Seni bukan hanya memberi arti, tetapi juga memungkinkan ‘aku’ hidup dalam dunia yang serba fana dan terbatas ini. Seni mampu menjawab dan memaknai pertanyaan “siapakah aku?”, suatu pertanyaan yang menunjuk pada kesadaran akan masa kini (kekinian). Tetapi religiositas itu tidak berpusat mutlak pada kekinian; ia tidak sekadar berurusan dengan segi spontanitas atau ekspresi individualitas belaka. Bagaimana pun juga, seni, seperti halnya agama, tidak dapat diredusir pada kekinian. Seni berfungsi menjembatani masa lalu dan masa kini. Seni melampaui kedua-duanya, seraya menunjuk ke masa yang akan datang, ke dalam relung-relung keabadian, sehingga kita pun dapat menerima kebenaran yang ada dalam ucapan berikut ini: “Dalam keindahan kita mencicipi percik-percik keabadian.” Dalam konteks itu, hidup tidak lagi serba pop; hidup tidak lagi dihidupi dan dihayati hanya demi hidup. Tetapi seni bisa menjadi sekadar kitsch; kalau itu yang terjadi, maka hidup juga menjadi pop, murahan, dangkal, sementara dan massal dengan moto instan: this is tommorow, wear out and throw away, dsb. Seperti halnya ada junk food, demikian juga ada junk art dan junk life. Maka di sini hidup bukan lagi semacam fine art. Tetapi harus disadari bahwa hidup, juga seni, memerlukan kualitas objektif atau aktualitas, meski tidak perlu dimutlakkan.
Kedua, dalam seni tidak ada ruang dan peluang bagi pemujaan mitos yang paling menggoda mengenai kemajuan (developmentism). Seni memang memberi orientasi, tetapi tanpa harus dalam bentuk dongeng ‘kemajuan’ teknik yang eksploratif. Seni itu memberi harapan dan memberi makna. Tetapi manusia bisa buta dan tuli pada keindahan; ia bisa dihinggapi rasa ketidak-tertarikan pada suatu yang luhur dan mulia seperti yang terdapat dalam seni. Di sini hidup pun hanya terfokus pada kenikmatan dan nafsu, kedudukan dan kesombongan, kekuasaan, uang dan sex. Semuanya ini merupakan sikap yang menggerus sense of wonder; padahal cita-rasa yang terakhir ini merupakan cikal bakal religiositas seseorang.
Ketiga, di tengah realitas peradaban yang serba pluralistik ini kita membutuhkan semaca perekat. Kita membutuhkan prinsip atau spirit yang paling arif dalam mendekati dan memahami realitas. Dalam hal ini dapatkah estetika menjadi way of living dan atau way of seeing dalam konteks etis? Secara ontologis, keindahan diyakini sebagai ultimate reality. Dalam dunia yang serba pluralistik ini konsep either-or mungkin sudah tidak laku untuk dijadikan sebagai kaca mata dalam mengamati dan memahami realitas. Konsep itu hanya mungkin ada pada etika dan logika; tetapi ia tidak ada dalam wilayah kamus estetika. Estetika ditakdirkan memiliki ‘way of thinking’ both-and. Keempat, bila humanitas terancam, dapatkah seni berperan untuk menyelamatkannya? Menurut F. Dostoevsky, beauty will save the world.[9] Mengapa? Karena seni memiliki fungsi rekonsiliasi dengan hidup. Seni membimbing kita dalam apresiasi hidup yang dirasa absurd dan kehilangan makna. Seni merupakan suatu re-ligio; suatu re-koneksi; dalam artian ini, seni berarti “menghubungkan kembali” atau “mengumpul kembali dengan kehidupan.” Dalam hal ini seniman-seniman mestinya menjadi orang-orang yang ditakdirkan memiliki pikir dan rasa serta intuisi di atas manusia biasa. Mestinya mereka bisa memberi revelasi pada setiap karyanya.
Kelima, tetapi apakah seni sekarang ini tidak lagi berperkara pada yang universal, sehingga tidak lagi dihargai sebagai ‘agama’, dalam arti sebagai ‘ke-khusuk-masyuk-asyik-an’ (absorption) pada dunia ilahi, suatu nilai yang merupakan puncak dan tujuan dari hidup manusia? Kini seni pun menjadi ekspresi keterasingan manusia. Seni menjadi ekspresi diri yang terisolasi dalam dunia. Seni menjadi eskpresi kesia-siaan atau absurditas hidup manusia di dunia. Dalam hal ini seni dilihat tidak lagi sebagai yang melawan hal-hal yang panteisitik, tetapi melawan hal-hal yang berlatar belakang nihilistik. Memang harus digaris-bawahi bahwa seni tidak mesti menjadi agama. Tetapi toh seni bisa menjadi terbuka dan menunjukkan jalan pada agama, pada yang spiritual, pada yang transenden, yang ilahi. Senilah yang memungkinkan orang dapat menemukan kembali makna, meraih kembali esensi hidup beragama itu sendiri. Seni memungkinkan manusia semakin mendekatkan diri pada yang bernilai dan menukik ke kedalaman makna hidup itu sendiri. Itu semua karena seni selalu mengungkapkan apa yang tidak kelihatan dengan sesuatu yang kelihatan, suatu yang bisa terdengar dan dapat diindrai.
Keenam, seni membantu ekspresi dan eksperiensi diri, karena seni adalah rancang-bangun (design) yang dapat membantu manusia untuk memahami secara afektif bukan dengan nafsu dominasi (will to power). Seperti dalam bermain, kita butuh design, pola, patrun untuk menangkap realitas adiluhung. Seni itu selalu sakral karena ada pada wilayah yang melampaui kebanalan. Inilah dimensi estetis dari seni. Ketujuh, seni pun membantu memulihkan dan menanamkan kembali nilai-nilai yang tercerabut dari akar kultur, mengembalikan pada kepastian yang mendasar, memberi orientasi dan memberikan basic trust. Dalam arti itu seni merupakan tandingan nihilisme. Suguhan seni yang representasionalis ataupun non-representasionalis, mengandaikan way of seeing yang membuka pada dimensi yang lain. Karena itu, seni selalu memikat kita secara tak bersyarat. Ketujuh, kita mengamati fakta adanya tegangan antara pleasure principle dan reality principle, antara self dan dunia objektif, antara perasaan dan pikiran; antara yang bersifat individual dan komunitas. Dalam hal ini, seni dapat menengahi dan mengatasi oposisi dan tegangan eksistensial tadi. Seni bisa menyelamatkan manusia. Dalam arti inilah seni dapat ‘menggantikan’ agama (walau ungkapan ini terlalu berlebihan). Atau setidaknya seni bisa didekatkan dengan agama. Seperti L.Tolstoy yang meyakini bahwa seni sejati harus mampu membantu mempersatukan manusia ke dalam satu persaudaraan universal. Dalam hal ini Tolstoy tidak menganggap karya seni hanya melulu diperuntukkan bagi penikmatan keindahan belaka. Fungsi karya seni tentu saja melampaui sekadar hal itu.
Saya ulangi pertanyaan pokok tulisan ini: Manakah kontribusi estetika atas masalah etik? Secara spontan kita dapat menjawab bahwa estetika dapat menyumbang pada soal etika kalau orang memiliki way of thinking dan way of acting yang berdasar pada apresiasi estetis. Apabila hal ini terjadi maka akan ada harapan bakal terciptanya polis dan ethos yang baik. Bila orang hanya memandang tubuhnya, dan hidupnya hanya objek nafsu, maka jelas orang lainpun akan ditempatkan sebagai objek. Orang akan dibendakan (reifikasi); orang diperosotkan dari Du menjadi Ding, meminjam M.Buber. Peradaban yang melihat sesama dengan kacamata pragmatik-utilitaristik akan berkata: “akan saya apakan orang ini?” Dalam hal ini manusia hanya menjadi obyek; manusia tidak lagi dilihat dalam tingkat yang lebih mendalam, pada tataran misteri human beauty-nya. Memang keindahan itu harus dipersepsi dari dalam. Metode kerja dan investigasi ilmu tidak mampu mengamati keindahan bila dilihat dari luar. Menurut Scheler dan Buber, estetikalah yang memungkinkan orang berjumpa dengan human Thou. Maka kita perlu menyempurnakan ‘mata’ agar dapat memandang realitas yang maha besar dan sekaligus juga realitas yang maha kecil. Untuk dapat mengagumi realtias kita membutuhkan kerendahan hati; we have to sit at the foot of a dandelion, agar dapat menikmati misteri kehadiran keindahan. Hati kita akan terbakar dan berkobar-kobar oleh cinta dan kekaguman, manakala kita memandang serangga, bunga, bintang dan gugusan galaksi dengan rendah hati. Memang hal itu tergantung pada tingkat sensitivitas, receptivitas dan pengalaman masing-masing orang (subjek pengalaman).
Keindahan dan kebahagiaan itu saling berhubungan. Plato menjelaskan bahwa term indah itu menunjuk pada apa saja yang mendorong kita untuk mengagumi dan merindukannya. Jadi, keindahan itu merupakan objek cinta itu sendiri. Secara tidak langsung paham ini ada hubungannya dengan paham moral, di mana tindakan dan perbuatan itu menjadi amat terpuji, mengagumkan dan patut ditiru. Seperti juga Aristoteles mengakui bahwa tindakan-tindakan luhur dan mulia itu dilakukan demi keindahan. Atau seperti kata Mother Teresa ketika menjawab pertanyaan orang tentang apa alasannya dia mencurahkan hidupnya, menghabiskan waktunya hanya untuk mengurusi orang yang sudah sekarat di selokan. Dia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena tindakan ini sesuatu yang indah bagi Tuhan.

Nilai Pengalaman Estetik: Berguru Pada Beberapa Filsuf
Untuk memperdalam tinjauan akan insight positif estetika, kita berguru pada beberapa filsuf yang dalam aktifitas filosofisnya juga memikirkan kontribusi estetika. Mereka ialah Friedrich Schiller, Hegel, Collingwood dan G.Santayana, Kant.
Pertama, kita ingin menimba sejumput pemikiran Friedrich Schiller (1759-1805). Pada suatu saat dia mengatakan: Beauty is a symbol of morality, art + beauty may be conducive to moral life. Ucapan ini keluar ketika Schiller menggambarkan situasi Eropa abad ke-18 yang barbar, egoistik dan materialistik, Eropa yang dihuni oleh orang-orang yang hidupnya tak bahagia, terpecah, bertentangan satu sama lain, bahkan termasuk dengan diri sendiri. Ada keterpecahan antara feeling and thought. Manusia telah kehilangan miliknya yang paling berharga yakni kebebasan. Katanya lebih lanjut: “It is only through beauty that man makes his way to freedom, and fine art will be the instrument for the moral and political education of man.” Dengan kata lain, menurut Schiller, kepribadian dan masyarakat yang baik amat tergantung pada seni, pada keindahan. Schiller yakin bahwa tindakan moral baik itu dapat dibentuk oleh estetika. Etika mensyaratkan estetika secara paedagogi-kateketik. Keindahan adalah pemenuhan humanitas manusia. Selain itu perkembangan manusia amat ditentukan oleh pengalaman estetik secara personal. Secara komunal/kemasyarakatan pun Schiller meyakini seni dapat menciptakan masyarakat yang humanum (madani). Struktur dasar seni menjadi prototipe pribadi secara singular dan secara komunal. Karena, sekurang-kurangnya menurut Beardsly, pengalaman estetik itu mencairkan ketegangan dan mendorong harmoni internal manusia. Selanjutnya pengalaman estetik itu juga memperhalus pengamatan seseorang, mempertajam imaginasi dan memupuk rasa antar manusia untuk dapat saling memahami dan menaruh simpati dan berempati. Oleh karena pengalaman estetik ada pada wilayah dalam, maka estetik itu bisa mempertajam intuisi dan melihat hidup lebih ludic atau playful. Dalam konteks inilah kita dapat memahami pandangan Sovile dan O Hear; keduanya percaya bahwa seni itu membuat orang tidak beku dan kaku dalam memahami dunia; keduanya percaya bahwa seni dapat membentuk manusia yang lebih afektif ketika berhubungan dengan sesamanya. Jadi, seni membantu kita merasakan perasaan, pengalaman orang lain hingga ke tingkat subtil. Seni adalah endapan pengalaman empatik manusia. Bahkan ikatan yang kuat dalam suatu kultur pun dapat terjadi karena manusia pendukung kultur itu memiliki pengalaman estetik yang sama. Dalam konteks pengalaman itu, orang yang egoistik dapat menjadi lebih altruistik karena pengalaman estetis mampu memberi daya penghalusan budi. Jadi, singkatnya pengalaman estetis itu dapat membantu seseorang menjadi bermoral baik secara individual maupun secara kolektif.
Kedua, kita juga dapat menimba sesuatu ilham (insight) dari Hegel. Dia mengatakan bahwa estetika adalah sebentuk pengetahuan. Sebuah karya seni yang berhasil bisa disebut sebuah mikrokosmos yang dapat merefleksikan atau membangkitkan suatu konteks sosial tertentu. Sebuah karya seni yang bermutu bisa memantulkan realitas sosial; artinya bisa mencakupkan intensi-intensi, kehidupan etis, kebaikan dan kejahatan. Seni itu mempunyai makna manusiawi karena dia berfungsi sebagai “wadah” yang menyimpan (merekam) kenangan-kenangan dan pengalaman anak manusia. Dalam arti itu, dapat dikatakan juga bahwa seni itu berdimensi anamnesis; seni tidak hanya mempunyai dimensi mimesis belaka. Estetika Hegel menekankan content dan makna sebuah karya seni; content dan makna itulah yang paling kongkrit dari estetika dan juga merupakan ide yang teraktualisasi secara penuh. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa karya seni dan keindahan itu memberikan akses yang paling mendalam kepada Yang Ilahi. Dalam arti itulah dapat juga dikatakan bahwa realitas sejati dapat kita saksikan dan kita alami dalam keindahan. Itulah sebabnya Hegel menegaskan bahwa tindakan tertinggi dari akal yang mencakup seluruh ide-ide adalah tindakan estetik. Dalam arti itu dapat juga dikatakanbahwa verum dan bonum hanya menjadi “saudari-saudari” di dalam pulchrum. Itulah sebabnya dikatakan bahwa filsafat hendaknya menjadi puitis dan puisi sebaliknya menjadi filosofis. Seni itu superior atas kodrat (alam) sebagai wahana bagi yang ilahi karena lewat seni Roh Absolut atau Ide yang merupakan isi semesta ini hadir dalam kesadaran diri. Dalam artian ini, Yang Ilahi itu memang tidak transenden karena pada hakekatnya, menurut Hegel, yang imanen absolut itu muncul pada kesadaran diri yang diciptakan. Nah, seni-lah yang paling efektif melahirkan yang imanen absolut dan atau transenden itu. Dalam bahasa agama itu adalah Allah. Estetika dan etika Hegel adalah cabang metafisika. Dalam konteks itu yang indah pada hakekatnya merupakan suatu appearance, yaitu penampakan dari kebenaran ultimate reality. Estetika yang bersifat ideal adalah suatu ide dalam wujud yang sensible. Mengapa dikatakan demikian? Karena di dalam keindahan itu sendiri terdapat harmoni yang tersusun rapi atau kesatuan dalam keanekaan. Dan hal tersebut tidak lain merupakan prinsip-prinsip dari keindahan itu sendiri.
Ketiga, kita juga menimba ilham dari dua pemikir sbb: Collingwood dan Santayana. Keduanya melihat bahwa seni itu lebih tinggi dari agama dalam artian bentuk yang sejati dan matang. Seni tidak memaksa dan tidak menuntut, apalagi mendominasi manusia. Agama memang mengarahkan manusia pada kebenaran sejati. Bahkan dikatakan bahwa agama merupakan prototipe ilmu, sejarah dan filsafat. G. Santayana mengatakan bahwa hal yang lebih penting ialah dapat merasakan keindahan itu ketimbang pemahaman bagaimana kita sampai pada perasaan itu sambil menguliknya secara filosofis atau teoretis. Dia tidak meyakini kalau keindahan itu adalah suatu manifestasi Allah pada pancaindera. Namun dia menyakini bahwa agama, filsafat dan seni itu merupakan ‘trinitas’ yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mungkin kita dapat menyepadankan Agama dengan Bonum, Filsafat dengan Verum dan Seni dengan Pulchrum. Ketiganya (BVP) adalah atribut ilahi yang bersifat transenden dan perenial.
Keempat, kita juga dapat menimba ilham dari Kant. Dia yakin bahwa seni dan agama ada hubungannya terutama menyangkut wilayah sublim: Bahwa yang sublim itu (created, uncreated art) atau sejauh seni merefleksikan yang alami, menggambarkan, menyarankan sikap religius. Pengalaman akan yang sublim mampu mengantar dan menyulut pengalaman religius seseorang yang pada gilirannya menyiapkan jalan ke realitas ilahi. Yang sublim itu menjadi simbol transendensi. Dalam refleksi Kantian pengalaman itu tidak mungkin dibuat oleh akalbudi dan moral. Malah justifikasi kebenaran akal dan moral itu dilakukan oleh pengalaman estetik, pengalaman akan yang sublim (yang indah, pulchrum) adalah simbol dari moral yang baik. Kant memilah dunia hidup manusia menjadi dua: pengalaman rohani dan supersensible, nomenal. Dan pengalaman estetik ada pada wilayah fenomenal. Aesthetic experience ini menjembatani wilayah rasional dan moral. Tindakan moral itu menjadi dapat dipertanggungjawabkan. Pengabsahannya itu antara lain karena pengalaman estetik.

Primas Estetika
Sebagai bagian utuh dari upaya kita memahami estetika, kita juga melihat faktor-faktor yang menjadi unsur fundamental dari estetika itu. Jadi, di sini kita mau melihat apa yang disebut primas estetika. Sebagai tahap awal kita mulai dengan etimologi. Salah satu poin penting dari primas estetika itu dapat ditelusuri dari etimologi kata “keindahan” dalam bahasa Yunani. Keindahan (indah), dalam bahasa Yunani berarti to kalon. Kata ini berasal dari kata kerja kaleo, yang artinya “memanggil” atau “memberi isyarat.” Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa yang indah itu, berinisiatif terlebih dahulu, karena yang indah itu selalu memanggil, merayu-rayu, membujuk dan menyapa kita. Keindahan tampil sebagai sebentuk persuasi. Keindahan mensyaratkan daya tarik (attractiveness). Agar bisa mencapai prestasi (achievement), maka diperlukan daya tarik tertentu untuk mengusahakannya. Saya bisa membuat apa saja, karena segala sesuatu mempunyai daya tarik bagiku. Daya tarik itu menentukan achievement. Keindahan adalah prasyarat untuk segala hasil konkrit manusia. Dalam keindahan selalu ada unsur daya tarik; demikian pun sebaliknya. Daya tarik menentukan prestasi.[10] Saya bisa main gitar, saya bisa main pingpong, saya bisa menanam jagung, saya bisa mengajar, karena bidang-bidang itu menarik bagi saya; itulah achievement saya, karena saya digerakkan oleh keindahan, oleh daya tarik, oleh attractiveness. Karena itu, keindahan adalah pusat motivasi manusia, pusat tindakan manusia, dan juga keputusan manusia, karena dalam beauty ada attractiveness. Kita tidak pernah melakukan sesuatu tanpa didasari oleh suatu alasan karena daya tarik sesuatu yang dianggap baik. Hidup tanpa keindahan akan tak bergairah, kering dan tidak akan merasa lengkap sebagai manusia. Kita tidak bisa hidup tanpa keindahan.[11]
Keindahan, kedamaian, dan kebahagaian serta cinta, merupakan kata-kata yang menunjuk makna pengalaman yang sama. Mengetahui, mencintai dan mengalami kebenaran kesatuan, kebaikan dan keindahan itu membahagiakan. Cinta itu selalu indah. Plato mengatakan bahwa keindahan merupakan suatu kualitas yang membuat sesuatu atau seseorang itu menjadi objek cinta. Sedangkan menurut Agustinus, hanya keindahan yang dapat dicinta. Kita tidak dapat membantu mencinta apa yang indah. Karena itu Thomas Aquinas mendefinisi keindahan itu sbb: pulchrum est quod visum placet. Indah berarti menyenangkan untuk dilihat. Karena itu, cinta sejati tampak dalam kontemplasi. Atau dalam kata-kata John Berger: seeing comes before words. The child looks and recognizes before it can speak.[12] Seeing is believing. Dalam artian itu, dapat dikatakan bahwa keindahan adalah mode of being atau mode of presence yang ilahi (transenden). Dalam bahasa P.Tillich, keindahan adalah ground of Being. Keindahan adalah transendental property of being. Kalau keindahan itu transendental maka mestinya berkualitas metafisis, objektifitasnya tidak berubah dan universal. Kriteria seperti ens, unum, res, aliquid (sesuatu), bonum, verum, pulchrum menghendaki kekonkritan, kejelasan, kualitas kepastian, objektifitas dan dignitas. Bila disebut objektif tentu ada ukuran, jumlah dan bobot. Atau menurut Agustinus, dia memiliki dimensi kualitas (modus), forma dan ordo. Menurut dia segala sesuatu harus diukur berdasarkan kerangka tersebut. Maka dalam mendefinisikan keindahan atau kebaikan juga kebenaran selalu diukur berdasarkan parameter tersebut.
Dari Mohammad Iqbal (1877-1938, Filsuf Islam dari Pakistan yang belajar di Universitas Cambridge dan Muenchen), kita bisa mempelajari segi lain dari primas estetika. Menurut dia, cinta merupakan primas estetika, primas pulchrum. Dia juga mengatakan bahwa The Ultimate Reality tampak sebagai keindahan abadi yang tercermin pada alam semesta. Keindahan adalah ‘Wajah-Nya’ sendiri. Alam semesta menjadi pantulan keindahan abadi, tetapi tidak dalam artian emanasi ala Neo-platonis. Iqbal mencatat bahwa menurut Mir Sayyid Syarif, ‘penyebab penciptaan ialah manifestasi keindahan, dan penciptaan yang pertama tidak lain ialah cinta. Wujud keindahan dan penciptaan yang pertama ialah Cinta. Wujud keindahan ini dihasilkan oleh cinta kasih semesta’.[13] Iqbal meyakini bahwa Allah adalah keindahan tertinggi (summum pulchrum).[14] Tuhan adalah keindahan. Keindahan menciptakan cinta, dan vice versa.[15] Keindahan dapat hilang, tetapi cinta itu abadi. Keindahan tidak dapat memperlihatkan rahasia kehidupan, sedangkan cinta dapat. Keindahan adalah pencipta dan tujuan cinta. Cinta adalah segala-galanya, lautan, kapal layar dan pelabuhannya. Teori keindahan Iqbal adalah teori ekspresi, karena tenaga hidup itu sendirilah yang mengekpresikan diri dalam perwujudan keindahan.[16] Pemahaman itu tidak berbeda jauh dari pemahaman yang ada dan hidup dalam tradisi Kristiani itu sendiri. Di sana dikatakan Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16) dan keindahan adalah bentuk revelasinya.
Memang keindahan berhubungan erat dengan yang ilahi, dengan yang misteri. Keindahan menjadi bahasa komunikasi antara yang manusiawi dan yang ilahi. Hal-hal yang semakin mendekat dengan cita-cita paling luhur (ideal), akan semakin indah. Di satu pihak, ada keindahan ontologis; di pihaklain ada keindahan yang diciptakan (dibuat) manusia. Keindahan yang terakhir ini adalah pantulan dari keindahan yang diberikan alam. Jadi created beauty itu cuma pantulan, cerminan dari uncreated Beauty. Maka dikatakan bahwa God then is the superlatively excellent exemplar of all finite beings; finite Beings are copies of God. Keindahan partikular adalah jejak langkah di atas pasir waktu Sang Pencipta. Karya seni manusia yang indah hanyalah cermin dari Keindahan ilahi, bukan hanya dari beautiful-nya tetapi dari keindahan itu sendiri. Allah adalah The Beauty itself. Dia itu splendor very, the splendor ordinis. Dalam konteks itu, Thomas Aquinas bisa mengatakan bahwa The beauty of the creature is nothing else than Divine beauty shared by things. Yang indah dan keindahan (pulchrum dan pulchritudo) dibedakan berdasarkan sbb: yang satu ialah 'partisipasi,' dan yang lain ialah 'partisipan'. Sesuatu disebut indah karena berpartisipasi pada pulchritudo, pada keindahan, partisipasi pada 'penyebab utama' yang membuat segalanya indah. Keindahan partikular hanyalah kemiripan dari keindahan ilahi dalam mana yang partikular itu berpartisipasi pada keindahan ilahi. Allah itu ipsum pulchrum (pulchritudo). Segala hal yang indah adalah sebutan bagi Yang Indah. Dan itu tidak mungkin berubah: sekarang indah dan besok tidak, atau sebagian indah sebagian tidak. Keindahan tidak bisa dikatakan ‘ini kurang lebih indah’, tetapi selalu indah. Keindahan itu mengkomunikasikan dirinya pada setiap keindahan.[17]
Selanjutnya kita akan melihat Being sebagai salah satu primas dasar estetika, keindahan. Keindahan ontologis itu tidak selalu keindahan estetik, yaitu keindahan yang dapat dipahami (sensible). Ada orang lain melihat keindahan dan ada yang tidak. Unsur subyektifitas dalam memandang keindahan estetik memegang peranan. Namun manusia memiliki kemampuan untuk mempersepsi keindahan meskipun ia tidak dapat melihat bentuk-bentuk sensible-nya.
Pemahaman seperti itu ada juga dalam pemikiran K.Gibran. Dalam buku, Sayap-Sayap Pemikiran Kahlil Gibran,[18] (Bab ‘Filsafat Estetika Gibran’), Dr.Joseph Peter Ghangassian mengatakan bahwa keindahan merupakan bahasa abadi dan universal untuk seluruh manusia. Keindahan adalah harmoni antara kesenangan dan kesedihan yang berawal dalam kesucian kita yang paling suci dan berakhir di luar wilayah imaginasi. Secara metafisik (ala skolastik), keindahan merupakan dilema transendental manusia. ‘Ketika engkau mencapai jantung kehidupan, engkau akan menemukan keindahan dalam segala hal, bahkan di mata orang yang buta akan keindahan’.[19] Keindahan adalah kebenaran. Atau setidaknya keindahan membimbing pengamat pada kebenaran dan kebijaksanaan. Peter Ghougassian menambahkan bahwa ‘jika seseorang menginginkan bukti eksistensi Allah, hendaknya dia melihat keindahan’. Lalu katanya lagi, ‘jika dia masih ragu akan kebenaran Allah, hendaknya dia menjadikan keindahan sebagai “agama” barunya. Menyembah keindahan berarti menyembah Allah’.[20] Karena itu keindahan bukan hanya bukti yang kuat akan eksistensi Allah, tetapi juga bisa menjadi pengganti bagi mereka yang tidak percaya akan eksistensi Allah.
Dalam hubungan dan konteks inilah kita dapat memahami apa butir-butir pemikiran Balthasar dan Scheling. Bagi keduanya, iman dan wahyu itu terjadi dalam emosi dan insight. Style iman dan wahyu ilahi itu menyerupai estetika. Bukan iman yang irasional atau hasil dari analisa akali yang memungkinkan titik temu, tetapi imaginasi yang memberi ruang untuk menerima (receptive) dan melakukan penafsiran (interpretif).[21] Pola estetis itu intuitif. Melihat adalah fungsi yang paling utama, langsung dan melahirkan pengalaman emosional. Oleh karena itu, Religious experience selalu identik dengan aesthetic experience. 30). Memang pengalaman estetis-mistis dapat membantu orang menuju pengalaman keabadian. Origines, Pseudo-Dionysius, Meister Eichart juga Schelling dan Heidegger meyakininya dengan sedikit perbedaan dimensi religius atau sekedar spiritual yang tidak ada hubungannya dengan keagamaan. Mereka beranggapan bahwa keterbatasan manusia itu bukanlah sesuatu yang tanpa harapan, apa lagi suatu hukuman, tetapi justru suatu pewahyuan. Bahkan nothingness yang selama ini menandai dunia ini memiliki martabat, realitas dan kemuliaannya, meskipun gelap.

Beberapa Pemahaman Lebih Jauh
Dalam konteks sejarah filsafat atau teologi Abad Pertengahan kita menemukan sosok Pseudo-Dionysius. Umumnya dia ditempatkan sebagai teolog yang menaruh minat dan perhatian besar pada estetika, terutama dalam risalatnya, De Nominibus Divinis. Estetika sebagai cabang filsafat, usianya masih relatif muda. Sebelum Leibnitz, estetika bukan merupakan cabang filsafat. Secara etimologis mulanya estetika menunjuk pada filsafat ilmu sensasi, yang dikaitkan dengan etimologi, aisthanomai (sentire): jadi, yang disinggung pertama-tama ialah perkara merasa secara indrawi. Baumgarten-lah orang pertama yang menerapkan estetika sebagai ilmu tentang keindahan atau tentang yang indah. Ilmu tentang keindahan itu, pada waktu itu, berarti ilmu tentang panca indra dan emosi (perasaan). Estetika diartikan sebagai ilmu yang berperkara mengenai ‘apa’ yang menggerakkan hati manusia.
Kita bisa mengajukan pertanyaan yang menyangkut bangunan pengetahuan yang berdasarkan estetika. Estetika dapat dipakai sebagai thought form untuk membangun pengetahuan. Hal itu mungkin karena yang menggetarkan hati manusia itu keindahan atau yang indah, seperti halnya Baumgarten yang menempatkan estetika sebagai science of sensory cognition. Kemungkinan adanya pengetahuan seperti itu dapat dilihat dalam beberapa contoh kasus berikut ini. Misalnya, kasus pengalaman orang yang bisa menangis menyaksikan apa yang ada di Gua Altamira; atau pengalaman seorang muslim yang memandang Pieta di St Pietro, lalu tiba-tiba merasa haru dan tidak berdaya. Atau para santo seperti Agustinus, Fransiskus, dan Ignatius yang menangis dalam keadaan trans atau ekstase. Atau seperti (meski ini dalam film) pernyataan Jean d’Arc, bahwa yang dia pandang itu adalah Yang Indah, ketika dia tidak kuasa memberi nama. Atau seperti kata Thomas Becket: Beauty is one of the rare things that do not lead to doubt God. Apakah yang menggerakan hati manusia itu? Mengapa manusia begitu tergerak? Apakah ini hanya gejala psikologis belaka? Ataukah pengalaman itu menyangkut komunikasi dengan yang ilahi? Tentu tidak. Sebab keindahan itu menunjuk jejak menuju yang sakral, menuju sang Pulchrum sendiri yang memancarkan keindahannya dalam realitas sehari-hari. Atas dasar ini kita dapat mengatakan bahwa aesthetic experience itu sama dengan religious experience. Pengalaman keindahan itu selalu menyangkut yang sakral. Disinilah pengalaman religius menjadi titik berangkat epistemologisnya. Yang Ilahi atau Yang Misteri itu dikenal, diketahui atau dicintai. Sikap dasar ini mungkin saja tidak bisa ‘atau/atau’, namun mesti both/and.
Dalam konteks inilah kita dapat memahami ucapan Gadamer: bahwa seni (art) adalah saat untuk mengalami, mencicipi keabadian. A taste of eternity. Tentu pernyataan ini memunculkan pertanyaan refleksi lanjutan sbb: Apakah peristiwa artistik yang menciptakan pengalaman estetis dapat menjadi saat untuk mengalami atau mencicipi kairos dalam kronos, keilahian dalam keinsanian, keabadian dalam kesementaraan, transendensi dalam imanensi? Untuk dapat memahami dan menjawab pertanyaan ini mungkin ada baiknya kita melihat dulu wasana tentang atribut-atribut berikut ini.
Ternyata atribut-atribut lebih dari sekadar pernyataan mengenai sifat; dia berfungsi komunikatif; dia dapat mengkomunikasikan sesuatu![22] Misalnya, 1) atribut Kebenaran atau verum (veritas, truth). Kebenaran itu adalah atribut Being atau Allah. Seperti atribut-atribut bagi suatu existent, maka kebenaran itu menunjuk pada kebenaran yang paling sejati, menunjuk pada sifat transendental dari ada. Maka dapat dikatakan bahwa Being mengkomunikasikan dirinya lewat Kebenaran: bahwa ada kebenaran. Atau 2) atribut Kebaikan atau bonum (bonitas, good). Sehubungan dengan ini kita mengutip saja apa kata Platonis: God is the sun of all the ideas. Kebaikan adalah prinsip awal dan prinsip akhir dari seluruh ciptaan. Semuanya baik adanya (Kej 1:31), bahwa yang baik itu memang ada! Hal itu erat terkait dengan gejala hubungan sebab-akibat. Kebaikan akan menyebabkan kebaikan. Being tidak bisa mengkomuni-kasikan dirinya bila tidak ada kebaikan. Kebaikan absolut dengan sendirinya akan mengungkapkan dirinya dengan kebaikan itu sendiri. Atau 3) atribut Keindahan, atau pulchrum (beauty). Bagi orang Yunani kebaikan dan keindahan itu tidak bisa dipisahkan, setali tiga uang. Kebaikan itu selalu indah; harmoni, kenyamanan, ketentraman dsb. Itu padan dan cocok dengan norma moral. Sebagaimana ditegaskan Herakletos: harmoni dari keberadaan itu adalah musik yang indah. Pythagoras mengidentikkan being dengan jumlah; harmoni alam semesta. Bandingkan konsep ‘kesatuan dalam kebhinekaan’, vice versa. Plato dalam Convitus-nya menegaskan bahwa dialektika yang menanjak dari keindahan yang relatif serta keindahan yang sekedar berpartisipasi pada keindahan yang sesungguhnya (participated beauty) akan mencapai keindahan dalam diri (in self) dan oleh dirinya sendiri (in itself) atau oleh esensinya (by essence).
Estetika tidak berhenti pada dirinya sendiri. Dia terarah dan mengarah kepada sesuatu yang melampaui dirinya sendiri, yaitu terarah kepada yang transenden, kepada yang ilahi. Seakan-akan estetika itu menjadi semacam tiang-tiang tajam menara katedral gothik yang menerobos angkasa menuju istana dia yang transenden. Ide ini pun bukan merupakan suatu yang asing dalam pemikiran filosofis bebarapa filsuf. Sebut saja misalnya RM Rilke, M.Heidegger dan P.Tillich. Ketiganya telah memperkarakan the mode of presence yang ilahi dalam seni. Tetapi tidak hanya itu saja: Seni pun menjadi jembatan penghubung antara empirisme dan idealisme, antara subjektifisme dan objektifisme. Suatu permasalahan epistemologis yang tak pernah tuntas. The act of faith berakhir bukan dalam statemen namun dalam realitas. Kita membentuk statemen (silogisme) untuk mengetahui hal-hal/realitas oleh statemen-statemen tersebut.
Atau orang seperti Lonergan. Menurut dia, filsafat kebaikan, kebenaran dan keindahan selalu transendental sifatnya malah selalu bersifat sakral. Being dengan yang transenden itu bisa dipakai secara timbal balik. Artinya dua kata itu menunjuk satu hal yang sama. The good, the true, the beautiful itu eksis dan ‘yang eksis’ itu adalah the good, the true, the beautiful. Keindahan itu eksis sebagai yang indah. Keindahan itu bukan suatu istilah abstrak. Pulchritudo eksis sebagai pulchrum. Keindahan melingkupi (komprehensif) dan mencakup segalanya. Artinya, kalau aku mengatakan tentang keindahan berarti aku mengatakan keindahan itu sendiri yang bukan menunjuk pada aspek-aspek tertentu. Pulchrum itu suatu ‘arti’ (notion yang secara absolut bermakna universal, selalu menunjuk pada segala hal yang eksis dan konkrit). Disebut konkrit karena di balik kata-kata indah tersebut yang ada bukanlah sesuatu yang abstrak. 38). Dalam filsafat Yunani (Plato, Aristoteles), keindahan itu sangat ditekankan pada dimensi objektifnya, pada unsur proporsional dan harmoni. Perhatikan saja seni plastis dan arsitekturalnya. Keindahan dalam pemikiran Platonisme dan Neo Platonisme adalah atribut transcendental Being.

Beralih ke Paradigma Estetika
Estetika sebagai filsafat seni, secara khusus berperkara dengan filsafat keindahan. Filsafat keindahan adalah bagian dari filsafat seni. Estetika ‘memakai’ struktur dasar dan kategori estetika sebagai analogi untuk memahami dan mendekati realitas. Estetika menempatkan sikap dasar yang semestinya dipakai manusia dalam mendekati realitas ilahi. Persisnya dapat dikatakan bahwa hidup diterangkan oleh dan melalui leitmotif of art.[23] Itu yang pertama. Yang kedua, estetika lebih bermakna sebagai sistem. Estetika (harafiah aisthesis = sensasi, pengindraan) menjadi basic thought, satelit atau criterion untuk berteologi. Pengalaman atau pengindraan menjadi titik berangkat iman. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa nilai hidup itu ditentukan oleh aktifitas pengindraan atau pengalaman. Estetika tentu tidak pertama-tama mengurusi soal yang indah-indah, apalagi soal yang bersifat dekoratif dan kosmetis, tetapi lebih berperkara pada kebenaran. Aktifias utamanya ialah menguak kebenaran dengan paradigma estetika. Itulah yang mau diusahakan di sini.
Seperti dalam seni, iman itu adalah perkara melihat (a seeing); iman adalah suatu perceiving atau merasakan keserupaan, serentak perceiving akan jarak dan perbedaan. Pengalaman ini terjadi melalui emosi-emosi dan citra-citra yang membuka menuju ekstase. Pengalaman iman-wahyu seperti pengalaman artistik memberi akses ganda. Pertama, akses ke dalam diri sendiri (self), dan yang lain, akses ke dalam yang kudus. Pengalaman akses ganda ini misalnya tampak atau terasa ketika kita mendengar musik indah, membaca sastra bermutu, memandang arsitektur indah, atau menikmati pemandangan indah. Pada saat-saat itu, psike kita distimulir oleh apa yang kita perhatikan dan emosi kita ditarik menuju ke sesuatu yang lebih (more), oleh created atau uncreatred art. Jadi, seni itu seperti wahyu; juga adalah seperti liturgy of the more. Kehadiran ideal (ideal presence) tumbuh melalui intensitas dari pengalaman estetika mistis (aesthetic-mystical experience). Lalu apa kualitas yang diperoleh dari seni bagi etika? (Suatu pertanyaan yang beberapa kali diajukan dalam bagian sebelumnya).
Pertama, seni memberi ‘makanan’, kekuatan sehari-hari pada dua hal penting dalam memahami realitas ilahi yakni subjektiftas dan objektifitas. Tindakan estetis itu bersifat produktif. Suatu bentuk karya seni bukanlah objek namun medium. Hubungan partikular seni dengan kognisi dan emosi selalu meletakkan klaim atas yang tak terperantarai (immediacy). Imediasi religius dapat menjadi aspek kesadaran (bukan analisis) dan kesadaran yang matang akan wahyu yang mengundang rahmat yang tiada berwujud (tidak berobjek). Lingkup mediasi sebagaimana ada dalam mistisime secara tradisional dilihat sebagai perkembangan iman, rahmat dan hidup. Ingat bahwa bagi Thomas Aquinas, aktifitas manusia yang tertinggi bukanlah metafisika atau teologi tetapi hidup psikis yang disentuh oleh karisma kebijaksanaan Roh Kudus.[24] Jadi wahyu dan teologi mengikuti pola estetik. Maka goal teologi ialah kontemplasi, yakni keterbukaan pada hidup dan kehadiran.
Kedua, Estetika Teologis memberi tempat pada imaginasi dan intuisi. Ini merupakan daya pembaharu dalam berteologi. Ada korelasi kreatif antar wahyu dan kultur. Realitas tidaklah stagnan. Kreatifitas teologis bukanlah aktifitas bersilat kata-kata, bukan juga sekedar proyeksi makna secara sembarangan. Seperti wahyu, seni (art) membidik yang transenden tetapi direalisasikan dalam realitas imanen (dalam artian historis). Transenden artinya suatu yang mengacu pada segala aspek pikiran yang memberi kontribusi pada aktifitas pemahaman. Seni pada hakekatnya tidaklah teoritis. Seni yang baik, demikian juga teologi, tidak berperan hanya sebagai simbol karena hal ini mudah layu dan mati. Ketiga, dalam seni terdapat pola atau struktur dasar eksistensi hidup kita yakni sedih dan gembira (tragik-komedi, joy mix with tragedy), eros dan thanatos yang menandai hidup kita. Hidup kita, sebagaimana sifat seni, selalu tampak sebagai ‘chiaroscuro’, ‘gia e non ancora,’ gelap-terang, sudah namun belum. Atau meminjam istilah sastrawan Jerman modern, George Steiner (diilhami von Balthasar): hidup kita ditandai eksistensi tegangan Jum’at Agung, yaitu berada di bawah bayang-bayang pedih derita (Salib, Maut, Tode), tetapi sekaligus juga disinari terang harapan kebangkitan Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Dengan kata lain, seni adalah gambaran atau pantulan hidup kita; seni adalah cermin dinamika hidup manusia.

Epilog
Allah eksis melalui atributNya; pulchrum. Tapi pulchrum itu seperti apa? Ia amorph. Dia ada namun kita tidak pernah melihat wujud atau sosokNya? Seperti halnya kita hanya bisa melihat bunga yang indah, alam yang indah. Bunga itu sendiri pernahkah kita melihatnya? Ingat bahwa ada sensible beauty dan inteligible beauty. Keindahan itu secara objektif terdapat pada spesies dan lumen, forma dan splendor, wujud atau sosok dan pancarannya. Keindahan itu butuh sosok; tetapi keindahan itu juhs adalah sosok yang mengungkapkan diri. Maka pertemuan keindahan itu terjadi pada saat memandang dan tersergap (moment of beholding and of being enraptured). Memandang dan tersergap itu tidak saling mendahului tetapi saling menanggapi, saling melengkapi. Kita baru tersergap karena memandang, kita memandang karena tersergap. Struktur itu dapat diterapkan pada iman dan rahmat. Iman memahami bentuk revelasi. Estetika teologis berperkara pada persepsi akan manifestasi diri yang ilahi. Seperti halnya seorang pribadi yang hanya dilihat perbuatannya saja yang baik (bonum, etika) dan tata pikir dan tata wicaranya yang benar (verum), namun tidak diperhatikan unsur kecantikan dan ketampanannya. Jadi, Wajahnya sendiri tidak diperhitungkan, padahal Wajah itu sangat penting. Wajah adalah persona. Dalam hal ini kelihatan bahwa tubuh kurang dihargai, kurang diapresiasi. Hasrat, keinginan, kerinduan dan nostalgia yang paling mendasar bagi manusia ujung-ujungnya bermuara pada tiga hal ini: bonum, verum, pulchrum (BVP). Ini merupakan tripartit yang selalu dicari, dikejar dan menjadi impian setiap manusia. Hari-hari hidup manusia pada hakekatnya merupakan ekspresi dan eksperiensi dari ketiganya. Yang dipuja-puja pada peradaban ini adalah pulchrum. Tripartitus itu adalah fons et culmen (sumber dan puncak) hidup. Dia adalah standard hidup dan energi yang menghidupkan manusia. BVP adalah pusat dan puncak hidup manusia. Dari sana kita berasal dan ke sanalah kita menuju. Di luar tripartitus itu adalah neraka, tempat penderitaan, tempat lembah tangisan, lacrimarum vale, di mana ada ratap-tangis dan kertak gigi (Mat 22:13). Maka asal muasal penderitaan atau permusuhan adalah negasi BVP. Dan permulaan kebahagiaan, awal perdamaian, awal rekonsiliasi, awal gaudium et spes adalah afirmasi BVP.

Bandung, 20 Juni 2003

[1] R. Wagner, The Work of Art in The Future, 1850.
[2] F. Nietzsche, The Gay Science, Vintage Books, New York, 1974, p. 181.
[3] Bandingkan : Fritjof Capra, Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 1999, p.125.
[4] Dalam Collected Poems, NY : Alfred Knops 1954, p.336 : yang dijadikan judul buku R.N. Bellah : Beyond Believe. Persisnya lihat pada halaman 279.
[5] Robert N. Bellah, Beyond Believe, Menemukan Kembali Agama, Paramadina, Jakarta, 2000, p. 314.
[6] Bandingkan : Donald L.Gelpi SJ, The Turn to Experience in Contemporary Theology, Paulist Press, NY 1994. Atau juga : John Navone SJ, Seeking God in Story, The Liturgy Press, Collegeville, 1990.
[7] J. Navone, p.48.
[8] K. Gibran, Sayap-sayap Patah.
[9] Dikutip oleh Aleksandr Solzhenitsyn dalam Art for Man’s Sake; Noble Lecture, The Globe International Corporation, Taiwan University, Taiwan, 1974, p.14.
[10] Lalu di mana tempatnya will? Apakah will muncul kemudian ketika ada attractiveness?
[11] Sehubungan dengan ini mungkin ada baiknya juga ditambahkan sedikit keterangan berikut ini: bahwa efek dari keindahan adalah perasaan menyenangkan. Dalam bahasa Inggris kata delight, punya arti padanan pleasure, enjoyment. Dapat juga diartikan nikmat, menghibur, menggugah hati, mempesonakan, mengagumkan, memukau, menakjubkan, menggetarkan jiwa, dsb. Lawan katanya ialah absurd, memuakkan, atau menyebalkan. Dalam bahasa Jerman, schön (indah) ada hubungannya dengan kata sehen (melihat); jadi schön bermakna melihat yang berharga atau bernilai.
[12] John Berger, Ways of Seeing, Penguin Books, London, 1977. Kita melihat segala sesuatu dengan pengalaman yang penuh dengan pikiran : the inner energy, the hidden origin, the radical form. Bukan hanya warna yang kelihatan, bentuk dan proposisi. We are Initiated into these Mysteries,because we ourselves are Spirit in Nature and because all the Expressive laws of the Macrocosm at work in ourselves.
[13] Lihat Mohamad Iqbal, Metafisika Persia, Mizan Bandung, 1990, p. 93.
[14] Lihat MM Syarif, Iqbal, p. 91.
[15] Lihat p. 98.
[16] Iqbal, p. 110.
[17] Bandingkan : Plato, Agustinus, Pseudo Dyonisius, Thomas Aquinas.
[18] Bandingkan : Kahlil Gibran, Sayap-Sayap Pemikiran Kahlil Gibran, p. 69 ff.
[19] Ibid. p. 100.
[20] Ibid. p. 105.
[21] Baca : Ign Bambang. S, Postmodernisme; Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996, p. 156ff.
[22] Atribut-Atribut ontologis Allah : bandingkan L. Bagus, Metafisika p. 86-118. Komunikasi, pertemuan, perjumpaan atau encounter, sebagaimana kita tahu secara populer bahwa ada kualitas atau gradasi komunikasi (head to head, idea to idea, chic to chic, heart to heart, faith to faith). Ada pertemuan karena ada persamaan, ada arus dan gelombang yang sama. Maka, bila Allah ingin mengkomunikasikan diriNya, Dia meng-ungkapkannya dengan atribut-atributNya itu; antara lain gloria-Nya. Maka komunikasi yang sejajar itu terjadi bila kita juga memiliki gloria. Menangkap kemuliaan-Nya (ontis) kalau kita sudah memiliki noesis. Gloria adalah noesis bagi ontis Allah. Kemuliaan adalah divine beauty.
[23] Op cit, Thomas O'Meara, OP.
[24] Kebijaksanaan [sapientia] itu berisifat intuitif, eksperiential, memahami dan mengetahui sesuatu alam gerak emosional, bersatu langsung dengan diterima dan memikirkannya dengan pertimbangan-pertimbangan analisis. Summa Theologiae II. Q. 45; Timothy McDermott, Summa Theologiae: A Concise Translation, Methuen, London, 1992.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).