Rabu, 26 September 2007

devosi

Devosi dan Liturgi
Fabie. S. Heatubun

Seorang wanita setengah baya duduk di bangku gereja deretan yang ketiga. Hampir selalu duduk di sana, setiap pagi. Selalu begitu. Seperempat jam sebelum misa dimulai dia sudah mendaras merjan-merjan rosario. Selalu tuntas. Kalau toh belum selesai dia akan segera menyimpan rosarionya itu ke dalam tas bila lagu pembukaan misa mengantar imam masuk gereja memulai perayaan. Dia mengikuti dengan khusuk doa-doa, nyanyian pujian, mendengarakan sabda Allah serta tata gerak yang penuh penjiwaan yang sebagaiman lazimnya dilakukan dalam Perayaan Liturgi yang dia hadiri. Ekaristi menjadi irama hidup rohaninya hariannya. Seperti sebuah musik, demikian juga hidup, mengenal dan membutuhkan irama. Irama itu menyenangkan, membahagiakan dan sekaligus menyehatkan. Liturgi Ekaristi menjadi sumber kekuatan spiritualnya, yang membuat dia selalu percaya diri, ceria menyambut hari-hari, dan memandang kehidupan lebih bermakna. Bukan hanya menjadi sumber kekutannya saja tetapi juga menjadi tujuan hidupnya. Kata seorang anaknya yang sarjana itu mengagumi kesalehan ibundanya. « Memang dari sana kita berasal dan kesana kita menunju » katanya. Suatu hari dia menyatakannya dengan penuh keyakinan kepada teman-temannya. Seakan Ekaristi itu menjadi as yang menggerakan seluruh aktifitas hidupnya.
Seusai misa wanita setengah baya itu tidak buru-buru pulang. Sudah biasa. Arca Maria dan hati Kudus Yesus yang disamping kiri gereja ia hampiri. Sambil menyalakan lilin dan meletakannya di dekat bunga-bunga di kaki arca itu, dia berlutut mulai berdoa. Tidak tahu apa yang didoakan. Bibirnyapun tidak bergerak. Dia hanya menatap dalam diam arca itu. Tak lama matanya berkaca-kaca, lalu menunduk sambil mengulurkan tangannya menyentuh kaki arca itu dan membuat tanda salib. Menutup doanya. Mungkin dia berdoa, mungkin juga tidak. Namun sepertinya dia sekedar bertemu dengan yang suci Bunda Maria dan Yesus Puteranya.
Belum lagi setiap hari jumat, kita bisa melihatnya penuh penghayatan melakukan jalan salib. Untuk penitensi dosa-dosanya? Entahlah. Padahal jalan salib diluar masa Prapaskah dirasa berlebihan. Konon, kata seorang temannya, dia sudah berkeliling ke tempat-tempat ziarah baik yang lokal maupun yang ada di negri orang. « Selain orangnya dermawan, juga murah senyum bersahabat dengan siap saja tanpa memandang status sosialnya ». Temannya menambahkan. Hampir setiap kegiatan yang diadakan di lingkungannya, dia selalu punya waktu untuk hadir dan memberi dukungan. Padahal dia bukan pengangguran. Dia punya toko yang dia sendiri yang mengelolanya.
Wanita setengah baya ini bukanlah seorang biarawati yang telah mengkaulkan diri untuk menyerahkan seluruh hidupnya melulu untuk mengabdi Tuhan dalam karya dan pertama-tama dalam hidup doanya. Dia mungkin boleh dibilang orang saleh, atau paling tidak bisa dikategorikan sebagai seorang Katolik yang menghayati kekatolikannya. Ada kesetaraan antara hidup doa dan hidup sosialnya. Doa bukan menjadi tempat pelarian atau kepasrahan ketika mencapai jalan buntu. Doa menjadi irama hidupnya, irama pengalaman pertemuannya dengan yang ilahi. Saat ia mengungkapakan pujian dan cintanya yang besar pada Yang Maha Kuasa..
« Perayaan Liturgi saja itu tidak cukup », suatu ketika wanita setengah baya itu memberi kesaksian di lingkungannya. « Liturgi itu butuh devosi, seperti otak butuh hati dan pikiran butuh perasaan ». Memang Liturgi adalah ibadat resmi Gereja yang formal dan kaku dan sering dingin yang butuh keseimbangan afektif, yang menyangkut hati dan perasaan yang menyentuh. Adalah kebutuhan kita sebagai manusia yang memiliki hati dan perasaan. Tidak dapat disangkal kalau berdoa itu ada pada wilayah persaan individu yang personal, yang selalu menyentuh kedalaman rasa. Yang pada kenyataanya sering tidak terdapat pada perayaan Liturgi. Suka atau tidak suka Liturgi adalah ritual. Yang punya sosok formal. Makanya bila Liturgi dirasa kaku, devosilah yang melenturkannya. Bila Liturgi dirasa kering, garing dan gersang, devosilah yang membasahi dan menyenyejukannya. Bila Liturgi dirasa dingin, devosilah yang menghangatkannya. Bila Liturgi dirasa mengawang di otak, maka devosilah yang menyentuhkannya dalam hati.
Devosi memang harus menghantar pada Liturgi. Devosi bukan tujuan, dia adalah sarana. Devosi bisa menjadi semacam makanan suplemen spiritual bagi Liturgi. Tetapi tidak bisa orang enggan menyukai Liturgi. Liturgi sebagai doa Kristen, sudah semestinya dijiwai secara personal dan dihayati secara devosional. Tetapi Liturgi bukanlah devosi, tidak bisa juga didegradasikan menjadi sekedar devosi atau dicari-cari dan direka-reka dengan segala improvisasi agar berkualitas devosi. Apalagi menyisipkan devosi-devosi dalam Liturgi. Liturgi adalah Liturgi dan devosi adalah devosi. Gereja seperti sudah menyediakan dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan umatnya. Makanya sulit ditolerir ketika ada yang berihtiar untuk mencari bentuk-bentuk devosi dan cara-cara berdoa yang bukan datang dari tradisi kita. Kalau devosi bermakna mengantar umat pada Liturgi, berarti sebuah devosi kristen itu haruslah bersumber pada Liturgi itu sendiri. Devosi pada hakekatnya adalah gema dari Liturgi.
Wanita setengah baya itu, ikon bagi kita sebagai seorang Katolik yang menempatkan Liturgi sebagai pusat dan puncak hidup serta serentak devosi-devosinya sebagai pengungkapan dan penghayatan iman yang menyuburkan kecintaanya pada Liturgi. Yang pada gilirannya iman, harapan dan cintanya pada Tuhan semakin dikuatkan, diperkaya dan diungkapkan dalam roh dan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar