Rabu, 26 September 2007

change

CHANGE

Rhenald Kasali ibarat seorang nabi yang sangat gigih menyerukan dan menawarkan “keselamatan” bagi kaum menejer yang sudah sesat, kaum ekonom yang sudah lesu darah, para pemegang keputusan perusahaan yang linglung-bingung dan kepada semua saja yang mengalami disorientasi dalam hidupnya. Rhenald Kasali punya satu kata: Change!. Hanya Change yang akan membereskan segala masalah kehidupan. Change jawabannya. Keyakinan yang teguh seraya mengejawantahkannya dalam karya dan hidup, terjaminlah kesejahteraan, kebahagiaan, perbaikan, dan kemajuan. Change seolah menjadi ideologi, menjadi “iman kontemporer” atau “spiritualitas” baru dalam mengelola perusahaan. Change seolah menjadi “maskot” atau kiat baru dan paling ampuh untuk dapat mempertahankan hidup. Kembalilah ke Change, karena Change adalah fitrah kehidupan. Menyangkal Change sama dengan menolak hakekat atau sifat dasar kehidupan.
Change itu “ultimate reality”. Bukan hanya sifat dasar dan sifat dominan dari realitas semesta ini yang selalu berubah, tetapi “ground of being” dari realitas ini. Change itu bukan sekedar fenomena, bukan pula sekedar permukaan atau sosok kasat mata dari yang substansi. Yang “ada” ini secara total dan tanpa batas, tiada lain hanyalah Change, “keberubahan”.
Di Cina, tahun 1122 (Sebelum Masehi) masa Dinasti Zhou sudah ditulis buku Yi Jing atau I Ching (The Book Of Change), buku tentang konsep perubahan dan transformasi. Segalanya berubah secara tetap. Keberubahannya tetap berubah (the changeless change). Realitas yang permanen hanyalah keberubahan. Change itu tidak positif dan tidak negatif. Change itu netral. I Ching mengajarkan dalam setiap detail hexagramnya cara bagaimana hidup sesuai dan selaras dengan Change; memanfaatkan, bahkan memanipulasinya. Setiap kesempatan dalam Change itu bermakna dan penuh arti bagi setiap orang. Setiap peristiwa (positif, negatif) dan kesempatan itu bukan suatu kebetulan. Change itu melampaui logika Aristotelean, hukum sebab-akibat tidak dapat dipakai untuk memahami hakekat Change. Sinkronitas diri seseorang dan realitas yang selalu berubah menentukan “nasib”nya sendiri. Pikir, rasa, karsa dan karya ditentukan oleh Change, karena dirinya sendiri adalah Change.
Di Barat, Sejak Herakleitos (500 S.M) hingga Fritjof Kapra masih meyakini “ultimate reality” sebagai “flux” (fluxus). Realitas itu mengalir dan selalu berubah. Segala yang ada ini bukan “ada” tapi “menjadi”, membelum dan bergerak secara dinamis; realitas itu berdenyut, selalu baru dan membaharui diri tiada henti. Tiada yang permanen, tidak ada yang mandeg dan diam. Segalanya mengalir, memisah dan melebur. Change, perubahan yang selalu berubah-ubah adalah satu satunya kenyataan. Antara ‘ada’ dan ‘ketiadaan’ dantarai oleh ‘menjadi’, bahkan ‘ketiadaan’ dan ‘ada’ itu tidak ada. Sebagaimana Plato (+348 SM) yakin bahwa realitas fenomenal yang semu ini bukan tempatnya ‘ada’. ‘Ada’ hanya ada dalam dunia noumenal, yang dianggap paling fitri dan sejati. Meister Echart (+1328) menyatakan bahwa ‘menjadi’ (becoming) adalah esensi dari yang ilahi. Goethe (+1832) mempunyai maxim ‘Become what you are’. Whitehead (+1947) yang sering dijuluki penyelamat metafisika modern meyakini kodrat realitas yang selalu dalam proses pembentukan diri. Realitas ini tidak lengkap utuh, belum selesai dan merupakan rangkaian serial kejadian (occasions) yang sudah terjadi ke yang akan datang secara terus menerus tiada henti. Bagaimanapun juga para filsuf dan pemikir telah mencoba menelaah hakekat terdalam dari kenyataan, realitas dan alam semesta. Realitas itu perlu diketahui sifat-sifat dan karakteristik dasarnya agar manusia, sebagai mahluk alam, dapat mendekati dunianya juga tidak keliru. Selebihnya, “ultimate reality” ini dapat menjadi parameter hidup sejati. “Ultimate reality akan menjadi dasar axiologi dan epistemologi kehidupan. Nature mendahului culture. Change adalah nature, adalah alam kodrat yang menuntut pendekatan sesuai dengan karakternya. Katakan saja bahwa Change adalah hukum alam. Melawan hukum alam (contra natura) secara religius disebut ‘dosa’. Melawan kodrat, melawan kenyataan yang akan dihukum oleh alam itu sendiri. “Natura enim non imperatur, nisi parendo”, kata Francis Bacon (+1626); alam tidak dapat diperintah kecuali kita mentaatinya saja. Kita hanya bisa ‘mengibu’, mencintai dan melayani, tunduk dan hormat pada Change, pada hukum alam. Kembali ke Change bukan sekedar back to nature, tetapi lebih forward to nature.
Rhenald Kasali benar. Jangan melawan hukum alam. Mempertahankan kemapanan, memuja kestabilan, puas diri, tetap dalam kesalahan dan merasa sudah benar, tidak mau dan tidak berani berubah pada dasarnya melawan hukum alam. Metanoia secara religius berarti kembali ke yang asali, ke yang paling alami nama lain untuk kata pertobatan. Dalam hal ini George Soros (dalam The Age of Fallibility) secara sosiologis menyerukan ‘perubahan’, katanya “Unless this ‘feel good’ attitude can be changed, the US is doomed to lose its dominant position in the world”; “...the infinite variety of a changing world is compounded by the infinite variety of interpretation that abstract thinking can produce”. Masyarakat yang tertutup, hati dan pikiran yang tertutup dan tidak terbuka dalam mencari dan memberi dan menerima inovasi alternatif adalah masyarakat yang sedang menggali kuburnya sendiri.
Dunia tidak akan lagi menjadi tempat tinggal yang membetahkan bagi mereka yang melawan perubahan. Karena, pada mulanya adalah Change. Manusia adalah change dan akan kembali lagi pada change. Dan, seluruh rangkaian hidupnya sudah semestinya merupakan merjan-merjan perubahan, kesempatan, pilihan dengan ketidakpastiannya yang niscaya berubah.


Fabie Sebastian H

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).