Selasa, 06 November 2007

mawar kesumba 2

M, sungguh saya merasa takut
hidup saya begitu dimanjanya
begitu lempang
begitu lurus
begitu senang
saya takut kalau saya mendapat pukulan
saya takut patah
telaga saya tak berarus, tak beriak
pedahal telaga akan lebih indah
jika kadang ada benturan-benturan dan hempangan-hempangan.







Kau yang bikin aku terpukau di seribu persimpangan jalan
kenapa saya mesti diam dan berpikir
bahkan bertanya tentang suatu keraguan akan sesuatu yang sudah pasti
kenapa semua begitu nisbi
tak pasti dan ganjil
ketika ada perjumpaan yang tulus
dengan kamu yang bisa disebut "engkau"
disini dan kini
sungguh, pada sat-saat seperti ini
sulit untuk menentukan pilihan.







Saya pilih halaman yang kesumba ini
entahlah, kanapa saya mesti menyukai warna ini
ada kelembutan dan kesejukkan
seperti kembang mawar
seperti layung saat pelanginya meredup
ah...saya kira persisnya
seperti selingkar senyummu yang ranum
ingin sekali rasanya saya penuhi halaman-halan kosong buku ini
dengan tulisan saya
ah, tidak bukan halaman-halaman buku ini
namun halaman-halaman hatimu
hingga menjadi prasasti
ingin sekali kutulisi penuh-penuh
hingga menjadi prasasti
ingin sekali kutulisi penuh-penuh
hingga orang-orang tak punya tempat lagi buat menulis.






Saya pilih halaman pertama ini untuk menulis sebuah puisi
mengapa mesti halaman pertama?
ah, entahlah cuma mengandaikan menjadi orang yang pertama dan yang penghabisan.
dalam menulisi kanvas hidupmu
namun bukankah aku bukan yang pertama lagi?
yang penghabisan mungkin
duhai, betapa akan dukanya aku bila....






LILIN PASKAH

jika temaran itu adalah engkau
yang terang dan benderang
tembuslah hatiku yang tak cahaya dan tak temaram
jika saja nyala itu adalah engkau
yang tak padam dan tak gelap
tembuslah pekatku yang tak mentari dan tak pelangi
jika saja paskah itu adalah engkau yang bangkit
gugahlah matiku pada hidupmu
sebab hidupMu tak fana dan tak maya.





GOLGOTHA
ada kata cinta pada lukaMu
yang tergores pad darah basah dan paku
cintaMukah?

ada kembang melati pada kepalaMu
yang terurai pada mahkota duri
melatikukah?

ada senandung merdu pada peluhMu
yang tertutur lewat kata 'aku haus'
senandungkukah?

ada tawa renyah pada bibirmu
yang tercetus lewat 'eli,eli lama sabachtani'
tawakukah?

entahlah
sulit untuk menterjemahkan airmataku
pada saat seperti ini
sesalkah?





Sementara kita mendengar banyak
tapi sedikit mendengarkan
sementara kita melihat banyak
tapi sedikit memandang
o, yang esa dan kuasa
buatlah kami lebih mampu mendengarkan dan memandang.






Jika kami melihat sabdaMu
cuma melihat sebuah buku usang
yang bagus untuk menggajal buku
di suatu rak
atau dibiarkan kumal dimakan rayap.
jika kami melihat SabdaMu
cuma melihat seperangkat pengetahuan
dan ilmu belaka
seraya mengabaikan manfaat
guna dan arti dibaliknya
kami lebih suka lari
mencari jawaban semu
ketimbang tengadah kepadaMu
dengan mencecap kata-kata hikmat
yang tertulis dalam kitabMu
berilah kami rindu
menimba makna sabdaMu
yang temaha itu
buat menjawab susah hidup kami



BALADA EMPAT PEMUDA

6 tahun lalu
anak-anak muda itu tertegun
sebelum melangkah masuk kampusnya
membawa stumpuk cita-citanya
setumpuk pertanyaan
dan setumpuk harapan

kampus dengan warna yang semarak
senyum ramah
hijaunya pertamanan
mengucap selamat datang
pada anak-anak muda itu
jalan di hadapannya terasa lempang...

esoknya
dikayuhnya sepeda
keringat, terik matahari
tak bersepatu
telah jadi akrab

dilecekinya bangku kuliah,
diktat, perpustakaan
dan dosen-dosen.

kemudian kampus berputar
ruang kuliah berputar
perpustakaan berputar
anak-anak muda ikut berputar
juga cita-cita daan harapannya
berputar-putar
seperti roda-roda sepedah mereka

sukmanya terguncang
jalan di hadapannya tak lempang lagi
nafasnya tercekik
tangannya menggapai sia-sia
tak berdaya melawan putaran dan guncangan
setumpuk pertanyaan yang dibawanya dulu
tidak memperoleh jawaban
mereka kehilangan pegangan
ditatapnya dengan mata nanar kampusnya
yang dulu semarak telah menjadi rusak
perpustakaan jadi seperti gudang
ilmu yang dipelajarinya jadi rutin
mengawang dan sia-sia
semua menjadi formalitas dan basa-basi
asal tidak kecewakan yang punya wewenang

akhirnya
tanpa upacara
sekedar ikuti aturan umum
dianugerahkannya pada mereka ijasah-ijasah kesarjanaan

masing-masing memperoleh iudicium;
"kualitas mentah"
karena mereka mendapat mutu pendidikan
yang alakadarnya saja.

Dan anak-anak muda itu menerima
sebagai kewajaran belaka

samar-samar ada tangis
saat mereka terakhir kalinya
menatap alma maternya
tubuhnya lunglai
suaranya serak untuk mengucap;
selamat tinggal...."

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).