Selasa, 06 November 2007

mawar kesumba 1

Mawar kesumba,
begitu banyak yang ingin aku sampaikan kepadamu
tentang hari-hariku yang lucu dan naif
kadang aku bersikap begitu kekanak-kanakan
kadang aku bersikap seperti superman
yang mampu segala.
tapi toh akhirnya kembali kepada kenyataan adanya.
Pernah pada suatu hari aku begitu merasa
ada di Getsemani dan mendoa
agar piala itu berlalu juga dari diriku
aku merasa sendiri
seakan semuanya telah meninggalan aku
juga engkau
aku sadar bahwa perasaan ini cuma kecengengan belaka
tapi itu aku rasakan
suatu kenyataan yang eksis
kemudian bila datang hari-hari yang penuh dengan senyuman
aku aku menganggapnya suatu impian
impian kuanggap kenyataan dan
kenyataan kuanggap sebuah impian
tragis
sewaktu kau berjalan searah dengan angin
yang bertiup siang itu,
aku berdiri pada bayang-bayang
aku berteriak keras sekali
kau hanya sempat menoleh
begitu tergesanya
seperti binar cahaya.
pedahal aku ingin memandang cahaya itu lebih lama
hati tak kuasa
sukmaku selalu meberontak
ini suatu impian
jika saja cahaya itu selalu ada pada saat-saat getsemaniku tiba
betapa golgota itu akan menjadi tabor
menjadi taman bunga
dan pesta senyuman
dan hari-hari seperti itu
biarlah berlangsung lebih lama
dan mengubah mimpi burukku.

Bdg '83: Tragedi di bawah pohon flamboyan



Mawar kesumba,
semuanya begitu terlambat
tapi ini mungkin lebih baik
terlambat lebih baik dai pada terlanjur
aku ngeri kalau segala-galanya menjadi terlanjur
aku tak mau impian itu terlanjur
menjadi kenyatan
biarlah mereka masing-masing berdiri
pada alamnya sendiri.
impian tetaplah impian
dan kenyataan tetaplah kenyataan.

Bdg '83




Mawar kesumba,
entah bagaimana kau menyimak segala kata-kataku
yang pernah kau dengar atau pernah kau baca.
betapa aku merasa malu kepadamu
setidaknya pada diriku sendiri
sebab yang aku rasakan sendiri, surat-surat dan tulisan-tulisanku
bernada dasar pesimis
tak ada warna yang cerah dan optimis
Hm...mengharukan!
tapi aku berpikir lagi
apa yang harus aku tulis atau aku sampaikan padamu?
kalau bukan perasaan-perasaan atau unek-unek yang beku
dan baru akan mencair kalau itu aku katakan padamu.
kau yang nota bene punya beban beban juga.
betapa aku membebanimu dengan beben-beban yang lebih berat
itulah sebabnya aku kadang begitu semangat, kadang ragu
menulis surat buatmu.
Tapi entahlah aku begitu platonis barangkali.
Aku menulis segala unek-unek ini dalam catatan harianku
yang sebenarnya tulisan itu kutujukan padamu
tapi kamu tak pernah akan membacanya.

Mawar kesumba,
sesekali dalam kesibukan, rasa kangen itu lewat
kadang ia singgah, malah ia menginap dalam benakku
apakah harus aku bunuh atau aku usir perasaan-perasaan itu?
Betapa aku menyalahi kodrat
kalau Shakespeare mengatakan bahwa rasa kangen itu adalah penyakit
yang membahagiakan.
Bagiku tidak.
Tesa ini bagiku justru suatu ancaman.
Mawar kesumba,
pertanyaanmu tidak pernah akan terjawab
betapa pertanyaan itu harus aku jawab dengan kejujuran
dan tidak membohongimu
tak mungkin aku punya kejujuran seperti itu
aku ngeri kalau-kalau nuranimu tidak dapat menerima jawabanku itu
moga saja perasaan ingin memanja dan dimanja olehmu
itu tidak berlangsung lama
Biarlah perasaan itu tetap sebagai perasaan.
tak perlu ada dampaknya
sebab perasaan adalah perasaan
yang tak pernah membuat jasa.

bdg'83





SEMENTARA SELESAI BERATI MEMULAI YANG BARU

Sahabat,
nyatanya aku cuma anak ayam yang beru menetas
yang piatu
yang cuma bisa menciap, menangis dan menghiba.

dihadapanku cuma ada warna hitam
dan selaksa tanda tanya
yang setiap jawaban cuma berupa pertanyaan yang baru
namun aku punya keyakinan, sahabat
punya keyakinan
buat mengawali dan menyelesaikan

Betapa merdunya suara restumu ini
amat memasygulkan.
suara restumu sungguh lentera
di sisi perjalanan jauhku ini.
terimakasih sahabat, terima kasih

bdg '83



Dulu ingin sekali aku katakan kepadamu
bahwa aku ingin mengenalmu seutuhnya
ah, betapa seramnya seandainya itu benar terjadi
sebab semakin aku mengenalmu
semakin aku melihat keindahan-keindahan
yang pasti akan membelenggu aku
dulu aku sangsikan apa aku bisa mengenalmu
sebab antara aku dan kamu banyak yang kurang seimbang
paling tidak karena kau wanita dan aku pria.
tapi pada saat tangan ini kuangkat
diatas kepala buat melambai justru akut telah mengenal kamu
dan kaki-kakiku sudah terbelenggu.


bdg '83



Kini aku melihat kamu
seperti melihat kaca jendela kamarku
yang bening, tembus
dan dapat kunikmati keindahan-keindahan dibaliknya
aku tahu kaca itu mudah pecah dan retak
barangkali sudah menjadi sifat dunia fana ini

bdg '84




Malam itu saya menyaksikan sandiwara "Waiting for Godot" karya Samuel Becket.
Ceritanya saya juga mau ikut menunggu Godot
bersama Estragon dan Vladimir
Bagi mereka sendiri tidak jelas siapa Godot itu.
Tapi mereka begitu yakin bahwa Godot pasti akan datang.
Saya juga ikut meyakininya.
Berjam-jam, berhari-hari..., bertahun-tahun... sampai saya tulis catatan ini namun Godot tidak pernah datang.
Mereka menunggu sesuatu yang tidak ada.
Yang maya.
Mereka memastikan yang tak pasti.
mereka menunggu dalam kesia-siaan.
Dan saya bersama mereka menunggu sesuatu yang niskala.
Akan kah menjadi kesia-siaan?
Tidak ada apa-apa yang terjadi
tidak ada yang datang
tidak ada yang pergi.
Ketika tirai menutup pentas
sandiwara tuntas
orang-orang memulai riuh satu-satu beranjak
meninggalkan kursi masing-masing
sambil membawa renungannya sendiri-sendiri
dan ruanganpun kosong
tinggal saya duduk terpana
di pojok ruangan.
sendiri
tersenyum sambil meneteskan air mata
kejantananku runtuh.

Tidak ada komentar:

PHILOKALIA?

philokalia (φιλοκαλια) dari kata philokalein (Φιλοκαλειν ) dari bahasa Yunani artinya “mencintai keindahan”. Philokalia itu sisi lain dari Philosophia (pencinta kearifan), maka Philokalia sering disebut sebagai “pencinta keindahan”. Meskipun secara historis kata itu menunjuk pada judul buku-buku abad ke-15 yang ditulis oleh guru-guru spiritual dari Gereja Timur (Ortodoks). Bahkan term Philokalia itu menunjuk pada St Nikodimos dari Gunung Suci Athos dan St Makarios dari Korintus sebagai rahib-rahib kelas berat yang menunjukkan jalan spiritualitas atau jalan penjiarahan, untuk mencapai Allah. Buku-buku mereka yang mulai dipublikasikan di Venesia pada tahun 1782, mengajarkan primas estetika di atas asketika. Primas keindahan sebagai jalan keselamatan.
Pada prinsipnya buku-buku itu membeberkan tentang kesempurnaan hidup (θεοσις) melalui purifikasi (καθαρσις) dan iluminasi (φοτισις). Pengantarnya mengatakan :
"The Philokalia is an itinerary through the labyrinth of time, a silent way of love and gnosis through the deserts and emptinesses of life, especially of modern life, a vivifying and fadeless presence. It is an active force revealing a spiritual path and inducing man to follow it. It is a summons to him to overcome his ignorance, to uncover the knowledge that lies within, to rid himself of illusion and to be receptive to the grace of the Holy Spirit, who teaches all things and brings all things to remembrance."
Philokalia tentunya pertama-tama tidak mengacu pada buku-buku tersebut. Meskipun spiritnya sama. Jalan kesempurnaan itu bersifat estetik bukan asketik. Estetik itu via positiva bukan via negativa. Purifikasi dan iluminasi itupun merupakan pengalaman estetik, bukan etik, apalagi logik. Hanya mereka yang memuja keindahan akan mendapat ganjarannya. Pemahaman tingkat mendalam dari kata purifikasi dan iluminasi itu bila seseorang mampu mentransendensir “philosophia” dengan “philokalia” dengan kata lain mengatasi kata “memahami” dengan “mengagumi”. Kata “mengagumi” itu setingkat lebih tinggi dari kata cinta. “Mengagumi’ itu radikalisasi dari cinta. Itu secara horisontal. Secara vertikalpun, untuk mendekati yang “tak tampak”, yang misteri, yang ilahi atau Allah itu hanya bisa dikagumi bukan dipahami. Kekaguman adalah sumber dan puncak pengetahuan, bahkan menunjuk pada kwalitasnya. Saya mengagumi maka saya ada, admiro ergo sum.
Pada mulanya eikon (imago) bukan logos. Logos hanya suatu ihtiar membahasakan eikon. Misteri inkarnasi adalah kembalinya Logos menjadi Eikon; Sabda menjadi imej. Yesus hadir di dunia ketika manusia tenggelam dalam lautan kata (logos), ide, konsep dan pemikiran yang menjadi labirin. Berputar-putar tak menentu dan tak juntrung. Yesus adalah “land mark”, adalah Eikon, adalah jendela, adalah pintu keluar dan pintu masuk yang paling baik, benar dan indah.
(† fabie sebastian heatubun).