Mencari Allah Dalam Musik
Musik itu bahasa. Bahasa yang bukan hanya punya daya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan atau emosi sang musikus mengenai realitas fenomenal tapi yang pertama-tama dan yang terutama mengaktualisasikan dan menghadirkan realitas noumenal. Malah bukan sekedar memaparkan atau mengartikulasikannya, justru menciptakannya. Karena bahasa musik itu lebih memproduksi daripada sekedar menggelar.
Realitas noumenal yang "a-temporal" dan "a-contextual" itu ditangkap oleh musik, digenggamnya lalu dibahasakan hingga menjadi peristiwa. Musik itu inkarnasi waktu. Ia menangkap keabadian Sang waktu, menjelmakannya lewat nada dan irama menjadi tampak rungu. Musik menciptakan infinitas dan totalitas Pengada hadir kini dan disini, dalam waktu kita, dalam atmosfir aural.
Realitas noumenal itu 'amorph', tanpa bentuk, tanpa wujud apalagi berwajah; tak mudah dikenali apalagi di pahami. Ia maya; ada tapi tak kentara. Maka bahasa rupa seperti seni lukis dan seni plastis, bahasa kata seperti puisi dan narasi tidak tanpa resiko untuk membahasakannya. Pencitraan yang gamang, yang sering jatuh pada reduksi hipotetis yang menggiring ke idolatri yang banal dan sesat. Ikonoklasme adalah contoh yang terjadi dalam sejarah.
Rupanya musik itu medium yang aman untuk membahasakan realitas yang 'amorph' itu. Karena musik 'per se' sifatnya 'amorph'. Ia punya nada dan irama, suara dan durasi tapi tanpa wujud. Dapat didengar tapi tak kasat mata, ada tapi tak bisa diraba. Ia seakan mudah dipahami tapi kenyataanya ia tetap tersembunyi. Ia ada dalam nalar kita tapi tak ternalari. Bisa dialami tapi tak gampang dirumuskan dengan bahasa kata-kata. Bahasa musik itu bahasa mistis nan misterius. Malah 'par excellence' musik adalah misteri itu sendiri. Maka musik itu tepatlah bila dikatakan sebagai bahasa primordial manusia untuk berkomunikasi dengan realitas noumenal dan dunia misteri. Manusia primitif telah memanfaatkannya. Kayanaya musik dan dunia noumenal itu tak dapat dipisahkan.
Yang transenden itu struktur dasarnya adalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dari ketiga atribut itu mengandaikan tertera didalamnya unsur-unsur keutuhan, cinta dan harmoni. Maka dari itulah musik pada hakekatnya secitra dengan yang transenden. Ia mengenal dasar arithmatika, harmoni, bahasa keindahan dan kemuliaan.
Itulah sebabnya ketika Sebastian Bach "keukeuh" menganggap musiknya sebagai tindakan kultus pada yang Ilahi, bahkan ia berani mengatakan bahwa musik adalah agama "sui generis". Musik telah menawarkan keselamatan kepada manusia. Agama harus menjadi musik; yang mengantar dan menciptakan harmoni dengan sesama, alam dan dengan yang transenden. De facto, musik mentransendensir agama itu sendiri, melampaui bentuk-bentuk formal keagamaan.
Alkisah,
Pada saat nada-nada itu berbunyi, ia tidak hilang ditelan ruang, ia membumbung ke hadirat yang transenden menjadi puji-pujian yang lebih ampuh dan mengugah daripada sekedar rangkaian kata-kata. Bila nada-nada itu adalah kuntum-kuntum bunga yang semerbak, maka pada saat musik itu melambung para malaikat surgawi akan memungutnya satu-persatu untuk dijadikannya rangkaian kembang untuk dikalungkan pada yang Ilahi.
Musik itu pada awalnya adalah jenis seni yang paling sakral. Betapa tidak. Konon katanya Nabi Musa mandapat wahyu ilahi di Gunung Sinai, yang sepi dan sendiri itu, lewat gema suara lembah yang menjadi nada dan irama yang berpadu menyatu dengan degup sukmanya.
"Muse ke... Muse ke...!!" Yang artinya "Hai Musa dengarlah...!" Pada waktu itu Nabi Musa menamai nada dan bunyi gema yang berirama itu Musik. Yang memang secara etimologis kata musik itu sendiri berasal dari kata "Musike". Begitu pula dengan Daud yang bermazmur memuji Yahwe dan menyampaikan pesan-pesan kenabiannya dengan bahasa musik. Dimana ada harpa mengalun merdu, disitu ada Daud khusuk bermazmur. Dan tidak heran bila Saraswati, dewi keindahan dalam Hinduisme selalu digambarkan sebagai si jelita nan arif bijaksana yang sedang memainkan celempung. Seakan-akan kesucian dan kebijaksanaan itu ada hanya dalam keindahan musik.
Keindahan, harmoni dan kemuliaan itu bukan hanya hadir dalam musik, tetapi "totum simul" merupakan hakekat musik itu sendiri. Makanya musik itu bukan sekedar bahasa atau medium untuk mengkomunikasikan realitas tertentu, tetapi representasi yang paling esensi dari realitas itu sendiri. Kalau memakai istilah metafisik, musik itu "the thing in itself".
Allah itu Cinta kata Yohanes Penginjil. Tapi, apa itu Cinta? Kita tidak pernah lengkap untuk merumuskannya. Allah dan Cinta itu realitas yang amorph, tak berwujud. Cinta hanya bisa didekati lewat pengalaman bukan lewat nalar akali. Begitu juga Allah. Disinilah musik menjadi sarat dengan makna. Musik, yang menciptakan "splendor veri" dan "splendor ordinis", merevelasi kebenaran, cinta dan harmoni. Ia menjadi pengejawantahan realitas spiritual yang tentunya dibangun menurut struktur artistik. Musik melahirkan sublimitas. Ia menciptakan keagungan, kemuliaan dan keluhuran yang Ilahi yang memaksa kita untuk bersujud dengan perasaan khusuk. Sublimitas, yang selalu datang menyergap lebih dahulu tanpa kita sempat berkontemplasi itu, mempertemukan kita dengan yang Ilahi sekaligus memberi kepuasan metafisis ('metaphysical solace') yang pasti bukan sekedar kenikmatan aural. Musik itu datang membuka ruang untuk kita agar kita "meng-alami" ('englobement') yang yang transenden.
Disinilah musik memenuhi kerinduan mendasar manusia untuk bersatu dengan Yang Tunggal, dengan Sang Harmoni Agung. Kerinduan manusia yang selalu ingin kembali pulang ke yang menjadi 'archetype' dirinya; Harmoni. Sublimitas musik sepertinya mengulurkan tangan meraih dan membetot kita begitu saja dari kekarnalan kita. Dibuatnya kita berjarak dengan dunia yang khaotik. Pada waktu itulah tercipta ketenteraman, kedamaian dan cinta. Itulah peristiwa pertemuan dan berpelukannya kita dengan yang transenden.
Musik itu bahasa. Bahasa yang bukan hanya punya daya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan atau emosi sang musikus mengenai realitas fenomenal tapi yang pertama-tama dan yang terutama mengaktualisasikan dan menghadirkan realitas noumenal. Malah bukan sekedar memaparkan atau mengartikulasikannya, justru menciptakannya. Karena bahasa musik itu lebih memproduksi daripada sekedar menggelar.
Realitas noumenal yang "a-temporal" dan "a-contextual" itu ditangkap oleh musik, digenggamnya lalu dibahasakan hingga menjadi peristiwa. Musik itu inkarnasi waktu. Ia menangkap keabadian Sang waktu, menjelmakannya lewat nada dan irama menjadi tampak rungu. Musik menciptakan infinitas dan totalitas Pengada hadir kini dan disini, dalam waktu kita, dalam atmosfir aural.
Realitas noumenal itu 'amorph', tanpa bentuk, tanpa wujud apalagi berwajah; tak mudah dikenali apalagi di pahami. Ia maya; ada tapi tak kentara. Maka bahasa rupa seperti seni lukis dan seni plastis, bahasa kata seperti puisi dan narasi tidak tanpa resiko untuk membahasakannya. Pencitraan yang gamang, yang sering jatuh pada reduksi hipotetis yang menggiring ke idolatri yang banal dan sesat. Ikonoklasme adalah contoh yang terjadi dalam sejarah.
Rupanya musik itu medium yang aman untuk membahasakan realitas yang 'amorph' itu. Karena musik 'per se' sifatnya 'amorph'. Ia punya nada dan irama, suara dan durasi tapi tanpa wujud. Dapat didengar tapi tak kasat mata, ada tapi tak bisa diraba. Ia seakan mudah dipahami tapi kenyataanya ia tetap tersembunyi. Ia ada dalam nalar kita tapi tak ternalari. Bisa dialami tapi tak gampang dirumuskan dengan bahasa kata-kata. Bahasa musik itu bahasa mistis nan misterius. Malah 'par excellence' musik adalah misteri itu sendiri. Maka musik itu tepatlah bila dikatakan sebagai bahasa primordial manusia untuk berkomunikasi dengan realitas noumenal dan dunia misteri. Manusia primitif telah memanfaatkannya. Kayanaya musik dan dunia noumenal itu tak dapat dipisahkan.
Yang transenden itu struktur dasarnya adalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dari ketiga atribut itu mengandaikan tertera didalamnya unsur-unsur keutuhan, cinta dan harmoni. Maka dari itulah musik pada hakekatnya secitra dengan yang transenden. Ia mengenal dasar arithmatika, harmoni, bahasa keindahan dan kemuliaan.
Itulah sebabnya ketika Sebastian Bach "keukeuh" menganggap musiknya sebagai tindakan kultus pada yang Ilahi, bahkan ia berani mengatakan bahwa musik adalah agama "sui generis". Musik telah menawarkan keselamatan kepada manusia. Agama harus menjadi musik; yang mengantar dan menciptakan harmoni dengan sesama, alam dan dengan yang transenden. De facto, musik mentransendensir agama itu sendiri, melampaui bentuk-bentuk formal keagamaan.
Alkisah,
Pada saat nada-nada itu berbunyi, ia tidak hilang ditelan ruang, ia membumbung ke hadirat yang transenden menjadi puji-pujian yang lebih ampuh dan mengugah daripada sekedar rangkaian kata-kata. Bila nada-nada itu adalah kuntum-kuntum bunga yang semerbak, maka pada saat musik itu melambung para malaikat surgawi akan memungutnya satu-persatu untuk dijadikannya rangkaian kembang untuk dikalungkan pada yang Ilahi.
Musik itu pada awalnya adalah jenis seni yang paling sakral. Betapa tidak. Konon katanya Nabi Musa mandapat wahyu ilahi di Gunung Sinai, yang sepi dan sendiri itu, lewat gema suara lembah yang menjadi nada dan irama yang berpadu menyatu dengan degup sukmanya.
"Muse ke... Muse ke...!!" Yang artinya "Hai Musa dengarlah...!" Pada waktu itu Nabi Musa menamai nada dan bunyi gema yang berirama itu Musik. Yang memang secara etimologis kata musik itu sendiri berasal dari kata "Musike". Begitu pula dengan Daud yang bermazmur memuji Yahwe dan menyampaikan pesan-pesan kenabiannya dengan bahasa musik. Dimana ada harpa mengalun merdu, disitu ada Daud khusuk bermazmur. Dan tidak heran bila Saraswati, dewi keindahan dalam Hinduisme selalu digambarkan sebagai si jelita nan arif bijaksana yang sedang memainkan celempung. Seakan-akan kesucian dan kebijaksanaan itu ada hanya dalam keindahan musik.
Keindahan, harmoni dan kemuliaan itu bukan hanya hadir dalam musik, tetapi "totum simul" merupakan hakekat musik itu sendiri. Makanya musik itu bukan sekedar bahasa atau medium untuk mengkomunikasikan realitas tertentu, tetapi representasi yang paling esensi dari realitas itu sendiri. Kalau memakai istilah metafisik, musik itu "the thing in itself".
Allah itu Cinta kata Yohanes Penginjil. Tapi, apa itu Cinta? Kita tidak pernah lengkap untuk merumuskannya. Allah dan Cinta itu realitas yang amorph, tak berwujud. Cinta hanya bisa didekati lewat pengalaman bukan lewat nalar akali. Begitu juga Allah. Disinilah musik menjadi sarat dengan makna. Musik, yang menciptakan "splendor veri" dan "splendor ordinis", merevelasi kebenaran, cinta dan harmoni. Ia menjadi pengejawantahan realitas spiritual yang tentunya dibangun menurut struktur artistik. Musik melahirkan sublimitas. Ia menciptakan keagungan, kemuliaan dan keluhuran yang Ilahi yang memaksa kita untuk bersujud dengan perasaan khusuk. Sublimitas, yang selalu datang menyergap lebih dahulu tanpa kita sempat berkontemplasi itu, mempertemukan kita dengan yang Ilahi sekaligus memberi kepuasan metafisis ('metaphysical solace') yang pasti bukan sekedar kenikmatan aural. Musik itu datang membuka ruang untuk kita agar kita "meng-alami" ('englobement') yang yang transenden.
Disinilah musik memenuhi kerinduan mendasar manusia untuk bersatu dengan Yang Tunggal, dengan Sang Harmoni Agung. Kerinduan manusia yang selalu ingin kembali pulang ke yang menjadi 'archetype' dirinya; Harmoni. Sublimitas musik sepertinya mengulurkan tangan meraih dan membetot kita begitu saja dari kekarnalan kita. Dibuatnya kita berjarak dengan dunia yang khaotik. Pada waktu itulah tercipta ketenteraman, kedamaian dan cinta. Itulah peristiwa pertemuan dan berpelukannya kita dengan yang transenden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar