Rabu, 26 September 2007

liturgi dan kebermainan

LITURGI SEBAGAI PERMAINAN ILAHI

Banyak orang sekarang terkena sindrom 'alergi' liturgi, jengah beribadah. Mulai dari sekedar perasaan tidak krasan untuk berlama-lama duduk di bangku gereja, kendati ikut bernyanyi dan berdoa; kendati kotbahnya menarik; kendati paduan suaranya membahana dan memukau. Tapi tidak pernah bisa lepas dari perasaan sebagai pemenuhan kewajiban belaka. Malahan ada yang sudah mencapai tingkat yang patologis, mereka benar-benar ogah pergi lagi ke gereja. Lebih seram lagi, nekatnya mereka menyebut gedung gerejanya sendiri sebagai "museum liturgicum". Bangunan tua yang melindungi dan mengawetkan upacara-uacara ritual kuno dan tradisional yang dianggap sebagai kekayaan budaya agama Katolik belaka.
Para liturgos sudah lama tahu keadaan seperti ini. Gerakan-gerakan pembaharuan liturgipun sudah lama diupayakan. Ironisnya sindrom ini semakin kuat meski 'magna-charta' konstitusi liturgi telah dipromulgasikan sebagai upaya untuk menanggulangi penyakit 'alergi' liturgi itu tadi. Namun rasanya masih sia-sia.
Munculah pertanyaan; apakah kaum beriman sekarang ini cukup kapabel (mampu) untuk merayakan Ekaristi? Atau barangkali struktur Perayaan Ekaristi-nyalah yang memang asing dengan kodrat kemanusiaannya? Karena bukan "homo liturgicus"? Dengan kata lain, adalah keliru kalau memaksa manusia untuk dapat terbang, sementara ia sudah kodratnya tak bersayap. Atau seperti memaksakan untuk mengenakan sepatu sementara nomornya tidak pas dan potongannya sudah tidak "fashionable"?
Bila kita melacak sejarah liturgi Ekaristi, pernyataan-pernyataan tadi rasanya naif sekali. Karena toh Ekaristi itu adalah formulasi ungkapan dan wujud 'peng-alaman' iman, harapan dan kasih umat beriman kepada Allah sepanjang sejarah Gereja. Sudah barang tentu manusia akan kapabel untuk merayakannya, karena toh itu adalah hasil dari ekspresi dan eksperiensinya sendiri. Dari orang beriman untuk orang beriman dan oleh orang beriman itu sendiri. Bukan sesuatu yang asing bagi dirinya sendiri, bukan sesuatu yang dipaksakan untuk dikenakan. Sejarah telah membuktikannya.
Lalu dimana kesalahannya? Kesalahan ada pada kekeliruan menfasirkan makna Perayaan Ekaristi itu sendiri. Salah mendekati dan ngawur mengartikulasikannya. Lebih ekstrim lagi, itu terjadi karena ada penyelewengan hakekat sebuah perayaan ritual. Liturgi Ekaristi dipandang secara pragmatis dan utilitarian sekali. Kalau "matrix of thought" semacam itu diterapkan pada Perayaan Ekaristi maka kekecewaan yang akan menjadi ganjarannya. 'Nilai' diukur dan dilihat dari sudut kegunaan melulu. Padahal sesuatu yang bernilai itu berbeda sekali dengan sesuatu yang berguna. Sekeping berlian bisa bernilai tapi bisa tak berguna. Sebuah payung bisa berguna tapi tak seberapa nilainya. Sehelai sapu tangan dari orang yang tercinta akan amat bernilai tapi mungkin tidak berguna. Guernica-nya Picaso bernilai tapi tidak berguna. Masalahnya sekarang ini, hal-hal yang 'per se' benilai dipandang bernilai karena kegunaannya. Guernica bernilai untuk menginvestasi, berlian bernilai karena bergengsi. Nilai didegradasikan dan diatas namakan demi "you are what you have".
Liturgi itu aktifitas yang tidak produktif. Aktifitas yang menyalahi hukum-hukum ekonomi seperti efisiensi, planing, project dan prognose yang 'profit minded'. Kacamata fungsional dan yang bertujuan untuk meraih untung dan guna secara langsung tidak pernah bisa pas untuk memandang liturgi. Tapi itulah ciri khasnya "homo faber". Manusia kiwari yang tidak bisa lepas dari "the restlessness of purposeful activity".
Alergi liturgi, jengah beribadah bisa diberi terapi baru; yakni mengembalikan liturgi itu sendiri kepada hakekatnya, kepada arti dan maknanya yang semula. Tinggalkan 'matrix of thought' yang utilitaris dan pandanglah dari aspek permainan! Esensi suatu perayaan ritual adalah bermain, tetapi bukan berarti main-main. Spirit bermain itu selalu menyarankan kesungguhan tetapi tidak serius apalagi ngotot. Karena liturgi adalah "sacer ludus", permainan ilahi. Sebuah perayaan, kata Plato, adalah permainan yang sungguhan. Itulah sebabnya kata "praying" dan "playing" dalam bahasa Inggris tidak begitu jauh berbeda penulisan dan pengucapannya.
Spirit bermain selalu mengandaikan kegembiraan, keceriaan, kelegaan, penglepasan, keasyikan, kebebasan, kesenangan dan kenikmatan tentunya. Seorang yang sedang bermain tidak pernah memiliki tujuannya secara extrinsik. Tidak ada maksud dan tidak ada tujuan, malah tidak pernah mempertimbangkan apapun manfaatnya. Kalau toh ada tujuannya...ya bermain itu sendiri!! Seperti gadis kecil yang asyik bermain dengan boneka mainannya. Seperti anak kucing bermain main. Mereka bemain karena mereka ingin bermain. Itu saja. Titik.
Bermain adalah wahana pengungkapan diri (self-representation). Kedirianku, keberadaanku menjadi transparan, disadari, dikenal dan dialamai; aku ini manusia, aku ini citra Allah. Bagaimanapun bermain adalah wahana makna dan medan arti. Dalam bermain kita menangkap aktualitas diri, melihat berkelebetnya sang misteri dan menjadi momen iluminasi. Malah, seperti kata Gadamer, bermain itu adalah "mode of being" cara mengada manusia itu sendiri. "Play is being". Alam semesta ini adalah Dewa Shiwa yang berdansa dan bermain-main, kata orang-orang Budha. Lihat, alampun merepresentasikan dirinya dengan bermain. Seseorang yang bermain serentak masuk, berada dan hadir dalam hakekat dirinya, kemudian tenggelam dan hilang dalam diri sang Pengada. Maka konsep Jawa tentang "manunggaling kaula lan Gusti" dapat dipahami disini. Dan doktrin metafisis "Deus cive Natura"-nya Spinoza, bukan sesuatu yang naif.
Kerinduan mendasar manusia religius adalah mengenal hakekat dirinya dan rindu pulang dan bersatu kembali ke asalnya. Bermain adalah pintu masuk ke alam yang dirindukan manusia itu.
Struktur formal liturgi itu bukan hanya analog dengan 'bermain' tapi malah memiliki "nukleus" yang sama. Gadamer bilang liturgi itu merupakan forma bermain dan jenis seni "permainan" yang paling sempurna. Di dalam liturgi representasi diri mencapai intensitasnya, karena esensi dasar manusia sebagai 'homo ludens' lebur dalam 'sacer ludus'. Seperti sebungkah garam yang larut dalam air laut. Para mistikus menyebutnya momen itu sebagai 'fusion experience', pengalaman keterleburan.
Memang liturgi itu mengenal tata cara dan aturan permainannya. Sepintas memberi kesan adanya kontradiksi dengan makna permainan yang mestinya bebas dari kungkungan aturan dan kontrol yang memborgol. Namun aturan itu hanyalah alat untuk mengorganisir dan mendesain ekspresi gejolak perasaan dan pengalaman lewat kata-kata yang dibunyikan dan digerakan. Aturan tidak lain berfungsi sebagai bingkai makna. Seperti permainan macam apapun juga toh mengenal aturan sebagai pembentuk jenis permainan tertentu. Karena pada hakekatnya manusia itu membutuhkan medium yang telah didesain untuk mengekpresikan kebebasan dan pelepasan energinya supaya tidak menjadi impulsif yang kacau balau. Itu sudah merupakan "la condition humain". Keseimbangan psikologis manusia rupanya ada pada dua kutub pemenuhan antara "discharge and design", pengudaran dan pemolaan.
Jadi, liturgi menjanjikan syalom dan pembebasan bila dipandang dengan spirit bermain. "The Kingdom of play is the kingdom of freedom", kata Hugo Rahner. Liturgi sebagai "fons et culmen", sumber dan puncak spiritualitas Kristen, bukanlah isapan jempol. Namun tentu saja ganjaran yang langsung akan dirasakan adalah kegembiraan dan pelegaan dalam merayakannya. Tanpa merasa wajib karena ada partisipasai yang tulus, ada spontanitas yang fitri, dan meskipun ada keseriusan serta kesungguhan namun tidak pernah menjadi terpaksa. Pada gilirannya upacara liturgi yang dipandang dengan spirit permainan itu mengangkat kita naik dari tingkat kepamrihan ke tingkat keindahan dan kesucian. Kita meraih tingkat tersebut justru pada saat kita meninggalkan tingkat keseriusan yang selalu sibuk menanyakan manfaat dan gunanya.
Liturgi adalah permainan sejati nan ilahi. Permainan dihadapan Sang Misteri agung yang sakral, malah dalam liturgi Ia sendiri yang mengundang bermain dengan kita. Sehingga kita seperti Daud yang menari-nari dihadapan Tabut Perjanjian, ungkapan kemenangan. Kegembiraan akhirnya adalah nada dasar spiritualitas Kristen, katakanlah itu seperti Halleluya-nya Handel. Kegembiraan kita adalah gema kebangkitan Kristus itu sendiri; itu saripatinya liturgi. Liturgi tidak mengenal tujuan tetapi sarat dengan arti; 'ut sit, splendor veritatis'.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).