Basic Instinct II dan Undang-Undang Anti Porno-grafi/aksi
Satu bulan sudah film Basic Instinct II beredar di pasar. Semua orang menonton kembali Sharon Stone, perempuan jelita nan sensual yang memainkan peran utama sebagai Catherine Tramell penulis novel-novel “pulp fiction”, si perayu maut yang setiap tatapan matanya membuat setiap lelaki terhanyut, setiap gerak tubuhnya membuat jantung laki-laki berdebar cepat kelabakan. Jangan tanya kata-kata yang menantang dan lentur suaranya yang eksotis serta sentuhan jemari lentik yang mengajak. Hm…logika, pikiran sehat dan kesadaran serta pengetahuan luas seorang lelaki pada saat seperti itu lumpuh total. Buktinya Dr.Michael Glass seorang psikiatris berpengalaman, profesional dan rasional luluh lantak seluruh jiwa raganya. ‘Adam rasio’ ditaklukan oleh ‘hawa nafsu’. Fantasi seks, kekerasan dan kematian sebagai basic instinct yang mengendarai akal sehat. Adagium “Aku bernafsu maka aku ada” telah menaklukan “aku berfikir maka aku ada”. Film ini menjadi sebuah karikatur wanita sang penakluk dan pria sang mangsa. Sebagai “pulp fiction”, penayangannya dikemas terasa vulgar dan berlebihan. Secara sinamatikpun kwalitasnya rendahan. Sejumlah kritikus film tidak ada yang memuji sebagai film yang bermutu. Tidak penting untuk kita bahas.
Bila kita hubungkan film ini dengan Rancangan Undang-undang Porno-grafi/aksi, baru kita akan sadar mengapa pro-kontra itu mesti terjadi. Perlu kita simak bukan hanya kebetulan karena penayangan film ini bersamaan waktunya dengan demo-demo di jalan, atau karena hendak menunjukan metafor bangsa ini yang paranoid, tetapi memang layak direnungkan. “Basic instinc” manusia itu berbahaya. Terlalu sepele alasannya bila tanpa UUAPP, bangsa ini akan kehilangan etos kerja, akan memerosotkan prestasi belajar anak muda, akan merongrong moral anak yang sedang mencari jati diri, akan meningkatkan kejahatan seksual dan anti sosial. Kecemasan dan kecurigaan terhadap porno-grafi/aksi macam itu rupanya tanpa dasar dan bukti. Akan tetapi bagi kalangan yang bersikukuh untuk tetap membuat regulasi tersebut, terlepas dengan maksud restriksi atau taktik berpolitk, karena tidak ada cara lain untuk melumpuhkan “basic instinct” manusia. Bila rasio kalah, hukum harus maju untuk melumpuhkan nafsu. Sebuah ungkapan keputusasaan ketika agama, etika-moral, asketika dan doa tak berdaya menaklukannya. Regulasi privat diserahkan ke regulasi publik. Suatu sikap yang dilematis dan paradoksal.
Seorang Rendra pun berteriak, “Bagaimana mungkin urusan hasrat dan gairah serta nafsu seorang manusia bisa diatur secara paksa oleh sebuah undang-undang? Padahal nafsu dan birahi itu adalah bagian dari daya hidup manusia itu sendiri?!”. Rendra tidak percaya regulasi publik dapat dipakai untuk mengatur regulasi privat. Pada kesempatan lain Inul Daratista dan sejumlah artis turun ke jalan untuk mengatakan tidak mau, tidak suka dan tidak setuju dengan UUAPP. Bisa jadi bawah sadar dan intuisi Inul sebagai ikon wanita dan pemuja keelokan memberi firasat dan isyarat kalau regulasi itu akan membunuh kesenian, memenjara kreatifitas dan perlahan-lahan menganihilasi kecantikan paras wanita. Tapi yang pasti para perempuan merasa “tubuhnya” dicurigai, dicemaskan dan ditakuti serta dijadikan penyebab dekadensi moral. Bahkan disamakan begitu saja dengan “tubuh” Catherine Tramell yang sebelum regulasi itu diundangkan sudah menjadi tertuduh dan pesakitan. Laki-laki tidak pernah salah. Iyakah? Sebenarnya regulasi ini menjadi representasi maskulinitas yang rapuh, lemah dan sudah kalah. Kemunafikan laki-laki serentak kemunafikan bangsa. UUAPP adalah ungkapan kegugupan, kegagapan, salah tingkah dan kemunafikan kaum pria. Agama dan negara rupanya berjenis kelamin laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar