Rabu, 26 September 2007

thorn bird

The Thorn Bird


Konon ada seekor burung yang kicauannya sangat merdu
hanya satu kali saja dalam seluruh hidupnya.
Namun kicauananya itu paling merdu, paling indah diantara burung-burung lainnya yang ada di jagat raya ini.

Suatu hari ia meninggalkan sarangnya
ia mencari pepohonan yang berduri
ia mencari dan mencari sampai menemukannya.
Dan pada saat ia menemukannya
ia menyanyi dengan ria diantara duri-duri yang merangrang tajam itu.
Ia memilih satu duri yang paling tanjam dan panjang dan ia menancapkan tubuhnya.
Lalu mati.

Ia mengatasi kenyeriannya itu dengan menyanyi
sebuah nyanyian yang teramat indah, tak terkatakan.
Dan hingga kini dunia masih mendengarkan kemerduannnya.
Hm, Tuhan hanya tersenyum di surga sana
sebab toh akhirnya untuk segala yang terbaik
mesti dibayar dengan derita dan kepedihan.
Tragis memang.
Sekurang-kurangnya itu kata legenda.

Saya petik kutipan ini, saya coba terjemahkan alakadarnya, dari sebuah novelnya Coleen McCollough, The Thorn Bird. Yang menceritakan tentang kekerasan, rahasia, perbuatan-perbuatan keliru tapi tak bisa dikatakan sebagai dosa (innocence wronged)
keberanian, kelemahan, kebencian, cinta terlarang dan sex.
Menarik sekali. Kalau kita dekat ingin sekali saya menceritakannya. Seperti dulu kita suka bercerita tentang apa saja.
Pokoknya buku ini mau mengisahkan kisah cinta. Kisah tua dan sudah tertimbun debu sejarah. Tapi seperti benda antik, biar kumel dan jelek tetap saja bernilai dan menarik.

Yah, kisah hidup kita juga.
Saya coba simpulkan begini seusai membaca buku ini;
Mencinta sering berarti pintu terbuka, surat undangan untuk air mata kepedihan. Mengerikan tapi sekaligus menawan. Madu namun sekaligus bisa.
Mencinta seperti tabir labirin; dapat masuk tapi tak mudah keluar. Hanya bisa berputar-putar.
Semua jalan hanya menjebak. Seakan ya namun tidak, seakan tidak namun ya. Maya dan misteri. Lalu kita penat berfikir. Pada saat seperti itu kita hanya bisa menangis dan menghiba. Menyesal, apa yang mesti disesal? Mesti menunggu sampai kapan? Duhai jarak yang membentang, duhai waktu yang membelenggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar