Rabu, 26 September 2007

domus dei

DOMUS DEI et ECCLESIAE
Rumah Ibadat Menurut Dokumen


Konsili Vatikan II memang benar-benar “tonggak sejarah” yang memilah jaman. Istilah sebelum-sesudah, pra-post, dulu-sekarang dan yang tidak dianjurkan-yang dianjurkan, menjadi sangat jelas. Demikian bila diterapkan juga pada pemahaman karakteristik arsitektur gedung gereja. Pra Vatikan II mempunyai norma-norma yang berbeda dengan Post Vatikan II. Meski pemilahan itu tidak sangat hitam-putih namun ada nuansa yang membedakan makna, guna dan artinya.
Era Pra Vatikan II bangunan gereja secara populer dan juga formal dipahami sebagai Domus Dei (Rumah Allah). Ensiklik Annus qui (1749), Ensiklik Augustissimam (1840), Surat Quem vos (1894), Motu Proprio Tra le Sollecitudini (1903), Ensiklik Mediator Dei (1947), Radio Message “The restoration of St. Clare’s Church in Naples” (1953). Dokumen-dokumen ini konsisten menyebut gedung gereja sebagai “Rumah Allah”. Sebutan Domus Dei ini menyiratkan bahwa gedung gereja itu bukan hanya mirip atau berasosiasi pada sebuah Bait Allah yang ada dalam Kitab Suci, tetapi memiliki muatan makna dan perlakuan yang sama. Sebagai “sanctuarium”, gereja diyakini sebagai tempat tinggal Yang Mahakudus, tempat hadir dan tampilnya Allah, “tempat-Nya” Allah. Gedung gereja sungguh-sungguh merupakan ruang sakral karena tempat bersemayamnya Allah. Allah ada dan hadir “di sana”, dalam ruang dan gedung tersebut. Oleh karenanya gedung gereja dipahami sebagai “tabut” keselamatan bagi umat Allah. Mediator Dei, menyatakan dengan tegas bahwa gereja-gereja harus menjadi “Rumah Allah”, menjadi tempat untuk mencari, meminta dan menemukan berkat, kebahagiaan dan keselamatan. Secara bentuk arsitekturalpun (sosok luar) sangat dipertahankan sebagai sosok kehadiran yang “imanen-transenden”, yang mengamati dan mengingatkan pada dunia yang fana ini untuk tetap sadar akan kesementaraan. Gedung gereja menjadi “Yang Ilahi” yang mengacungkan jemari-Nya ke langit untuk mengajak kembali ke yang abadi. Dari sisi interiornya pun setting gedung dirancang sebagai Tubuh Kristus tersalib yang merentangkan tangan-Nya. Altar adalah jantung hati atau tubuhnya-Nya, atau tempat tubuh-Nya dihadirkan dan dikurbankan. Pendek kata, dalam dokumen-dokumen tersebut gedung gereja sebagai Domus Dei, amat ditekankan unsur kehadiran dan kesakralan, selain unsur simbolik didahulukan dari pada fungsi, bahkan bentuk dan karakteristik ritus liturgi mengikuti bentuk gedung gereja.
Dalam dokumen Vatikan II dan post konsiliarnya, gedung gereja dimaknai sebagai Domus ecclesiae (rumah Gereja, atau rumah umat beriman). Sacrosactum concilium (1963), Inter Oecumenici (1964), Dedicationis ecclesiae et altaris (1977), Institutio Generalis Missalis Romani (2000), sekedar menyebut beberapa dokumen yang dianggap penting, menggaris bawahi pentingnya umat Allah. Umat menjadi titik berangkat dalam membangun sebuah gereja (rumah ibadat). Seperti halnya spirit pembaharuan liturgi terletak pada kata “partisipasi aktif”, demikian juga norma yang ditekankan dalam membangun rumah ibadat, prinsipnya adalah agar umat dapat berpartisipasi aktif, dan perayaan liturgi dapat dilangsungkan dengan baik. Bentuk arsitektural menjadi sekunder bahkan sangat tidak dianjurkan untuk meniru bentuk-bentuk gereja klasik, dimensi simbolik dan sakralitas bukan yang utama. Fungsi mendahului makna simboliknya.
Dokumen menjelaskan bahwa gedung gereja hanyalah tempat berkumpul umat beriman untuk mendengarkan Sabda Allah, tempat menyuguhkan persembahan serta memuji-Nya. Selain gedung gereja sebagai tempat merayakan misteri kudus terutama sakramen Ekaristi. Ketika upacara-upacara sakramental dirayakan dalam rumah ibadat, pada waktu itulah umat Allah berserta Kristus sebgai kepalanya mengkonfigurasi Tubuh Kristus. Tubuh Kristus adalah “bait Allah” yang hidup dan umat adalah batu-batu yang hidup yang membangun “gedung gereja”. Umat yang berkumpul dan berpartisipasi aktif dalam upacara sakramental itu menjadi sosok yang nyata sebagai gereja (huruf kecil) dan sebagai Gereja (huruf besar). Pada waktu ini Gereja sebagai misteri menjadi nyata dalam bentuk gereja sebagai gedung, dan sebaliknya. Di sinilah Allah disembah dalam roh dan kebenaran. Gedung gereja tidak dipahami sebagai Rumah Allah tetapi sebagai “Rumah Umat Allah” (domus ecclesiae), karena Allah tidak butuh ruang atau rumah, umatlah yang membutuhkannya. Dal hal ini dapat dimengerti mengapa kata Gereja yang menunjuk kumpulan umat beriman memiliki kata yang sama dengan kata gereja untuk bangunan rumah ibadah. Untuk alasan itu pula mengapa rumah ibadat Katolik tidak dapat disamakan dengan bait Allah. Dengan kata lain, gedung gereja lebih mengedepankan fungsi yang mengakomodir aktifitas liturgik. Yang pada gilirannya umat yang berkumpul itu mengkonfigurasi Gereja sebagai misteri.
Dokumen-dokumen pra dan post Vatikan itu memberi gambaran dan mengajarkan tentang bagaimana kita harus memahami sebuah rumah ibadat. Ada perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan. Konsep Domus Dei dianggap tidak memiliki dasar alkitabiah yang kuat atau bertentangan dengan pernyataan Yesus sendiri yang mengklaim dirinyalah Domus Dei. Konsep Domus ecclesiae dipilih sebagai pemahaman yang dapat dipertanggung jawabkan dan sesuai dengan spirit Vatikan II, karena arsitektural dan liturgi itu saling bersenyawa.
Kedua konsep itu tentu tidak lepas dari dampak yang positif atau negatifnya. Konsep domus ecclesiae, menurut pengamatan kami, telah menggerogoti esensi liturgi itu sendiri, yakni “yang misteri”, “yang sakral”, dan “yang transenden”. Permasalahan liturgi sekarang pertama-tama dikarnakan hilangnya yang sakral, upacara tidak khidmat, tidak merasa khusuk, datar dan kering. Salah satu penyebabnya adalah tata ruang liturgi dan bentuk bangunan yang tidak dirancang untuk membantu umat yang beribadat sampai pada pangalaman ‘pertemuan’ dengan yang misteri. Titik berat pada berkumpulnya umat secara komunal, telah melepas jauh unsur-unsur simbolik pada bangunan dan sarana liturgi lainnya. Konsep domus ecclesiae terasa ‘horisontal’ kurang ‘vertikal’, ruang yang dirancang demi keakraban dan menekankan imanensi telah menggeser dimensi keagungan dan keluhuran bangunan.
Pemikiran yang berdasarkan ‘atau/atau’ (either/or) mungkin kurang arif. Dalam merancang bangun gedung atau rumah ibadat itu, bagaimana kalau kita padukan menjadi ‘dan/dan’ (both/and); Domus Dei et Domus ecclesiae? Jelas secara fenomenologis, pengalaman kita menunjukan bahwa kita butuh “ruang kudus” untuk berdoa, berdevosi, bersamadi, bahkan merayakan upacara sakramental dengan bentuk dan suasana bangunan yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari yang sekular. Fungsi liturgis dan partisipasi umat tetap kita indahkan namun serentak menanamkan keyakinan bahwa rumah ibadah adalah tempat dimana kita bertemu dengan Allah yang misteri.


RD. Fabie Sebastian H

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).