Selasa, 06 November 2007

warna8


warna7


warna6


warna 5


warna 4


warna 3


warna2


warna1


bunga


bunga


bunga


bunga



solitudo

Buatmu
yang membuat aku tertegun
di persimpangan jalan


Karib,
ada apa dengan hari-harimu?
kukira hari-harimu lebih pelangi
dari hari-hariku.
sebab aku tak melihat ngarai dan padang kering
dalam senyummu dan pandang matamu.
Entahlah
kenapa harus bergumam:
"Hari-hariku amat ngarai!"
Menghadapi persoalankah engkau?
Karib,
hidup adalah menghadapi persoalan
suatu kesulitan yang harus dikalahkan
hanya orang yang punya persoalanlah
yang merasa dirinya hidup.
Memang bukan masalahnya bagaimana
kau harus luput dari persoalan
bukan masalahnya menang atau kalah
tetapi tekad.
Karib,
hari-hari tak selalu malam, tak selalu siang
tadi ia terbit dan petangnya ia tenggelam
begitu dan begitu.
Dan pada lembaran baru kau bisa bermimpi
untuk melupakan segalanya dan
mentertawakan dirimu sendiri.
tak guna kau basahi bantal dan tilam
dengan air mata yang mutiara itu
kurang srikandi rasanya,
kurang srikandi dan terlalu berlebihan.
Kau lebih perkasa dari cakar rajawali.
Percayalah!
Karib,
kau dan aku sedang menuju pada suatu kota
yang belum selesai
kita kudu sampai disana
karena kita sudah memulainya.
Kota yang berlangit jingga
dengan kemarau yang panjang
hingar bingar tak menentu
dan kita harus ada disana
menggerakan bibir, mendoa, berdendang,
tertawa dan melepaskan penat
sesudah perjalanan jauh.
Disana kita jangan impikan taman yang permai
atau musim bunga
atau telaga dengan air terjun
sebab, kemanjaan tak pernah membikin kau semakin
mawar kesumba
Karib,
hanya dalam gelap kita akan melihat cahaya
mari kita bersahabat dengan malam.

Bdg '83




Ketika itu
kau berpakaian elok
termanggu menunggu rebahnya daun pertama
pada musim gugur
dengan wajah pasrah
memandang sampai batas cakrawala
dan daun tak kunjung rebah
dan daun tak kunjung rebah.

Kau bergumam:
"Esok kucoba lagi"
Musim gugur belum tiba
kesabaran amat berarti saat seperti ini
kesabaran adalah mahkota kesetiaan.

Esoknya kau mesti terpana
musim gugur telah lewat
kecewakan harapanmu
kau menangis
sulit untuk menterjemahkan air matamu
sementara pasrah adalah juga keperkasaan
musim gugur telah melambaikan tangan
kau bergumam lagi:
"Semuanya sudah terlambat!".

Bdg.'83




KEPADA PARA PEMULA

Suatu saat kau akan alami
setelah kelengangan panjang ini
menyendirikanmu
sampai titik kerinduan yang tak pupus

Disana kau akan merasa tak melindungi
dan tak dilindungi
karena suatu pilihan dan kenekatan
kau bagai seekor merpati diangkasa
tanpa siapa, menghadapi yang tanda tanya

Kau tak akan senandungkan dendang "nina bobo"
atau lulabi yang merdu
karena telah kau tukar dengan balada dan
elegi kepasrahanmu
kepada kesemuan yang maya

(disana kau coba mengampuni diri
bahwa hidup kudu begini)

Dan disaat-saat badai menggoyahkan kapal hidupmu
kau tak memandang titian
pelabuhan begitu lepas dari cakrawala
dan kau bergumam:
"Mengapa aku ada disini?"

Kau mulai mengaguli
sejarah, dalil dan aturan-aturan usang
kau anggap semua sudah membuktikan
bahwa yang transenden akan menjelma disana

Hatimu yang bening pecah
ketika menatap wujud yang menyalahi hakekat
nuranimu menjerit, karena luka
pilihan menjadi lanjuk

Dan mazmur-mazmurmu
menjadi surat-surat yang tak pernah mendapat balasan
juga doa-doamu menjadi bahasa asing
yang sulit diterjemahkan
Hidupmu menghadapi simbol-simbol
yang tak mengerti makna, irama dan artinya
sudahkan kau pikirkan disana?

Bdg '83




Entahlah mengapa aku kudu trenyuh
kalau aku melihat warna kesumba
sepertinya aku melihat engkau
engkau ada pada warna kesumba

Entahlah mengapa nadiku mesti berhenti
ketika ada kabar burung
tentang engkau yang megucap "au revoir"
buat Bandung ini
padahal sebaiknya aku biasa-biasa saja.
toh ucapanmu itu
cuma perpisahan dari dunia senyuman yang satu
ke dunia senyuman yang lain
hakekatnya kau tetap mawar kesumba
yang srikandi.

Bdg '83




m,
kadang wajahmu begitu keras buat dipandang
kadang kau begitu tak memiliki kepastian
seperti kapal tak berhaluan
kadang kau memborgolku dengan mata rantai
kerinduan membaja
yang melebihi rindunya Romeo pada Julianya
Kadang kau bagai samudera
bisu menyimpan sejuta ungkapan
kadang kau menjadi persimpangan jalanku
kemana aku harus memilih?
kadang kau seperti pohon-pohon cemara
yang mengacung-ngacung kelangit
penuh cita-cita
kadang kau seperti buah apel yang menggemaskan
kadang kau seperti murai
dengan kicaunya yang merdu menceriakan
kadang kau seperti melati
yang putih, gaib buat disentuh
namun
kau tak lebih daipada mawar kesumba
sahabat yang tak pernah kusapa
kau dan aku tak lebih daripada dua buah garis sejajar
yang tak pernah akan bertemu.

Bdg '87




Hari ini tak ada angin
tak ada cahaya
bumi ini pucat
seperti bunga mawar
yang dipeluk
kemasygulan-kemasygulan masalah
biarkan dia mati
dan debu-debu ini menimbuninya
menjadi mayat-mayat
juga masalah-masalahmu,
mawar kesumba.

Bdg, '83 ketika Gunung Galunggung meletus?




Orang-orang di sudut jalan itu
sudah menunggu aku
dengan teriaknya yang menggegap:
"dia sudah menyerah kalah"
di sebelah sana
mereka mengharapkan
supaya segera aku kibarkan bendera putih.
Mereka mencibirkan bibir
penuh ejekan
mereka kurang percaya
mereka meragukan, mereka memaksa:
"Kapan kau menyerah?"
Saat seperti itu aku tidak mampu
menahan apa yang memendam di kelopak mata
namum toh bukan saatnya buat meratap
mereka ragu, mereka sangsi
Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar
ini adalah suatu pilihan!!

Apa itu menyerah kalah?
apa gunanya keberanian?
apa gunanya perjuangan?
Jika aku harus menyerah kalah
keberaniaan dan perjuangan akan tak berarti apa-apa.

Dan hidup harus berjalan terus
aku telah melaluinya
hanya dia yang boleh mengakhirinya
aku sudah berjuang dengan gigih
hidup bukan diperhitangkan kalah menangnya
tapi dijalani.

Bdg '83





ALEGRO ASSAINYA PETER TSJAIKOVSKY

Malam itu,
aku mendengankan musik Peter Tsjaikovsky
pada simponi kelimanya
yang berjudul "Rusia's Valley"
Tiba-tiba saja aku jadi teringat kau
juga diriku sendiri
Alunan yang melankholis
sentimental yang liris
menikam-nikam bagai belati.

Lembah Rusia yang luas tanpa batas
yang dingin tanpa tepi
yang ngarai tanpa dasar
menyendirikan,
sendiri amat terpencil
kemudian halimun tebal datang
mengurung lembah, turun pelahan-lahan
sampai menutup mulut lembah
semuanya menjadi gelap
mulailah suatu perjuangan
perjuangan dengan diri sendiri
Tsjaikovsky tahu dia akan gagal dan gagal lagi
saat seperti ini tak perlu menangis
sebab bukan waktunya buat meratap
dan kebajikan yang paling luhur adalah
bertahan, tetap bertahan!

Ludwig van Beetoven dalam symfoni ke-limanya
juga mengumandangkan
bahwa ketabahan akan meleraikan segala penderitaan.
Ludwig menang dengan gemilang
Namun Tsjaikovsky mengakhiri perjuangannya
dengan kemengan yang tragis
dia mati bunuh diri
dia kalah dengan dirinya sendiri
motto kebajikan yang paling luhur adalah
bertahan terus, tiada arti lagi
Tsjaikovsky cuma punya kata-kata, cuma punya bunyi
wajah Tsjaikovsky tak memancarkan kebanggaan apapun
dan aku semakin terasing.

Bertahan terus?
Bertahan terus?
samapai kapan?
akan kah wajahku dan wajahmu
menjadi wajah Tsjaikovsky
yang tak memancarkan kebanggaan apapun?

Kembali sejarah menjadi saksi
aku, mungkin juga engkau
menjadi sangsai
ketabahan menjadi sangsai
perbuatan yang memungkinkan yang tak mungkin
ikut pun menjadi sangasi
harapan menjadi sangasai
Ludwig van Beetoven berbahak-bahak
mentertawakan wajah kita yang sangsai
Dan alunan simfoni ke lima Tsjaikovsky
yang punya lambang perjuangan dan kemenangan
di akhir iramanya surut menjadi lagu maut
yang penuh curiga dan mengancam
Dan sisa hidup ini
berani kubatasi
namun apa artinya mulai
jika tanpa kata selesai

Aku belum berbuat apa-apa
begitu banyak yang harus aku selesaikan
memmang sebaiknya tak usah ada mula
biar ragad ini tidak ikut sangsai
menyaksikan kerja yang tak selesai
tapi semua ini sudah terjadi
semua sudah bermula

Tuhan, ini suatu pemandangan lama
yang mengibakan
aku mesti berbuat apa?

Bdg '83

mawar kesumba 1

Mawar kesumba,
begitu banyak yang ingin aku sampaikan kepadamu
tentang hari-hariku yang lucu dan naif
kadang aku bersikap begitu kekanak-kanakan
kadang aku bersikap seperti superman
yang mampu segala.
tapi toh akhirnya kembali kepada kenyataan adanya.
Pernah pada suatu hari aku begitu merasa
ada di Getsemani dan mendoa
agar piala itu berlalu juga dari diriku
aku merasa sendiri
seakan semuanya telah meninggalan aku
juga engkau
aku sadar bahwa perasaan ini cuma kecengengan belaka
tapi itu aku rasakan
suatu kenyataan yang eksis
kemudian bila datang hari-hari yang penuh dengan senyuman
aku aku menganggapnya suatu impian
impian kuanggap kenyataan dan
kenyataan kuanggap sebuah impian
tragis
sewaktu kau berjalan searah dengan angin
yang bertiup siang itu,
aku berdiri pada bayang-bayang
aku berteriak keras sekali
kau hanya sempat menoleh
begitu tergesanya
seperti binar cahaya.
pedahal aku ingin memandang cahaya itu lebih lama
hati tak kuasa
sukmaku selalu meberontak
ini suatu impian
jika saja cahaya itu selalu ada pada saat-saat getsemaniku tiba
betapa golgota itu akan menjadi tabor
menjadi taman bunga
dan pesta senyuman
dan hari-hari seperti itu
biarlah berlangsung lebih lama
dan mengubah mimpi burukku.

Bdg '83: Tragedi di bawah pohon flamboyan



Mawar kesumba,
semuanya begitu terlambat
tapi ini mungkin lebih baik
terlambat lebih baik dai pada terlanjur
aku ngeri kalau segala-galanya menjadi terlanjur
aku tak mau impian itu terlanjur
menjadi kenyatan
biarlah mereka masing-masing berdiri
pada alamnya sendiri.
impian tetaplah impian
dan kenyataan tetaplah kenyataan.

Bdg '83




Mawar kesumba,
entah bagaimana kau menyimak segala kata-kataku
yang pernah kau dengar atau pernah kau baca.
betapa aku merasa malu kepadamu
setidaknya pada diriku sendiri
sebab yang aku rasakan sendiri, surat-surat dan tulisan-tulisanku
bernada dasar pesimis
tak ada warna yang cerah dan optimis
Hm...mengharukan!
tapi aku berpikir lagi
apa yang harus aku tulis atau aku sampaikan padamu?
kalau bukan perasaan-perasaan atau unek-unek yang beku
dan baru akan mencair kalau itu aku katakan padamu.
kau yang nota bene punya beban beban juga.
betapa aku membebanimu dengan beben-beban yang lebih berat
itulah sebabnya aku kadang begitu semangat, kadang ragu
menulis surat buatmu.
Tapi entahlah aku begitu platonis barangkali.
Aku menulis segala unek-unek ini dalam catatan harianku
yang sebenarnya tulisan itu kutujukan padamu
tapi kamu tak pernah akan membacanya.

Mawar kesumba,
sesekali dalam kesibukan, rasa kangen itu lewat
kadang ia singgah, malah ia menginap dalam benakku
apakah harus aku bunuh atau aku usir perasaan-perasaan itu?
Betapa aku menyalahi kodrat
kalau Shakespeare mengatakan bahwa rasa kangen itu adalah penyakit
yang membahagiakan.
Bagiku tidak.
Tesa ini bagiku justru suatu ancaman.
Mawar kesumba,
pertanyaanmu tidak pernah akan terjawab
betapa pertanyaan itu harus aku jawab dengan kejujuran
dan tidak membohongimu
tak mungkin aku punya kejujuran seperti itu
aku ngeri kalau-kalau nuranimu tidak dapat menerima jawabanku itu
moga saja perasaan ingin memanja dan dimanja olehmu
itu tidak berlangsung lama
Biarlah perasaan itu tetap sebagai perasaan.
tak perlu ada dampaknya
sebab perasaan adalah perasaan
yang tak pernah membuat jasa.

bdg'83





SEMENTARA SELESAI BERATI MEMULAI YANG BARU

Sahabat,
nyatanya aku cuma anak ayam yang beru menetas
yang piatu
yang cuma bisa menciap, menangis dan menghiba.

dihadapanku cuma ada warna hitam
dan selaksa tanda tanya
yang setiap jawaban cuma berupa pertanyaan yang baru
namun aku punya keyakinan, sahabat
punya keyakinan
buat mengawali dan menyelesaikan

Betapa merdunya suara restumu ini
amat memasygulkan.
suara restumu sungguh lentera
di sisi perjalanan jauhku ini.
terimakasih sahabat, terima kasih

bdg '83



Dulu ingin sekali aku katakan kepadamu
bahwa aku ingin mengenalmu seutuhnya
ah, betapa seramnya seandainya itu benar terjadi
sebab semakin aku mengenalmu
semakin aku melihat keindahan-keindahan
yang pasti akan membelenggu aku
dulu aku sangsikan apa aku bisa mengenalmu
sebab antara aku dan kamu banyak yang kurang seimbang
paling tidak karena kau wanita dan aku pria.
tapi pada saat tangan ini kuangkat
diatas kepala buat melambai justru akut telah mengenal kamu
dan kaki-kakiku sudah terbelenggu.


bdg '83



Kini aku melihat kamu
seperti melihat kaca jendela kamarku
yang bening, tembus
dan dapat kunikmati keindahan-keindahan dibaliknya
aku tahu kaca itu mudah pecah dan retak
barangkali sudah menjadi sifat dunia fana ini

bdg '84




Malam itu saya menyaksikan sandiwara "Waiting for Godot" karya Samuel Becket.
Ceritanya saya juga mau ikut menunggu Godot
bersama Estragon dan Vladimir
Bagi mereka sendiri tidak jelas siapa Godot itu.
Tapi mereka begitu yakin bahwa Godot pasti akan datang.
Saya juga ikut meyakininya.
Berjam-jam, berhari-hari..., bertahun-tahun... sampai saya tulis catatan ini namun Godot tidak pernah datang.
Mereka menunggu sesuatu yang tidak ada.
Yang maya.
Mereka memastikan yang tak pasti.
mereka menunggu dalam kesia-siaan.
Dan saya bersama mereka menunggu sesuatu yang niskala.
Akan kah menjadi kesia-siaan?
Tidak ada apa-apa yang terjadi
tidak ada yang datang
tidak ada yang pergi.
Ketika tirai menutup pentas
sandiwara tuntas
orang-orang memulai riuh satu-satu beranjak
meninggalkan kursi masing-masing
sambil membawa renungannya sendiri-sendiri
dan ruanganpun kosong
tinggal saya duduk terpana
di pojok ruangan.
sendiri
tersenyum sambil meneteskan air mata
kejantananku runtuh.

karib

Delima,
waktu itu kamu bilang komunikasi yang intens bisa dengan dua jalan
mencintai dengan kerinduan yang membara
atau dengan memebenci dengan kemarahan yang meluap-luap
saya ingin berkomunikasi dengan cara yang kedua itu
membencimu dengan kemarahan yang meluap-luap
saya kira ini yang paling wajar
dan paling baik untuk saya.
abis kalau dengan cara yang pertama
aah, rasanya kok rikuh dan pakewuh
saya ingin berkomunikasi dengan kamu dengan cara itu
pada saat-sat ini
saya ingin memaki kamu
mencemooh kamu
menghina kamu
mengutuk kamu
mengata-ngatai kamu dengan segala perkataan
yang tak sepatutnya saya katakan.
semunya demi sesuatu yang amat sederhana
ingin berkomunikasi dengan kamu
dengan memakai cara yang paling wajar buat saya.

Bdg'83






POTRET WAJAH'82 (BUAT KARIBKU ROLAND)

roland,
ini potret wajah kamu dan juga saya
entah ada ekpresi air muka macam apa di sana
asa, harapkah?
atau raut wajah dengan selingkar tawa
yang akrab akan hidup serta perjuangan?
entahlah
untuk wajah desember 82 mu hanya kamu yang tahu
untuk wajah desember 82ku hanya saya yang tahu
selebihnya kita cuma bisa menebak-nebak.

saya rindu haha...hihi..denganmu
bdg'82






Tak ada yang terjadi antara kita
tak ada
tak ada apa-apa
semuanya berlangsung biasa
tak ada yang datang
tak ada yang pergi
tak ada yang berjumpa
tak ada tangan yang melambai
tak ada yang tersenyum
tak ada yang merebahkan air mata
tak ada yang bernazar
tak ada yang mingingkar
tak ada
tak ada yang terjadi antara kita
tak ada
tak ada apa-apa
semunya berjalan biasa
hanya,
ada segagang kembang yang menjadi layu
di tangan kananku ini
apakah ini tanpa sebab??






CERITA BUAT H

Entah mengapa hari ini aku begitu punya waktu luang untuk berjalan-jalan di taman halaman gedungku.
melihat kembang-kembang yang merah keboja dan kuning-kuning merak
aku tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu tentang kesetiaan.
konon kembang kemboja lambang akhir kesetiaan dan kembang merak keluguan.
aku duduk tercenung menunggu helai daun cemara yang rebah
namun sia-sia
menyesalkan.
aku pandang pucuk-pucuk cemara yang meliuk riang.
oh, tentu cita-citaku ada di sana, aku menjadi sombong.
dan cemara tidak juga rebah
menanti?
mengapa mesti menanti?
bukankah engkau tidak pernah membuat janji?
anganku membumbung tinggi setinggi-tingginya
membikin butir-butir kehampaan.
ah kembali membuatku tersenyum boneka.
aku memaki ketika sehelai daun cemara rebah membisikan sajak kesendirian
"terlamat", kataku
aku mesti beranjak, toh sudah tak ada lagi yang mesti kutunggu.
kini aku berhadapan dengan sekeping kaca pada dinding
disini aku bisa lebih jelas melihat wajahku sendiri
aku cuma tersenyum
betapa tidak
sebab aku begitu cengeng
dan banyak istilah tentang kerinduan
oh, aku sudah dikejutkan oleh cahaya yang gemerlap
oleh wujud yang rapuh, naif.
aku berdebat dengan wajahku sendiri tanpa penyelesaian
"di sini yang berbicara bukan otak, Fabie, tapi perasaan!".
begitu tidak sopannya.
lancang
bayangku sendiri mengajari aku tentang perasaan
sialan.
sepi tiga detik
aku menatap mataku sendiri.
aih, betapa jauh dan terpencilnya
seperti fatamorgana
perempuan adalah fatamorgana
"gemerlap", demikian hatiku berbisik.
benang hatiku tiba-tiba menjadi kusut, sulit aku uraikan satu-satu.
namun tiba-tiba benang yang tipis itu berlepasan begitu saja...tipis,
semakin tipis sekali seperti kabut.
aku gamang takut jatuh
aku berpegang pada pendirianku sendiri
tapi aku tak berani mengangkat muka sebab di hadapanku ada seorang lelaki yang elok
juga bagai fatamorgana
yang keras untuk dipandang
"tidak gemerlap", aku berbisik
yang aku pernah mengenalnya
entah dimana, yang jelas bukan di ranjang, kata Rendra.
hm. agak muram pemikiranku ini
tiba-tiba angin terhenti
aku membakar rokok
menutup rasa maluku dibalik asap ini
aku tidak begitu langsung melihat wajah elok yang keras itu
pikirku.
tentu engkau juga fatamorgana yang bagus dan gemerlap
sepi lima detik
tiba-tiba ada suara semacam halilintar membuyarkan lamunanku
halilintar lembut
naum keras untuk dipandang
engkaukah itu?






DI CANDI GEBANG JOGJAKARTA

Tuhan, dimana aku berada disitu Engkau hadir
tempat ini begitu asingnya
menterpencilkan aku dariMu
namun Engkau menghadiratiku bukan?
aku mau berbincang-bincang tentang keterasingan ini
adakah keterasingan itu meresahkan?
aku takut Tuhan
aku termakan keadaan
dilumpuhkan
suarakupun telah habis buat menyambat
adakah Engkau menguji?
sampai butir-butir air mata yang mengering di ujung sepatuku ini
akankah memberi pesan bahwa hidup ini cuma tangis?
Tuhan, kalau aku telah sampai ke negeri yang ramai
aku akan bercerita tentang hati yang masygul
tentang aku yang sudah menjadi kuat
dan tak pernah merasa sendiri lagi.






fatamorgana membias,
menyempitkan musim yang panjang
mengeringkan sajakku
sajak kemarau yang menjadi panjang
sajakku lahir dari rasa haus
dari rasa lapar
dari pohon-pohon yang meranggas
dari daun-daun kering
dri keringat yang meleleh
dri tangis seekor semut yang haus
dari sajak yang sering tanpa makna.








seorang rohaniwan itu bagai sebuah sungai
yang mengalir dari sumbernya
di tempat yang tinggi
ia amat agung
dia mengalir ke tempat-tempat yang rendah
ia mau merendah
ia membasahi setiap tempat yang kering
ia membasahi hati-hati yang gersang
ia terus mengalir
karena ia adalah sumber kehidupan
jika ia diam, ia penuh misteri
keberadaannya sulit dipahami.

mawar kesumba 2

M, sungguh saya merasa takut
hidup saya begitu dimanjanya
begitu lempang
begitu lurus
begitu senang
saya takut kalau saya mendapat pukulan
saya takut patah
telaga saya tak berarus, tak beriak
pedahal telaga akan lebih indah
jika kadang ada benturan-benturan dan hempangan-hempangan.







Kau yang bikin aku terpukau di seribu persimpangan jalan
kenapa saya mesti diam dan berpikir
bahkan bertanya tentang suatu keraguan akan sesuatu yang sudah pasti
kenapa semua begitu nisbi
tak pasti dan ganjil
ketika ada perjumpaan yang tulus
dengan kamu yang bisa disebut "engkau"
disini dan kini
sungguh, pada sat-saat seperti ini
sulit untuk menentukan pilihan.







Saya pilih halaman yang kesumba ini
entahlah, kanapa saya mesti menyukai warna ini
ada kelembutan dan kesejukkan
seperti kembang mawar
seperti layung saat pelanginya meredup
ah...saya kira persisnya
seperti selingkar senyummu yang ranum
ingin sekali rasanya saya penuhi halaman-halan kosong buku ini
dengan tulisan saya
ah, tidak bukan halaman-halaman buku ini
namun halaman-halaman hatimu
hingga menjadi prasasti
ingin sekali kutulisi penuh-penuh
hingga menjadi prasasti
ingin sekali kutulisi penuh-penuh
hingga orang-orang tak punya tempat lagi buat menulis.






Saya pilih halaman pertama ini untuk menulis sebuah puisi
mengapa mesti halaman pertama?
ah, entahlah cuma mengandaikan menjadi orang yang pertama dan yang penghabisan.
dalam menulisi kanvas hidupmu
namun bukankah aku bukan yang pertama lagi?
yang penghabisan mungkin
duhai, betapa akan dukanya aku bila....






LILIN PASKAH

jika temaran itu adalah engkau
yang terang dan benderang
tembuslah hatiku yang tak cahaya dan tak temaram
jika saja nyala itu adalah engkau
yang tak padam dan tak gelap
tembuslah pekatku yang tak mentari dan tak pelangi
jika saja paskah itu adalah engkau yang bangkit
gugahlah matiku pada hidupmu
sebab hidupMu tak fana dan tak maya.





GOLGOTHA
ada kata cinta pada lukaMu
yang tergores pad darah basah dan paku
cintaMukah?

ada kembang melati pada kepalaMu
yang terurai pada mahkota duri
melatikukah?

ada senandung merdu pada peluhMu
yang tertutur lewat kata 'aku haus'
senandungkukah?

ada tawa renyah pada bibirmu
yang tercetus lewat 'eli,eli lama sabachtani'
tawakukah?

entahlah
sulit untuk menterjemahkan airmataku
pada saat seperti ini
sesalkah?





Sementara kita mendengar banyak
tapi sedikit mendengarkan
sementara kita melihat banyak
tapi sedikit memandang
o, yang esa dan kuasa
buatlah kami lebih mampu mendengarkan dan memandang.






Jika kami melihat sabdaMu
cuma melihat sebuah buku usang
yang bagus untuk menggajal buku
di suatu rak
atau dibiarkan kumal dimakan rayap.
jika kami melihat SabdaMu
cuma melihat seperangkat pengetahuan
dan ilmu belaka
seraya mengabaikan manfaat
guna dan arti dibaliknya
kami lebih suka lari
mencari jawaban semu
ketimbang tengadah kepadaMu
dengan mencecap kata-kata hikmat
yang tertulis dalam kitabMu
berilah kami rindu
menimba makna sabdaMu
yang temaha itu
buat menjawab susah hidup kami



BALADA EMPAT PEMUDA

6 tahun lalu
anak-anak muda itu tertegun
sebelum melangkah masuk kampusnya
membawa stumpuk cita-citanya
setumpuk pertanyaan
dan setumpuk harapan

kampus dengan warna yang semarak
senyum ramah
hijaunya pertamanan
mengucap selamat datang
pada anak-anak muda itu
jalan di hadapannya terasa lempang...

esoknya
dikayuhnya sepeda
keringat, terik matahari
tak bersepatu
telah jadi akrab

dilecekinya bangku kuliah,
diktat, perpustakaan
dan dosen-dosen.

kemudian kampus berputar
ruang kuliah berputar
perpustakaan berputar
anak-anak muda ikut berputar
juga cita-cita daan harapannya
berputar-putar
seperti roda-roda sepedah mereka

sukmanya terguncang
jalan di hadapannya tak lempang lagi
nafasnya tercekik
tangannya menggapai sia-sia
tak berdaya melawan putaran dan guncangan
setumpuk pertanyaan yang dibawanya dulu
tidak memperoleh jawaban
mereka kehilangan pegangan
ditatapnya dengan mata nanar kampusnya
yang dulu semarak telah menjadi rusak
perpustakaan jadi seperti gudang
ilmu yang dipelajarinya jadi rutin
mengawang dan sia-sia
semua menjadi formalitas dan basa-basi
asal tidak kecewakan yang punya wewenang

akhirnya
tanpa upacara
sekedar ikuti aturan umum
dianugerahkannya pada mereka ijasah-ijasah kesarjanaan

masing-masing memperoleh iudicium;
"kualitas mentah"
karena mereka mendapat mutu pendidikan
yang alakadarnya saja.

Dan anak-anak muda itu menerima
sebagai kewajaran belaka

samar-samar ada tangis
saat mereka terakhir kalinya
menatap alma maternya
tubuhnya lunglai
suaranya serak untuk mengucap;
selamat tinggal...."

soliloquy

Memandang istanamu
bagai memandang sebuah keangkuhan
pada keempat sisi tembok istanamu
kulihat yang ada cuma kenekatan-kenekatan
demi sesuatu yang niskala
langit di istanamu kusam
mengkusamkan paras elokmu
dan kau berujar:
"jika saja elokku ada padaku
elokku bukan untuk dunia
elokku untuk Dia
yang telah memberi elokku
dan apalah keelokkan
dunia panca indra itu bukan saja fana
tapi juga menipu.
bdg, 83





Aku trenyuh
ketika kawan-kawan lamaku
memanggilku dengan nama yang sudah lama tak kudengar lagi, "Vonny"!
Begitu katamu suatu hari.
Ingin sekali aku memangglmu dengan nama lama itu
memerdukan kembali di telingamu.
yang sudah agak asing itu
tapi nama itu nadanya sumbang!
bukankah nama itu nama sejarah masa lalumu?
yang merah, yang hitam dan yang putih?
sebuah nama dengan leleh air mata, dan perjuangan
untuk memeperoleh nama baru
yang penuh melodi dan seharum melati.
Maureen.

Bdg. '83






SHOPPING DI JL. BRAGA

boneka mainan dari plastik pada etalase toko
lucu dan menarik sekali
terus terang saya suka boneka ini
kalau saja saya memilikinya

tadi pagi
saya jumpa dengan kamu
kamu mirip dengan boneka ini
manis, lucu dan menarik
terus terang saya suka memilikinya

boneka mainan, sungguhkah engkau juga?
boneka yang tak bersukma
boneka rapuh tanpa jiwa
boneka yang cuma bisa menghiba
boneka yang tersenyum
senyuman boneka
yang cuma senyuman
yang cuma boneka
boneka, senyuman.
apalah artinya boneka
senyuman boneka?
apalah artinya ingin memiliki
memiliki sebuah boneka.

Bdg'83






Hari ini kamu duduk persis di depanku
membelakangiku
engkau memandang ke depan
apa yang engkau pandang disana?
masa depan?
engkau memandang kenisbian
raut muka apa yang ada padamu
kecewa
duka
harap
asa
haru
pilu
rindu
kelu?
ah, betapa banyak cerita yang terangkai disana
aku paguti satu-satu
biru
cerita biru
hingga ketika kita saling tersenyum
senyummu, senyumku
membiru.
Bdg'83





OMONG-OMONG IMAGINER I

suatu hari kangenku padamu lewat
yah, kira-kira engkau lewat sebagai adanya.
+ mawar kesumba, engkau hendak kemana?
- aku hendak ke alam maya, Fab.
+ apa yang engkau bawa di tanganmu itu?
- bayangan. Kalau kau suka...ambillah
+ tapi sebaiknya kau singgah dulu
aku punya cerita yang bagus-bagus
yang pasti kau suka.
dan aku ingin menikmati bayangan itu bersamamu malam ini.
- maaf Fab, waktu sudah menjemput.





OMONG-OMONG IMAJINER II

suatu hari kamu singgah pada kangenku
+ wah, rupanya kau lelah dalam perjalanan jauhmu ini, Mawar kesumba. mukamu rada pucat
sebaiknya kau singgah dulu
akan kuberikan padamu pelepas dahaga dan penat.
- mungkin ini lebih bijaksana, Fab.
maaf saya tak membawa apa-apa yang istimewa.
cuma ini.
bayangan
mungkin ini ada manfaatnya buatmu.
+ ah, sejuta terimakasih, Mawar kesumbaku.
tentunya besar artinya bagiku
bukan semata-mata kau yang memberi
tapi saya terlanjur menggilai bayanganmu
saya tahu kalau ini hanya gejala neurotik belaka
seperti yang dikatakan psikiater kemarin
dan juga hadiahmu itu adalah tambang emas
bagi kekayaan imaginasiku.
engkau spiritku
engkau sajakku
engku sumber inspirasiku
engkau pelabuhanku
engkau bunga mawarku
engkau bumi tempatku berpijak
engkau kerdip cahaya pada kekelamanku
engkau lukisanku
engkau getaran suara harpaku
engkau dewi Wawar kesumbaku...
aku cinta...
- cukup! membosankan!
semua lelaki ternyata sama
tak terkecuali engkau, fab!
seperti inikah cerita yang bagus-bagus itu?
inilah saatnya untuk membuang tahayul lama
bahwa lelaki diam itu yang simpatik
diammu adalah bisingnya orang-orang di pasar.
aku singgah di hatimu semakin penat saja
semakin dahaga
saya menyelsal memberimu bayangan itu
tapi mau apa, nasi telah menjadi bubur dan susu telah tumpah
aku permisi.
+ jadi engkau mau meneruskan perjalanan jauhmu pada malam selarut ini?
- ya demi pilihan

dan engkaupun berlalu di telan kegelapan malam.






OMONG-OMONG IMAJINER III

Suatu hari kamu menginap dalam kangenku
+ siapa itu diluar pada gelap semalam ini?
bukankah engkau Mawar kesumba?
- ya, aku Mawar kesumba, Fab
+ Mawar kesumba yang mana?
ada banyak mawar kesumba
- yang selalu kau panggil aku "mawar yang tak merah dan tak putih"!
+ Mawar kesumba yang jelita mempesona itu?
- cepat, aku bukakan pintu!
aku bawa haru dan nestapa buatmu.
tapi jangan kau sambut aku dengan air mata, ya?
- seperti yang belum kenal saja.
aku Fabie yang sudah biasa bersahabat dengan mayanya dunia ini.
+ aku akan menginap di kamar hatimu, malam ini.
- aaah.. suatu yang luar biasa
sungguh-sungguh impian tentang bayangan.
selamat datang di pelaminan mimpi ini.
adakah ini perjalananmu yang terakhir?
+ tidak aku cuma mau menginap
- adakah bayangan itu malam ini akan kau berikan padaku?
+ aku cuma menginap.
- adakah malam yang berbulan ini akan kau berikan padaku?
+ aku cuma menginap.
- adakah malam ini akan kau proklamirkan cinta kita?
+aku cuma menginap...Fab, cuma menginap.
- baiklah aku akan mendampingimu
sampai matahari terbit
songsonglah ia
aku bersedia mengantarmu pada tujuan terakhir.

BDG '83

Rabu, 26 September 2007

thorn bird

The Thorn Bird


Konon ada seekor burung yang kicauannya sangat merdu
hanya satu kali saja dalam seluruh hidupnya.
Namun kicauananya itu paling merdu, paling indah diantara burung-burung lainnya yang ada di jagat raya ini.

Suatu hari ia meninggalkan sarangnya
ia mencari pepohonan yang berduri
ia mencari dan mencari sampai menemukannya.
Dan pada saat ia menemukannya
ia menyanyi dengan ria diantara duri-duri yang merangrang tajam itu.
Ia memilih satu duri yang paling tanjam dan panjang dan ia menancapkan tubuhnya.
Lalu mati.

Ia mengatasi kenyeriannya itu dengan menyanyi
sebuah nyanyian yang teramat indah, tak terkatakan.
Dan hingga kini dunia masih mendengarkan kemerduannnya.
Hm, Tuhan hanya tersenyum di surga sana
sebab toh akhirnya untuk segala yang terbaik
mesti dibayar dengan derita dan kepedihan.
Tragis memang.
Sekurang-kurangnya itu kata legenda.

Saya petik kutipan ini, saya coba terjemahkan alakadarnya, dari sebuah novelnya Coleen McCollough, The Thorn Bird. Yang menceritakan tentang kekerasan, rahasia, perbuatan-perbuatan keliru tapi tak bisa dikatakan sebagai dosa (innocence wronged)
keberanian, kelemahan, kebencian, cinta terlarang dan sex.
Menarik sekali. Kalau kita dekat ingin sekali saya menceritakannya. Seperti dulu kita suka bercerita tentang apa saja.
Pokoknya buku ini mau mengisahkan kisah cinta. Kisah tua dan sudah tertimbun debu sejarah. Tapi seperti benda antik, biar kumel dan jelek tetap saja bernilai dan menarik.

Yah, kisah hidup kita juga.
Saya coba simpulkan begini seusai membaca buku ini;
Mencinta sering berarti pintu terbuka, surat undangan untuk air mata kepedihan. Mengerikan tapi sekaligus menawan. Madu namun sekaligus bisa.
Mencinta seperti tabir labirin; dapat masuk tapi tak mudah keluar. Hanya bisa berputar-putar.
Semua jalan hanya menjebak. Seakan ya namun tidak, seakan tidak namun ya. Maya dan misteri. Lalu kita penat berfikir. Pada saat seperti itu kita hanya bisa menangis dan menghiba. Menyesal, apa yang mesti disesal? Mesti menunggu sampai kapan? Duhai jarak yang membentang, duhai waktu yang membelenggu.

hari minggu

MISTERI PASKAH DAN HARI MINGGU
SERTA PESAN PASTORALNYA
R.D. Fabie S. Heatubun, SLL

Pengantar
Tahun Liturgi adalah bahasa waktu yang menjadi medium untuk menghadirkan dan mengaktualkan misteri keselamatan atau "the sacred events" yakni penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus dalam frekwensi harian, mingguan atau tahunan. Sekaligus berperan sebagai medium yang digunakan oleh jemaat beriman untuk mengungkapkan dan mengalami misteri keselamatan tersebut. Keselamatan dapat dialami dalam waktu, dalam sejarah dan peristiwa-peristiwa temporal. Dalam hal ini keselamatan bukan sekedar dikenang dan dihadirkan tetapi memungkinkan untuk dialami kembali.
Tahun Liturgi itu mewadahi dan menjabarkan kristianitas itu sendiri, baik identitas, doktrin-doktrin (pengajaran) maupun pengudusan. Secara spiritualpun, tahun liturgi menjadi ritme yang menyehatkan, karena memberi kepastian dan keajegan dalam perayaan-perayaannya. Keserba jelasan dan keserbapastian itu memberi ketenteraman, ketenangan bahkan kebahagiaan, karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Secara spatial dan temporal manusia butuh orientasi, arah, posisi atau kiblat. Manusia itu butuh patokan, kapan awal dan kapan akhir, kapan mulai dan kapan selesai. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan pada orientasi ruang dan waktu itu bersifat arkhaik. Tempus et templum (waktu dan tempat kudus) disediakan dan didesain untuk memenuhi kebutuhan arkhaik manusia tersebut. Selain untuk memenuhi kerinduan manusia untuk kembali ke yang asali, ke yang ab origine (yang asli dan sejatinya) dan in illo tempore, ke yang sebagaimana awal dulunya terjadi. Dalam hal ini Tahun Liturgi mengaturnya.
Hari Minggu sebagai jeda mingguan secara spiritual menjadi berguna bagi kita yang ada dalam kultur yang ditandai oleh keserbatidak pastian, disorientasi waktu, kering dan hampa. Kultur yang fragmentaris membuat hidup kita menjadi kusut masai, yang pada gilirannya kita butuh untuk mengurai dan membenahinya kembali. Hari Minggu sebagai hari Tuhan sudah semestinya menjadi semacam oase yang dapat menyegarkan dan memberi arti dan makna hidup yang baru dan arah yang jelas. Bahkan bisa menjadi saat yang tepat untuk merayakan hidup itu sendiri. Bahwa ada gejala orang-orang sekarang tidak melihat lagi dan kurang mengindahkan hari Minggu sebagai dies dominica, hari Tuhan. Ada semacam kemerosotan secara pastoral dan spiritual, kiranya perlu upaya revitalisasi dengan katekese.

Misteri Paskah Sebagai Pusat dan Jantung Hati Tahun Liturgi
Misteri Paskah itu suatu realitas yang sangat kompleks dan krusial, namun serentak sesuatu yang sangat simpel dan bermakna tunggal saja, yakni bahwa Kristus yang bangkit dari antara orang mati itu adalah kebenaran dan kenyataan. Suatu kenyataan yang tak terpahamkan, karena misteri kebangkitan itu ada pada wilayah iman. Misteri Paskah, secara langsung atau tidak, mengandung muatan makna yang mingimplikasikan pemahaman mengenai; pertama, esensi Kristianisme sebagai Gereja (agama, yang mencakup institusi, doktrin dan ritualnya); kedua, esensi Liturgi sebagai ekspresi (pengungkapan) dan eksperiensi (peng-alam-an) iman, harapan dan kasih akan Misteri Paskah tersebut, serta realisasi keselamatan Kristus yang selalu hadir dalam Gereja dalam wujud tindakan liturgis. Ketiga, esensi Tahun Liturgi sebagai penjabaran Misteri Paskah itu sendiri.
Gereja menempatkan Misteri Paskah sebagai yang paling sentral dari seluruh aktifitas hidup umatnya. Ad intra Misteri Paskah (MP) menjadi titik konvergensi dan divergensi Kristianisme sebagai agama. Dalam arti agama dipahami sebagai jalan keselamatan dan kebenaran telah dipilih, dianut dan dihayati secara sadar atau tidak oleh orang Kristen. Kristus telah menyelamatkan manusia "melalui sengsaranya yang suci, kebangkitannya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan".[1] "Berkat wafat-Nya kematian telah ditebus; dan dalam kebangkitan-Nya kehidupan sekalian orang ditegakkan kembali.[2] Ad extra, Gereja menjadi sakramen keselamatan bagi dunia. MP menjadi wujud misteri Cintakasih Allah kepada semua manusia.[3]
Gereja selalu merayakan MP itu bukan hanya dengan memproklamasikan kembali kabar keselamatan yang tertera dalam Kitab Suci secara verbal, tetapi pertama-tama dengan menghadirkannya kembali peristiwa-peristiwa keselamatan (the saving events) hingga menjadi aktual kini dan disini. Pada waktu merayakan MP itulah jemaat beriman, dengan partisipasi aktifnya, masuk kedalam peristiwa penyelamatan dan penebusan itu. Secara simbolis, mereka mati, dikuburkan, dibangkitkan bersama Dia.[4] Partisipasi aktif kedalam "perayaan-peringatan" (commemorative celebration) MP ini memberi jaminan keselamatan. Disebut "perayaan-peringatan" mengartikan bahwa keselamatan itu menjadi riil hanya dengan melakukan peringatan dalam bentuk perayaan atau dengan bentuk perayaan yang esensinya sebuah peringatan. Disini makna sebuah perayaan liturgi yang bermakna anamnesis. Kenangan yang menghadirkan. Dihadirkannya misteri itu atau peristiwa keselamatan itu dengan upacara ritual.
"Perayaan-peringatan" MP itu pada dasarnya berwujud pujian atas kebaikan Allah yang tak terbatas kepada manusia. Pada saat pemuliaan Allah itu juga serentak terjadi pengilahian manusia. Perayaan-peringatan MP itu menjadi momen glorifikasi sekaligus divinisasi.[5] Suatu dimensi katabatik-anabatik yang saling mengandaikan. Allah beraksi dan manusia bereaksi atau tindakan ritual manusia yang berisi pujian syukur itu diganjar dengan keselamatan. Hanya melalui upaya merealisasikan misteri ini dalam perayaan Liturgi, keselamatan itu menjadi aktual dan konkrit. Ada pernyataan eksplisit tentang hal ini, "Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh "pengudusan" manusia dan "pemuliaan" Allah dalam kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya"[6]. "Perayaan-peringatan" MP dalam liturgi itu bukanlah melulu ritual yang simbolis namun sungguh-sungguh kenyataan Misteri Paskah yang sejati. Yang berlanjut terus dan dihadirkan dalam keabadian.
MP adalah realisasi dari rencana keselamatan Allah bagi kita semua. Dalam rencana keselamatan ini Kristus sebagai pusat dan puncak penebusan bukan hanya dirayakan tetapi pertama-tama digelar sebagai suatu tindakan atau diragakan kembali secara terus menerus sepanjang sejarah sebagai wujud nyata campur tangan serta perhatian Allah kepada manusia yang memuncak pada persatuannya dengan Kristus.
Di dalam Liturgi Kristus menyatakan dan melaksanakan MP. Selama hidup-Nya di dunia Yesus menyatakan dalam ajaranNya dan mengantisipasi dengan tindakan-Nya. Karya keselamatan itu, seperti dikatan diatas, bukan hanya diwartakan dalam wujud pewartaan sabda, tetapi pertama-tama diwujudkan dalam kurban dan sakramen-sakramen. Karya keselamatan itu ditunjukan dengan kehadiran-Nya. Ia hadir dalam umat Allah yang berkumpul; saat Sabda diproklamasikan; dalam diri imam serta dalam wujud Roti dan Anggur yang telah dikonsekrasi[7].
Aktifitas pastoral Gereja pada akhirnya memusat pada liturgi, karena liturgi merupakan sarana yang paling memungkinkan orang mengalami Misteri Paskah. Selain bukti ketaatankita pada perintah sakral Kristus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Dalam MP Allah menjadi manusia, taat bahkan sampai mati disalib bagi kita dan naik ke surga, mengungkapkan keilahian hidup-Nya kepada Dunia. Sehingga siapa yang mati atas dosa akan menjadi serupa dengan Kristus, sebagaimana dinyatakan oleh Paulus, "hidup bukan lagi bagi dirinya sendiri tetapi bagi dia yang telah mati dan bangkit".[8] Kenyataan ini terpenuhi dalam sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan juga Baptis yang menjabarakan MP itu sepanjang Tahun Liturgi.[9] Ketika kita merayakan MP, kita memohon kepada Allah agar mereka yang lahir kembali bersama Kristus (karena baptisan) agar hidup mereka berpegang pada sakramen yang telah mereka terima dengan iman. Dalam Konstitusi Liturgi mengatakan bahwa, "Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan."[10]
Struktur Liturgi Ekaristi yang terdiri dari dua bagian besar itu; Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, adalah aktualisasi MP. Sabda yang menjadi manusia, sebagai misteri inkarnasi, diwartakan dan dihadirkan kembali. Hal ini tampak dalam Liturgi Sabda. Dan tindakan penyelamatan (menderita-wafat-bangkit) yang dipadatkan dalam Perjamauan Malam Terakhir oleh Yesus bersama murid-muridNya, dihadirkan kembali dalam Liturgi Ekaristi secara sakramental. Ekaristi menjadi sakramen yang membari rahmat keselamatan kepada manusia. Dalam hal ini MP juga bermakna tindakan penebusan dosa manusia. Artinya tindakan penyucian atau pengilahian manusia. Manusia diangkat dan dipersatukan dengan Allah. Suatu wujud nyata bahwa Allah bertindak memuliakan martabat manusia.
Kristus, pada waktu disalib, menjadi puncak persatuan antara ke-Allah-an dan ke-manusia-an (theandrik). Pada waktu itulah secara real penyucian dan pemuliaan manusia dan juga serentak pemuliaan Allah. Cinta Allah pada manusia dan cinta manusia pada Allah bertemu dan bersatu padu. MP menjadi titik temu dimensi anabatik dan katabatik. Seturut dengan struktur tersebut, maka liturgi sebagai reaktualisasi atau representasi MP menjadi jelas. Dalam hal inilah tampak bahwa struktur dasar liturgi menunjukkan tindakan penyucian manusia dan pemuliaan Allah. Allah harus dimuliakan karena manusia telah dimuliakan oleh-Nya agar manusia diilahikan. Representasi peristiwa paskah ini menjadi hadir dan efektif melalui glorifikasi.
Paskah sebagai pusat dari sejarah keselamatan, analog dengan Paskah Yahudi. Kristus juga mengambil nilai-nilai yang ada pada pemahaman Yahudi, yakni Paskah sebagai 'lewat'-nya atau melewatinya manusia dari dunia ini menuju surga dengan penyuciannya lewat kultus dan upacara ritual. Kristus, melalui kurban diri-Nya sendiri, menyucikan manusia sebagai tindakan kultis-Nya. Pada waktu itulah sejarah keselamatan menjadi berpusat pada diri Kristus. Misteri Paskah (terutama mati-bangkit-kenaikan-Nya ke surga), menjadi Paskah sejati, unik dan abadi untuk seluruh dunia.
Paskah adalah pusat dan jantung hati liturgi. Disatu pihak, MP itu saling melengkapi dan saling membutuhkan antara Tahun Liturgi dan Liturgi itu sendiri. MP sebagai peristiwa terjadi dalam dan melalui waktu, unik dan abadi (epaphax) harus diaktualisir dalam waktu, persisnya dalam seluruh Tahun Liturgi. Wujud tindakan aktualisasi itu adalah "perayaan-peringatan" melalui liturgi. Dipihak lain, Sejarah Keselamatan itu menyatakan dirinya dalam MP, dan realisasinya dalam Paskah. Namun Paskah itu bukan hanya dilihat sebagai fakta sejarah yang telah terjadi. Dalam Liturgi, Paskah menjadi saat ritual. Menjadi upacara yang dihadirkan setiap saat seturut lingkaran harian, mingguan dan tahunan.
Paskah dalam Perjanjian Baru merupakan "momen ritual" yang sama dengan "momen sejarah". Paskah adalah suatu peristiwa, bukan sekedar suatu simbolisme dari Paskah Perjanjian Lama, meski struktur dasar ritual Paskahnya sama. Kristus telah mensintesakan dan memberi nilai baru atas Paskah Perjanjian Lama, menjadi MP. Maka dalam upacara ritual Paskah Kristus menunjukkan kehadiran-Nya secara nyata. Ritus (Liturgi) menjadi peristiwa keselamatan yang telah dilakukan Kristus sejak awal dunia.
Dokumen Liturgi[11] menunjukkan kehadiran MP Kristus secara aktual itu melalui simbol-simbol ritual. Disini ditekankan unsur misteri Paskahnya yang hadir, bukan perkara Kristusnya. Praesentia realis menunjuk pada peristiwa dan tindakan penyelamatan Kristus secara personal. Liturgi menjadi medium aktualisasi keselamatan yang telah dilaksanakan oleh Kristus. Jadi dalam liturgi bukan fakta real, karena liturgi merupakan aktualisasi Paskah berdasar pada misteri, lebih persis lagi berdasar pada (melalui) tanda-tanda real, yakni pada efikasi rahmatnya. Paskah sebagai fakta, dapat kita pahami dalam wujud "mati-bangkit-kenaikan Kristus" sebagai realitasnya; sebagai esensinya memberikan keselamatan atau keselamatan itu sendiri. Maka Liturgi (Ekaristi) menjadi Paskah par excellence yang pada gilirannya menjadi pusat dan puncak MP.
Liturgi adalah peristiwa yang menghadirkan 'peristiwa' Paskah. Peristiwa yang misteri menjadi kasat mata. Tahun Litugi menjadi momen-momen pendadaran MP. Dan Liturgi secara konkrit menjadi pengejawantahan misteri iman Kristen yang paling agung sebagai sumber hidup spiritual Kristen. Misteri Paskah itu pada hakekatnya adalah misteri ibadat atau liturgi sebagai wujud dari ibadat Gereja. Misteri Paskah itu harus selalu diwujudnyatakan sesuai dengan perintah Kristus sendiri; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Misteri liturgi adalah juga misteri Gereja bukan hanya menunjukkan hakekat dan tujuan misi Gereja, yakni liturgi, namun pertama-tama karena liturgi menjadi saat peleburan (pengalaman fusi) tubuh mistik Kristus (jermaat beriman) dengan Kristus sendiri. Dalam Liturgi MP itu hadir dan real secara objektif namun bersifat sakramental. Misteri keselamatan, misteri Imamat Kristus, Misteri Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dan misteri Liturgi menjadi konkrit dan menjadi tindakan nyata. Disinilah Perjanjian Baru merupakan wujud Misteri Paskah Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia dan menjadi kasat mata dalam wujud in forma servi[12].

Menghayati Tahun Liturgi
Liturgi, terutama Liturgi Ekaristi, selain mengekspresikan penyucian waktu dalam tiga lapis lingkaran; harian, mingguan dan tahunan, juga menyucikan jemaat beriman yang merayakannya. Liturgi mengungkapkan bagaimana misteri keselamatan dalam Kristus terjabarkan dan meresap kedalam seluruh lingkaran tahun kosmis. Tahun Liturgi, yang dengan istilah lain dapat disebut "tahun perayaan-peringatan", merupakan saat dimana kita dapat memperoleh keselamatan sepanjang tahun. Menghayati Tahun Liturgi (TL) pada hakekatnya adalah partisipasi aktif kedalam Misteri Kristus yang pusatnya adalah MP sendiri. "Perayaan peringatan" misteri Kristus itu bertautan erat sekali dengan TL.
Tahun Litugi adalah saat-saat terjadinya perpaduan peristiwa pengenangan yang menghadirkan (anamnesis) dalam bentuk imitasi ritual (mimesis), sebagaiman dikatakan juga oleh Yesus; "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Perpaduan kedua peristiwa tersebut yang pada gilirannya menciptakan keselamatan, karena dilaksanakan dalam konteks sakramental, dan menjadi saat jemaat berkompasi menyatu dengan derita, wafat dan bangkitnya Tuhan. "Perayaan-peringatan" dan TL tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri. Misteri Paskah terjadi dalam waktu (dalam sejarah), aktualisasi dan representasinyapun hanya mungkin dalam waktu, dalam lingkaran kalender TL. TL hanya mungkin diwujudkannya dalam bentuk peristiwa perayaan yang mengaktualkan peristiwa penyelamtan yang dilakukan oleh Kristus.
Kristus adalah Kairos, Dia itu adalah keabadian (Alfa dan Omega). Kebadian itu hanya mungkin dipersepsi (diindrai) melalui peristiwa "peringatan-perayaan" yang ada dalam waktu. Kairos itu dapat diraba, dilihat, bahkan dapat dicecap dalam perayaan atau upacara ritual. Dalam hal ini Tahun liturgi menjadi suatu persona, pribadi Kristus sendiri. Pengalaman pertemuan dan persatuan dengan Kristus dalam liturgi menjadi real.
Dalam TL Sabda Allah yang diwartakan, dikotbahkan dan diritualkan serta upacara simbolik lainnya (verbal dan gestural) adalah peristiwa inkarnasi Misteri Paskah, yang dapat disebut sebagai Misteri yang menjadi misteri. Atau dapat dikatakan juga bahwa "perayaan misteri" menjadi "misteri perayaan". TL menjadi medium untuk menjabarkan misteri tersebut. Maka MP sebagai fokus dan nukleus perayaan menjadi paling esensial sekali dalam TL. Itulah sebabnya MP harus diberi prioritas diatas devosi-devosi, pesta dan peringatan-peringatan lainnya[13].
Tahun liturgi bermanfaat bagi jemaat secara spiritual agar iman, harapan dan kasih mereka akan MP dapat lebih dialami dan diungkapkan sebagaimana dijabarkan sepanjang tahun. Liturgi menjadi saat eksperiensi dan ekspresi keutamaan teologal tersebut. "Peringatan-perayaan" lainnya[14] hendaknya mengungkapkan pembaharuan kembali Misteri Paskah Kristus atau peringatan dan perayaan lainnya itu hanyalah merupakan penggemaannya. Perayaan sepanjang TL itu bukan sekedar peringatan bahwa Yesus telah menyelamatkan manusia dengan kematian, kebangkitan-Nya, tetapi pertama-tama lingkaran TL itu memiliki kekuatan atau daya sakramental yang luar biasa untuk menguatkan hidup orang Kristen[15].

Hari Minggu Sebagai Nucleus Tahun Liturgi
Misteri Paskah menempati posisi yang sentral dalam "perayaan-peringatan" liturgi. Dokumen menyebutnya sebagai "hari-hari raya Tuhan"[16] yang didalamnya dirayakan misteri-misteri keselamatan yang lebih menjadi prioritas daripada pesta-pesta para kudus. Maksudnya agar misteri keselamatan itu dirayakan secara 'ajeg'. Disinilah peran dan makna hari Minggu menjadi sangat penting. Dalam Gereja Katolik Roma, Hari Minggu menjadi taktergeserkan kecuali oleh pesta-pesta Tuhan seperti; Pesta Keluarga Kudus, Baptisan Tuhan, Tritunggal Mahakudus, Kristus Raja, serta hari-hari raya lainnya. Perayaan lainnya yang boleh dilakukan pada Hari Minggu hanyalah Kelahiran Yohanes Pembatis, Rasul Petrus dan Paulus, Hari raya SP Maria diangkat ke Surga serta Pesta-pesta pelindung setempat. Maka pada masa Adven, masa Puasa dan masa Paskah Hari Minggu diprioritaskan secara mutlak. "Hari Minggu itu pangkal segala pesta"[17]. Perayaan MP pada hari Minggu erat sekali hubungannya dengan liturgi Pekan Suci. Konstitusi Liturgi menegaskan bahwa "[Hari Minggu] umat wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus"[18]. Meskipun MP secara umum dirayakan pada setiap hari Minggu dan secara khusus dirayakan pada Pekan Suci dan Paskah, tetapi "kwalitas" MP itu tidak berarti Paskah dan hari minggu itu dimensi sakramentalnya lebih rendah yang satu dengan yang lainnya.
Untuk menyatukan MP itu tradisi Gereja telah menentukan jenjang waktu selama 50 hari sebagai "Hari Minggu Agung". Lima puluh hari itu bermuatan makna sebagai "satu hari". Pedoman kalender menegaskan, "Waktu limapuluh hari, dari Minggu Paskah sampai hari Minggu Pentakosta, dirayakan dengan penuh sukacita sebagai satu perayaan besar, sebagai "Hari Minggu Agung"[19]. Suatu tradisi "perayaan-peringatan" yang sudah ada sejak abad ke-2 yang dipahami sebagai kelanjutan dari MP. Dalam penanggalan liturgi masa 50 hari tersebut terdiri atas 7 hari Minggu. Oktaf Paskah berakhir pada hari Sabtu setelah Paskah. Selama hari-hari tersebut kwalitasnya disamakan dengan hari Minggu.[20]
Keagungan MP dikembangkan oleh Gereja dengan menekankan unsur intensitas dari seluruh MP itu dengan memadatkannya selama 50 hari mulai dari Paskah hingga Pentakosta. Namun serentak juga bermakna unik dan tunggal sebagai suatu perayaan sakramental, bersama dengan para baptisan baru dan para pentobat, menjadi "satu hari"; yang disebut hari Alleluia. Hari Alleluia itu kemudian akan dimahkotai oleh perayaan Pentakosta.
Dalam Perjanjian Baru hari Minggu yang disebut juga sebagai "hari pertama"[21] dalam pekan, "hari kedelapan"[22] atau "hari Tuhan"[23], sudah mendapat tempat sangat istimewa. Bukan sekedar untuk membedakan dan menjadi reaksi negatif atas tradisi semitis yang menempatkan hari Sabat sebagai hari yang harus dijunjung tinggi, tetapi karena hari Minggu itu sebagai hari kebangkitan Tuhan dan hari penampakan[24], juga sebagai hari turunnya Roh Kudus[25]. Bahkan hari Minggu (setiap hari Minggu) juga merupakan hari yang ditetapkan Paulus untuk mengumpulkan dana, bantuan, derma atau tindakan karitatif yang konkrit.[26]
Disebut "hari pertama" tentu saja memiliki dimensi teologis yang mendasar. Bagi Gereja awal "hari pertama" bermakna "penciptaan baru"[27]. Peristiwa kebangkitan yang terjadi pada hari Minggu itu mensyahkan kosmos baru. Makanya hari Minggu ini harus dihormati dan dikuduskan. Konkritnya, sejalan dengan tradisi hari Sabat Yahudi, pada hari Minggu itu tidak diperkenankan untuk bekerja (opera servilia). Pelanggaran akan aturan ini, secara sosiologis, dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dihukum cambuk atau denda dengan uang.[28] Pada abad Pertengahan, kelalaian atau sengaja tidak memenuhi kewajiban Misa Hari Minggu dianggap sebagai dosa besar. Suatu fenomena sejarah yang menempatkan keisitimewaan dan keluhuran hari Minggu.

Beberapa Saran Pastoral
Liturgi pada hakekatnya bersifat pastoral dan kateketis baik sebelum, sewaktu atau sesudah pelaksanaan perayaannya. Frekwensi "perayaan peringatan" misteri Paskah mengandaikan intesitas, seperti kata pepatah repetitio mater scientiam est (pengulangan itu ibu pengetahuan). Dalam perayaan liturgi, iman, harapan dan kasih jemaat beriman bukan hanya dididik, diperdalam, diperluas atau didewasakan, tetapi juga menjadi saat pengungkapan dan peng-alaman-nya. Sabda Allah yang diwartakan dan dibahas dalam homili serta perayaan secara simbolik gestural yang menciptakan pengalaman religius dan pengalaman pertemuan dengan yang misteri akan memantapkan iman harapan dan cinta jemaat. Bahkan dalam perayaan liturgi inilah seseorang bisa menjadi beriman. Karena liturgi menjadi momen pewahyuan.
Pastoral artinya seni membimbing dan membawa umat kepada Kristus dan membawa Kristus kepada umat. Suatu seni mempertemukan. Dalam hal ini Liturgi secara pastoral dapat diartikan sebagai upaya membawa jemaat agar dapat mengekspresikan dan mengalami pertemuan dengan Allah secara baik, benar, dan berdayaguna, yang pada gilirananya mereka dapat memulyakan dan memperoleh pengudusan.
Hari Minggu sebagai hari Paskah mingguan, dapat disebut sebagai hari umat Kristiani, hari raya yang mendasar. Secara kwalitatif lebih bermakna spiritual dan lebih tinggi daripada hari-hari yang lain.[29] Maka Misteri Paskah, yang dijabarkan dalam masa persiapan dan pengembangannya, adalah pusat pengungkapan dan penghayatan iman (juga harapan dan kasih) Gereja kepada Allah, oleh karenanya kemeriahan (solemnitas) perayaan liturgi mendapat prioritas utama dibandingkan dengan masa lainnya. Dan karena Misteri Paskah itu sentral bagi kehidupan umat beriman, maka hari Minggu menjadi saat yang paling dianjurkan untuk merayakan dan berpartisipasi aktif kedalam Misteri Kristus itu. Pada setiap hari Minggu umat memperingati sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Kristus dan bersyukur atas penyelamatanNya. Wajarlah bila persiapan dan pelaksanaan liturgi yang baik, indah dan benar menjadi sangat penting agar umat dapat menimba manfaat dari peristiwa keselamatan tersebut. Liturgi yang baik, benar dan indah itu membangun iman jemaat, namun juga iman jemaat menentukan liturgi yang baik. Spontanitas, improvisasi dan kreatifitas murahan yang merusak keluhuran liturgi Hari Minggu harus dihindarkan.
Masa Natal misalnya, yang secara tradisi dirayakan dan dipersiapkan lebih meriah oleh umat daripada masa Paskah, mestinya umat menyadari keunggulan MP. Inkarnasi dan kelahiran Allah memang penting, namun kebangkitan paling menentukan keselamatan manusia. Perayaan Natal itu merupakan misteri atau hanya peringatan ulang belaka? Begitu juga secara liturgis ada kejanggalan makna. Bila liturgi (eg. Ekaristi) pada dasarnya "anamnesis" atas menderita, wafat dan kebangkitan Kristus, bagaimana jadinya Perayaan liturgi Natal? Sementara Kristus baru lahir![30]
Paskah mingguan, secara pedagogis, sebagai suatu perayaan misteri Kristus itu amat berguna untuk menumbuh kembangkan spiritual Kristen baik secara pribadi maupun secara komunitas beriman. Yang pada dasarnya hidup kristen merupakan suatu jiarah iman dan jiarah hidup untuk menjadi serupa dengan Kristus. Seperti dikatakan oleh Dom Odo Casel, OSB, "Like a path that goes around and up a mountain, slowly making the ascent to the height, we are climb the same road at a higher level, and go on until we reach the end, Christ himself".[31] Suatu upaya kita sepanjang tahun liturgi melalui tindakan ritual yang teratur untuk mengenal, mencintai dan mengalami misteri Kristus. Pere Guaranger seorang Benediktin[32] yang mendalami makna Tahun Liturgi menegaskan bahwa perayaan liturgi yang dilakukan sepanjang Tahun Liturgi adalah "pembentukan Kristus dalam diri kita". Hari Minggu menjadi saat dan tempat seseorang menjadi benar-benar Kristen per definitionem. Lebih jauh lagi Odo Casel, OSB[33] meyakini bahwa partisipasi aktif kedalam misteri Paskah yang dirayakan dalam Liturgi memberikan jaminan keselamatan. Artinya hanya bagi mereka yang merayakan dan masuk terlibat aktif yang akan memperolehnya. Tidak dijanjikan bagi mereka yang tidak merayakannya. Disini menjadi jelas bila struktur dasar perayaan liturgi dimengerti sebagai momen glorifikasi dari manusia dan divinisasi dari Allah, maka liturgi mingguan menjadi saat dan tempat ketika kita membutuhkan berkat, kekuatan dan pengudusan dan rekonsiliasi dengan Allah. Memuliakan Allah dan mengucap syukur tentu bisa kapan saja, namun ketika hari Minggu menjadi hari yang istimewa karena kesakralannya, maka menjadi momen yang tepat dan istimewa karena ab origine dan in illo tempore misteri-misteri Kristus itu terjadi pada hari Minggu. Mengikuti pernyataan Konstitusi Liturgi bahwa , "berdasrakan Tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu".[34] Glorifikasi mingguan yang dihunjukan melalui upacara ritual setiap hari Minggu itu menjadi suatu imperasi dan semestinya dihayati sebagai hari penuh syukur.

Bahan Acuan:
1. Adam, Adolf, The Liturgical Year, The Pueblo Book, New York, 1981
2. Casel, Odo, The Mystery of Christian Worship, The Newman Press, London, 1962
3. Chupungco, Anscar, J., Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, Pueblo Book, Collegeville, 2000
4. Dies Domini, Seri Dokumen Gerejani, no. 45, Jakarta, 1999
5. Documents on the Liturgy, 1963 - 1979; Conciliar, Papal, and Curial Text, The Litugical Press, Collegeville, 1982.
6. Maxima redemptionis nostra mysteria, 16 Nov., 1955; AAS no 47 (1955)
7. Missale Romanum (Tata Perayaan Ekaristi), Kanisius, Jogjakarta, 1979.
8. Neunheuser, B., (et al), Anamnesis: La Liturgia momento nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992.
9. Normae Universales de Anno Liturgico et de Calendario, 21 Maret 1969, Bina Liturgia 2E, Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
10. Pedoman Pastoral Liturgi, PWI-Liturgi, Kanisius, Jogjakarta, 1973.
11. Sacrosanctum Concilium, Seri Dokumen Gereja no. 9, Dokpen KWI, Jakarta, 1990.
12. Vagaggini, Cypriano, Theological Dimensions of the Liturgy, The Litrugical Press, Collegeville, 1976.
[1]Cf. Sacrosanctum concilium. No. 5
[2]Cf. Missale Romanum, Prefasi Paskah II.
[3]Cf. Gaudeum et Spes, no. 45.
[4]Lih. Rm 6, 4; Ef 2,6 dan Kol 3, 1
[5]Lih. SC. No 6
[6]Lih. SC no. 10
[7]Lih. SC no.7
[8]Lih. 2Kor 5, 15
[9]Lih. Inter oecominici. No.6
[10]Lih. Sc. 102
[11]Lih. SC no. 6
[12]Lih. Cipriano Vagaggini, Theological Dimension of the Liturgy, Collegeville, The Liturgical Press, 1976, p. 325 passim.
[13]Cf. Mysterii Paschalis, dalam Document of the Liturgi, no.440
[14]Dalam Gereja katolik misalnya perayaan peringatan Bunda Maria dan Santo-santa.
[15]Lih B.Neuenhauser, (et.al), Anamnesis; La liturgia nella storia della salveza, Marieti, Genova, 1992
[16]Lih. SC. No. 108
[17]Lih. SC no. 106.
[18]Ibid
[19]Lih.NUALC. No.4 (Normae Universales de Anno Liturgicae et de Calendario, 21 Maret 1969. Dalam Bina Liturgia 2E Komlit KWI, Jogjakarta, 1988.
[20]Ibid. No.24
[21]Lih. Kis 20, 19.
[22]Lih Yoh 20, 26
[23]Lih Why 1, 10
[24]Lih. Mt 28, 9; Lk 24, 13ff dan 36; yoh 20,19ff.
[25]Lih Kis 2, 1ff dan Yoh 20, 21-23.
[26]Lih 1Kor 16, 1-2.
[27]Lih 2 Kor 5, 17.
[28]Cf. Adolf Adam, The Liturgical Year, Pueblo Publishing , New York, 1981, pp.44-45.
[29]Cf. Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Dies Domini, Seri Dok Gerejani no. 45. hl. 9.
[30] Mana lebih penting saat kelahiran seorang Giovanni Battista Montini atau saat terpilihnya dia sebagai Paus yang kemudian dia menjadi Paus Paulus VI? Kata Vagaggini. Sekedar untuk membandingkan signifikasi Natal dan Paskah.
[31]Lih. Odo Casel, The Mystery of Christian Worship, edited by Burchard Neunheuser, OSB, The Newman Press, London, 1962.
[32]Lih. Anscar J. Chupungco, Handbook for Liturgical Studies. Liturgical Time and Space, A Pueblo Book, Collegeville, 2000, p. 318
[33]Ibid
[34]SC. No 106

doa




DOA SYUKUR DAN PERMOHONAN
UNTUK PROF. WIMPY SANTOSA



Tuhan sumber kebenaran, kebaikan dan muara keindahan
Hari ini menjadi saat yang penuh syukur bagi kami komunitas akademis
Karena anugerah yang Kau curahkan pada diri kolega kami Wimpy Santosa
Dia telah berihtiar siang-malam, lahir batin tanpa kenal lelah
Telah mempertaruhkan segalanya untuk meraih sumber dan meniti muara ilmu pengetahuan
Untuk mencicipi hakekat, guna dan makna: kebenaran, kebaikan dan keindahanMu
Di tengah malam yang gelap kadang merasuk akal, pikiran dan jiwa yang membuat dirinya bertanya kalut berkabut
Di tengah jalan yang tak lempang, licin, gamang dan penuh persimpangan
Yang di setiap pertanyaan selalu dijawab dengan pertanyaan-pertanyaan ulang
Sedangkan terang matahari siang sering menjadi fatamorgana yang menyilaukan, meragukan dan membingungkan mana yang semu dan mana yang sejati
Hari-hari kadang menjadi merjan-merjan air mata derita dan putus asa
Kini dia Kau perkenankan mencicipi, ya...sekedar mencicipi segarnya kebenaran, kebaikan dan keindahanMu sebagai seorang intelektual
Seperti mimpi, setengah tak percaya
Senyumnya kini menjadi senyum kami juga
Kegembiraannya kini menjadi kegembiraan kami juga
Kebahagiaannya kini menjadi kebahagiaan kami juga
Syukurnya kini, disini, di tempat ini tentu menjadi syukur kami juga.

Namun hari ini menjadi saat yang penuh permohonan pula
Sebutan mahaguru, guru agung, guru besar yang boleh disandangnya bukanlah pameran kebanggaan untuk dipertontonkan
Bukanlah gelar untuk dipagelarkan agar gelegar tepuk tangan kebanggaan mentakaburkan
Namun untuk diabdikan
Untuk diejawantahkan dalam kehidupan
Dia yang telah mencicipi kebaikanMu buatlah bersedia pula untuk membagikan dan menunjukkan pada mereka yang dahaga dan mencari sumber kebenaran, kebaikan dan muara keindahan yang berawal serta berakhir pada-Mu juga
Memberi tahu kepada yang tidak tahu
Mencerahkan mereka yang berada dalam kegelapan
Mengajar kebenaran pada mereka yang keliru dan sesat
Menunjukkan teladan kebaikan nyata pada mereka yang terjerat oleh teori-teori verbal dan konsep-konsep hampa
Kami memohon kepadaMu ya Tuhan buatlah agar wujud tetap tidak menyalahi hakekatnya
Guru besar, hamba ilmu, yang tidak menyalahi keagungannya dalam pengabdian
Tak kenal lelah apalagi pamrih seperti ketika dia berihtiar untuk meraihnya
Permohonan kami ini adalah permohonan dia juga.

Tuhan, sumber kebenaran dan kebaikan serta muara keindahan
Akhir dari ilmu adalah keindahan
Pengetahuan dan kearifan; mengental dan mengkristal dalam keindahan
Cinta dan kebahagiaan, harmoni dan kesepahaman adalah buah-buah keindahan
Seperti pesta intelektual ini yang indah, seperti komunitas akademis ini yang harmonis
Dengan kuasa berkatmu, semoga esok lusa akan melahirkan mahaguru-mahaguru lain yang juga berani mempertaruhkan hidupnya untuk menyusuri sumber kebenaran dan kebaikan yang bermuara pada keindahan.
Amin.


† fabie 17 des 2005

devosi 2

DEVOSI: Sakramen Mahakudus

Terminologi:
Dalam arti umum (profan), devosi berasal dari bahasa Latin de­votio (kata benda) atau devovere (kata kerja) yang artinya 'mencurahkan perhatian se­penuhnya pada' atau 'memasrahkan diri pada'. Senada dangan istilah 'dedikasi' yang mem­punyai muatan makna 'menyatakan pe­nyerahan diri pada sesuatu' dalam bentuk pemujaan atau pengagungan serta dalam wujud pengabdian pada sesuatu.
Dalam arti khusus (sakral), term de­vosi menunjuk pada ibadah dan pemujaan serta kepasrahan dalam menggantungkan diri pada realitas yang suci, menjadikannya tempat untuk memohon, mengadu atau memakainha sebagai perantara kepada Allah; baik kepada santo-santa, sifat-sifat ilahi dari Yesus Kristus ( seperti Hati Kudus, Salib Suci, Lima Luka Yesus, Kristus Raja), Trinitas, Roh Kudus, salah satu misteri hidup Kristus, Bunda Maria atau kepada Sakramen Mahakudus, dsb.
Dalam arti profan maupun sakral, kata devosi mengandung elemen-elemen seperti afeksi manusia, penghormatan, rasa segan, respek dan kagum, perhatian yang luarbiasa, kesetiaan dan cinta yang meluap. Sasarannya, dalam arti ini sebagai mediumnya, bisa me­rupakan suatu objek (materi dan benda mati), seseorang (pribadi) atau juga realitas yang abstrak (amorph, spirit). Devosi ini tidak hanya merupakan perasaan yang tersembunyi dalam hati, tetapi pertama-tama tampak dalam per­buatan dan tindakan pemujaan dan pe­nyembahan. Devosi menjadi ekspresi dari apa yang menjadi kecintaannya.
Dalam Bahasa Indonesia kata devotio itu diterjemahkan tetap dengan kata 'devosi'. Pedahal sudah ada padanannya seperti kata 'bakti'. Dalam Bahasa Sanskerta, kepasrahan diri (self-surrender) yang disebut prapatti ditunjukkan dalam tindakan nyata, sebagai ekspresinya, yang disebut bhakti. Maka bila sikap dasar dalam devosi adalah cinta yang afektif, dan devosi itu juga mengandung unsur tindakan yang nyata, lebih baik devosi itu diterjemahkan menjadi cinta-bakti. Perasaan itu tidak pernah membuat jasa, ia mem­butuhkan tindakan yang nyata. Devosi me­muat makna cinta yang diwujudkan dalam tindakan tertentu. Karena ada cinta maka mengandaikan ada bakti, adanya bakti berarti karena ada cinta.
Lebih tajam lagi devosi itu harusnya merupakan wujud transformasi diri (self-transformation) dimana bukan lagi aku yang hidup, melainkan yang menjadi objek devosi­kulah yang hidup. Maka hidupku menjadi hidup devosional yang berporos pada siapa atau apa yang menjadi wujud devosiku. Aku menjadi "cangkang" bagi "isi". Bukan hanya "bakti" yang menjadi wujud nyata keter­gantungan, penyerahan, dedikasi dan kese­tiaanku pada objek atau persona tertentu. Tetapi juga seluruh hidupku, roh dan spiritku dijiwai oleh yang menjadi devosiku. Istilah "devout" biasa dipakai untuk menyebut orang yang hidupnya penuh dengan dedikasi pada pribadi ilahi tertentu.
Kata bhakti dalam Hinduisme ini dipakai untuk membedakan dengan term puja sebagai bentuk penyembahan yang bersifat resmi dan terstruktur. Seperti dalam bahasa Arab ibadah, yang menunjuk pada tindakan devosional, mempunyai akar kata abd yang berarti abdi atau hamba. Jadi sebuah ibadah selalu mengandaikan sikap dasar seorang hamba yang bersujud pada Allah. Term ibadah ini untuk membedakan dengan term salat yang menunjuk pada aktifitas penyembahan secara formal.
Kita melihat adanya kerancuan ter­minologis untuk menggambarkan sikap de­vosional itu. Kata-kata seperti pemujaan atau sembahyang, kebaktian dan ibadat sering disamakan atau diacak pemakaiannya. Pada gilirannya istilah devosi menjadi terasa asing bila diterjemahkan dengan cinta-bakti atau ibadah misalnya. Tetapi bila dikembalikan pada arti kata sejak awalnya mempunyai makna dan arti perasaan cinta yang diuang­kapkan dengan tindakan tertentu, cinta bakti cukup tepat. Tepat bukan karena kata aslinya tetapi juga kata yang idealnya dipahami. Se­hingga bila term ini dipakai dalam konteks iman, menjadi iman yang menuntut tindakan. "Iman tanpa tindakan adalah mati", begitu kata St. Paulus.
Maka devosi itu tidak berpusat pada diri sendiri yang berkisar pada sentimentalitas keagamaan belaka. Devosi juga tidak menjadi tempat mencari hiburan rohani atau jalan pintas memperoleh rahmat Allah yang infantil. Tetapi justru sumber energi dan spirit untuk me­nunjukkan cinta pada Allah yang direalisasikan pada sesama. Atau, ketika dilihat sebagai medium untuk mentransformasi diri, devosi menjadi cara hidup menurut model hidup yang menjadi objek devosi.

M
embedakan Liturgi
Dengan Devosi
Liturgi dan devosi memiliki struktur dasar yang sama yakni doa. Suatu bentuk doa yang didalamnya terkandung unsur-unsur adorasi (penyembahan atau pemujaan), pujian syukur, ungkapan terimakasih, permohonan atau juga silih atas dosa-dosa. Begitu pula sikap yang dituntut dari doa yang liturgis dan devosional itu adalah kasih akan Allah. Selain daripada itu, doa itu selalu merupakan ke­kuatan untuk hidup. Disni kita ingat pepatah Ora et labora. Berdoa dan karya, seperti refleksi dan aksi menjadi dua aktifitas yang saling memaknai. Lalu apa yang membedakan devosi dengan Liturgi? Jawaban sementara yakni unsur individual-komunal atau privat-publik dan kerakyatan-institusional.
Semua doa sudah seharusnya personal. Artinya manakala kita berdoa -berbicara dengan Allah- pikiran dan perasaan kita itu sudah semestinya terlibat. Apa yang dikatakan itu sepadan dengan yang dipikirkan dan dira­sakan. Namun ada doa-doa yang diungkapkan itu sifatnya individual (private).[1] Doa yang individual itu tidak mengenal aturan. Bebas. Dimana saja, kapan saja dan bagaimanapun sikapnya, tidak ada yang mengikat. Termasuk lamanya, diucapkan secara keras atau dalam hati, spontan atau membaca.
Doa devosional bersifat individual, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara komunal, secara bersama-sama dengan orang lain. Karena individual, doa devosional itu bersifat afektif dan senti­mental. Unsur perasaan mendapat tempat istimewa. Artinya meskipun doa itu dila­ksanakan bersama-sama, kepentingan individu, pengalaman pertemuan dengan Allah, pe­ngalaman fusi (keterleburan), kepuasan rohani, perasaan tersentuh dan terharu mendapat perhatian kusus. Malah mungkin hal-hal ter­sebut yang sangat dicari dan diciptakan.
Sebaliknya doa liturgis itu sifatnya komunal atau kolektif. Doa liturgis meng­ungkapkan doa seluruh Gereja. Gereja -Tubuh misitik Kristus- yang berdoa. Jadi ketika kita berdoa, kita berdoa bersama Dia, dalam Dia dan melalui Dia, dalam persatuan dengan Roh Kudus menuju Allah Bapa. Liturgi suci itu adalah ibadat yang bersifat umum (publik), maka mengenal kaidah-kaidah yang mengikat. Artinya tidak bebas. Unsur kepentingan indi­vidu menjadi sekunder dan unsur kebersamaan mendapat tempat istimewa. Jadi manakala berdoa, umat Allah tidak mengekspresikan hal-hal yang sifatnya pribadi namun sebagai ang­gota dari Gereja. Oleh karenanya doa liturgis disebut sebagai doa ofisial atau doa resmi. Dan sesuai dengan asal katanya 'liturgi' yang berarti kerja bakti umum. Doa liturgis adalah ibadat imamat sakramental Gereja, yang membedakan dengan doa-doa devosional yang yang individ­ual.
Secara garis besar doa itu dibagi men­jadi dua macam. Pertama, disebut dengan cultus publicus yang disebut juga dengan nama 'Doa Gereja' yang bersifat formal dan yuridis dan terikat secara institusional. Yang kedua, disebut cultus privatus yang disebut juga dangan nama 'Doa Pribadi' yang bersifat indi­vidual dan informal, yang merupakan ekspresi iman kerakyatan.
Cultus privatus menunjuk pada cara berdoa yang bersifat pribadi dengan cara dan sikap pengungkapannyapun secara pribadi. Si pendoa berdoa di hadapan Allah tanpa orang lain dan demi kepentingan pribadi.
Cultus privatus biasa dilakukan diluar upacara liturgi resmi. Maka disebut juga dengan nama-nama seperti doa 'non-liturgis', doa 'ekstra-liturgis' atau doa 'para-liturgis'. Ada tiga tipe doa 'para-liturgis' itu; pertama, doa yang sifatnya lokal dan hanya dilakukan dalam skop keuskupan tertentu, dengan bukunya tersendiri. Sehingga disebut juga dengan nama 'liturgi diocesan'. SC 13[2] mengkategorikan model doa tersebut dengan istilah sacra exer­citia; yang kedua, disebut dengan nama pia exercitia menunjuk pada aktifitas bedoa yang juga dilakukan di mana saja namun tidak termasuk kategori liturgi. Misalnya Doa Ro­sario, Jalan Salib, Persekutuan Doa Karis­matik, dsb.dsb.; yang ketiga, yakni doa-doa tertentu yang dilakukan secara pribadi atau oleh suatu keluarga tertentu. Misalnya devosi pada "Doa untuk menghormati 5480 pukulan pada Tubuh Yesus", "Doa tiga Salam Maria", "Doa Malaikat Allah", dsb, dsb., yang kadang dipadukan juga dengan doa-doa harian seperti doa pagi, siang, dan malam.
Doa liturgi dan 'non-liturgi' (devo­sional) secara teologis dibedakan dengan dimensi 'anamnesis' dalam upacara atau peng­ungkapannya. Dimensi anamnesis itu ditun­jukkan dengan mengembalikan hakekat upa­cara liturgi itu sendiri sebagai 'perayaan-penge­nangan' yang menghadirkan. Maksudnya, bahwa manakala liturgi digelar atau diragakan, peristiwa penyelamatan (the saving events); yakni penderitaan, mati dan kebangkitan Kristus itu dikenang dan dihadirkan kembali disini dan kini. Anamnesis ini selalu mengan­daikan kata-kata, cara-cara dan materia secra simbolis yang sama dengan yang semula (e.g. kisah institusi, roti dan anggur). Lebih dari itu doa-doa liturgis selalu bersifat sakramen, sedang doa-doa devosional (non-liturgis) bersifat sakramentali.
Pia exercitia dan sacra exercitia sangat dianjurkan oleh Gereja sejauh sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja. Tingkat Konferensi Waligereja mem­punyai otoritas untuk menentukan mana yang sehat dan mana yang sesat.
Gereja menganjurkan umat untuk berdevosi karena diandaikan akan memperkaya doa-doa liturgi resmi. Liturgi dan devosi tidak bertentangan. Liturgipun tidak seharusnya menyingkirkan devosi, tetapi justru seharusnya membimbing dan memberi pengaruh yang positif untu perkembangan spiritual. Devosi itu pelayan yang sangat membantu liturgi. Meski demikian devosi itu bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesempurnaan doa Kristen.
Bila kita mengamati SC. no 13[3], tam­pak bahwa Konsili tidak melarang praktek-praktek devosi populer. Sebaliknya justru sangat mendukung, meski dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya harus memperhatikan masa-masa liturgi, sesuai dengan, bahkan, bersumber pada Liturgi. Karena liturgi tetap ditempatkan sebagai jenis doa yang lebih sempurna daripada yang non-liturgi atau yang devosional.
Doa Liturgi adalah pusat dan puncak hidup Kristiani. Untuk menimba kekuatan spiritual dan menjadi arah tujuan hidup Kristen terletak disana. Tujuan misiologis kitapun ada pada liturgi. Seperti yang dinyatakan oleh SC no.10, "Sebab usaha-usaha kerasulan mem­punyai tujuan ini: supaya semua orang me­lalui iman dan Baptis menjadi putera-puteri Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Korban, dan menyantap perjamuan Tuhan." Liturgi menjadi titik konvergensi dan diver­gensi hidup Kristiani.

K
arakter Dasar
Doa Liturgis:
Berdasarakan SC no.7, no.10 dan no.24 dapat dilihat karakteristik dari doa Liturgi atau doa yang bersifat institusional itu:
1. Doa Liturgis itu berakar pada dina­mika kehadiran Kebangkitan Kristus dalam Gereja-Nya. Unsur anamnesis menjadi kriteria dasar. Menciptakan keselamatan dan sekaligus menyelamatkan bagi mereka yang ber­partisipasi kedalam peringatan-perayaan misteri tersebut. Bila tidak ada unsur anamne­sis bukanlah doa Liturgi.
2. Doa Liturgis berakar pada Misteri Gereja. Bahwa Allah melalui Putera-Nya mencintai semua manusia pertama-tama, bukan secara individu-inidividu yang terisolir, kepada yang berkumpul dalam Gereja-Nya. Gereja adalah misteri; Tubuh mistik-Nya. Maka Liturgi ketika dirayakan selain menunjukkan identitas warga Gereja, tetapi juga menjadi wujud kesalehan komunal dan eklesial. Doa Liturgi menjadi sakramen kesatuan.
3. Doa Liturgis itu berakar pada dan selalu diperkaya oleh Kitab Suci. Seperti yang dinyatakan dalam SC no.24;
"Dalam Perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dije­laskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permo­honan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menye­suaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditujukan oleh tradisi luhur ritus Timur mau­pun ritus Barat."
4. Doa Liturgis itu berpusat pada ibadah-ibadah resmi Gereja seperti Perayaan Ekaristi, Sakramen-sakramen, dan Ibadat Harian (Ofisi Suci). Prinsip dasar Liturgi sebagai momen pengudusan (divinisasi) dan sekaligus pemuliaan (glorifikasi). Sakra­mentalitas memegang peran yang penting.
5. Doa Liturgis itu mengikuti ling-karan Tahun liturgi sebagai manifestasi misteri-misteri Kristus sejak Inkarnasi hingga Kena­ikannya ke Surga.
Demikain kita melihat beberapa ka­rakter dasar Doa liturgis (institusional) yang membedakan karakternya dengan Doa de­vosional (personal).

D
evosi pada Sakramen
Mahakudus
Devosi pada Sakramen Mahakudus itu banyak ragamnya antara lain; Prosesi Corpus Christi, Adorasi atau Salve (Astuti), Eksposisi Sakramen Mahakudus, atau Eksposisi se­kaligus pemberkatan dengan Sakramen Maha­kudus, mengunjungi Sakramen Mahakudus yang ada di dalam Tabernakel, termasuk diperbolehkannya membawa Sakramen Maha­kudus itu kepada orang yang sakit, diada­kannya Konggres Ekaristi setiap tahun juga merupakan wujud dari besarnya perhatian pada devosi Sakramen Mahakudus, dsb.
Devosi tersebut begitu kuat dan subur sebagai wujud dari keyakinan yang mendalam atas Ekaristi sebagai sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Bahwa Yesus Kristus itu benar-benar hadir secara real dan nyata. Tidak heran bila pada abad pertengahan orang pergi ke Perayaan Ekaristi hanya karena ingin meman­dang Sakramen Mahakudus saja ketika imam mengangkatnya, malah nyaris mereka datang hanya untuk itu dan pulang. Bila melewati sebuah Gerejapun, yang tahu bahwa disana ada Sakramen Mahakudus, mereka akan mebuka topi atau menundukan kepala sebagai penghormatan pada Sakramen Maha­kudus. Devosi yang begitu kuat itu, kita tahu bagaimana kritik kaum reformer (khususnya mengenai konsep trans-substansiasi) mendapat reaksi yang keras dan nyaris nekat dari umat yang membela mati-matian dan mempert­ahankannnya.
Sehingga tidak heran bila bentuk ekskomunikasi yang dianggap paling berat adalah tidak diperkenankannya mereka, yang terkena hukuman, untuk menyambut Sakramen Mahakudus.
Dapatlah dikatakan bahwa devosi kepada Sakramen Mahakudus itu sudah men­dapat tempat di hati umat sepanjang sejarah Gereja. Kepercayaan yang kuat akan trans­ubstasiasi membuat kunjungan devosional umat akan sakramen yang disimpan di taber­nakel menjadi kuat, prosesi-prosesi dilakukan sebagai ekspresi iman umat dan pemberkatan oelh Sakramen Mahakudus itu diyakini sebagai wujud nyata dari berkat Kristus sendiri.
Sudah sejak awalnya bahwa devosi-devosi tersebut bukannya untuk menggantikan Liturgi Ekaristi, tetapi justru sebagai wujud ungkapan dan pengembangan akan Liturgi Ekaristi. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Paus Urbanus IV (1264) bahwa devosi itu dianjurkan agar uamt lebih berpartisipasi dalam Liturgi Ekaristi. Meskipun mungkin sekarang kenyataannya menjadi lain.

D
evosi kepada Sakramen Mahakudus Menurut Dokumen Gereja.
Prinsip yang ditekankan oleh Konsili mengenai devosi yakni sesuai, bersumber dan mengantar pada Liturgi suci. Disebut sesuai artinya tidak bertentangan, malah seharusnya melengkapi dan bukan untuk menggantikan Liturgi. Bila liturgi dianggap kering dan kaku, tidak menyentuh dan rasional, maka devosi mestinya melengkapi kebutuhan psikologis umat. Dikatakan bersumber, artinya bentuk devosi itu hendaknya merupakan "per­panjangan" dari liturgi resmi. Misalnya devosi pada Sakramen Mahakudus. Jadi bukan suatu bentuk Devosi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Liturgi. Dengan kata lain, devosi itu harus ada kaitannya dengan Perayaan Ekaristi. Karena Ekaristi adalah sumber dan arah hidup spiritualitas Kristen[4]. Dan akhirnya, disebut menghantar artinya bahwa devosi itu bukanlah tujuan tetapi men­jadi sarana untuk menghantar dan menuntun umat pada Liturgi yang sejati.
Selain daripada itu, prinsip praktek devosional itu harus memperhatikan penang­galan Liturgi. Prinsip ini berlaku bagi semua jenis devosi termasuk devosi pada Sakramen Mahakudus, prosesi-prosesi, eksposisi dan pemberkatan. Dan yang perlu diperhatikan bahwa instruksi resmi itumenegaskan bahwa meskipun bagaimana devosi kepada Sakramen Mahakudus bukanlah Liturgi. Artinya devosi tersebut tidak menggantikan Liturgi Ekaristi.
Beberapa catatan yang perlu diper­hatikan dengan eksposisi Sakramen Maha­kudus dalam Eucharistiae Sacramentum (21 Juni 1973).
1. Perayaan Misa di area gereja yang sedang melangsungkan eksposisi dilarang. Bila Misa diandaikan harus dirayakan juga, maka eks­posisi harus dihentikan sementara.
2. Baik monstrans maupun sibori dapat digu­nakan untuk eksposisi.
3. Bila eksposisi hanya untuk sementara waktu saja, ekaristi dapat diletakkan diatas altar saja, tetapi bila untuk waktu yang lama maka eks­posisi harus menggunakan "singgasana" (sema­cam tempat atau tahta untuk meletakkan Sakramen yang diukir atau dihias secara indah dan bagus).
4. Sepanjang eksposisi berlangsung bisa diba­rengi dengan bacaan-bacaan Kitab Suci, ho­mili, nyanyian, saat hening, refleksi dan wejangan-wejangan singkat. Eksposisi kemu­dian diakhiri dengan berkat (Benedictio).
5. Eksposisi meriah tahunan bisa dilaksanakan bila memang umat yang berminat itu hadir dan mendapat ijin dari uskup setempat. Sebaikanya setahun sekali diadakan pentahtaan Sakramen Mahakudus secara meriah.
6. Praktek eksposisi Sakramen Mahakudus yang hanya melulu untuk berkat (Benedictio) sesudah Misa dilarang. Misa bukan demi eksposisi atau berkat.
7. Bila Sakramen Mahakudus ditahtakan dalam monstran dinyalakan 4 tau 6 lilin, yakni seba­nyak yang dipasang dalam Misa, dan digu­nakan pendupaan. Kalau Sakramen Maha­kudus ditahtakan dengan piksis, dinyalakan sekurang-kurangnya 2 lilin; dupapun boleh digunakan.
8. Di hadapan Sakramen Mahakudus, entah disimpan di tabernakel entah ditahtakan untuk sembah sujud umum, cukup berlutu satu kali.
9. Untuk suatu kepentingan umum yang men­desak, waligereja setempat dapat memerin­tahkan supaya di gereja-gereja yang banyak dikunjungi umat diadakan doa permohonan bersama di hadapan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan selama waktu yang cukup lama.
10. Petugas untuk pentahtaan ialah imam atau diakon, yang pada akhir sembah sujud, se­belum Sakramen dikembalikan ke tabernakel, memberkati umat dengan Sakramen Maha­kudus itu sendiri.
Tetapi bila imam dan diakon tidak ada atau sungguh berhalangan, Ekaristi dapat ditahtakan di hadapan para beriman untuk dihormati umat dan kemudian dikembalikan oleh:
a. Akolit dan petugas khusus untuk komuni.
b. Salah seorang anggota komunitas biara atau persekutuan saleh awam yang akan melakukan sembah sujud Ekaristi, entah pria entah wanita, yang direstui uskup.
Mereka ini boleh melaksanan pen­tahtaan, dengan membuka tabernakel atau jika dianggap baik dengan menaruh piksis di atas altar atau menaruh hosti dalam monstrans. Seusai sembah sujud, mereka mengembalikan Sakramen Mahakudus ke dalam tabernakel. Tetapi mereka tidak boleh memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus.
11. Kalau pelayan itu imam atau diakon, hendaknya ia mengenakan alba atau superpli di atas jubah, dan memakai stola putih.
Pelayan lain hendaknya mengenakan pakaian liturgis yang barangkali sudah lazim di daerah itu, atau mengenakan pakaian yang pantas untuk pelayan itu, dan sudah direstui uskup.
Untuk memberikan berkat pada akhir sembah sujud, bila pentahtaan dilakukan dengan monstrans, imam atau diakon menge­nakan pluviale dengan velum warna putih; bila dengan piksis cukup mengenakan velum.

X fabie X
[1]cfr. Mat 6,6; "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
[2].'Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan."
[3]"Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Tahta Apostolik. Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan. Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu."
[4]Eucharisticum Mysterium, No. 50; "Bila kaum beriman menghormati Kristus yang hadir dalam Sakramen Mhakudus, hendaknya mereka ingat bahwa kehadiran itu bersumber pada Kurban Ekaristi dan terarah kepada persekutuan baik sakramental maupun spiritual. Jadi, rasa bakti yang mendorong kaum beriman untuk mengunjugi Sakramen Mahakudus, sekaligus menarik mereka untuk ambil bagian lebih besar dalam misteri Paskah, dan untuk menanggapi dengan penuh syukur pemberian diri Kristus: lewat kemanusiaan-Nya Ia tak henti-hentinya mencurahkan hidup ilahi kepada anggota-anggota Tubuh-Nya. Dengan berhimpun di sekitar Kristus Tuhan, mereka menikmati keakraban-Nya yang mesra; di hadapan-Nya mereka mencurahkan segala keprihatinan bagi diri sendiri dan semua sanak-saudara dan handai taulan, serta berdoa memohon damai dan keselamatan bagi dunia (.....). Maka hendaklah kaum beriman dengan penuh minat menghormati Kristus Tuhan dalam Sakramen Mahakudus selaras dengan keadaan hidup masing-masing".

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).